Monday, October 13, 2025
home_banner_first
OPINI

Medan Banjir Lagi, Kasusnya Stagnan, Seperti Dibiarkan

Mistar.idSenin, 13 Oktober 2025 14.54
RE
medan_banjir_lagi_kasusnya_stagnan_seperti_dibiarkan

Banjir di Kota Medan. (Foto: Susan/Mistar)

news_banner

Oleh: Bersihar Lubis

Bosan rasanya menyaksikan Medan yang tergenang saban hujan deras turun, seperti sejak Sabtu sore hingga Minggu dini hari (12/10/2025). Dan ini sudah berulang kali terjadi. Mungkin, sudah ribuan kali.

Polanya sama. Tatkala hujan lebat curah dari langit, maka beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti Das Deli, Babura, dan Sunggal pun meluap.

Banjir pun meluncur ke Kecamatan Medan Johor, Medan Baru, Medan Helvetia, Sunggal, Medan Petisah, dan Medan Marelan. Bahkan, Jalan Dr Mansyur pun bagaikan sungai. Juga menimpa 17 kelurahan. Terdapat 3.181 rumah, 3.599 kepala keluarga/10.391 jiwa yang menjadi korban banjir.

Yang mengenaskan, proyek pembangunan kolam retensi yang menjadi salah satu kebijakan Pemko Medan di masa kepemimpinan Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan tak kuasa menampung dan memitigasi banjir ke sungai yang ada dan seterusnya ke lautan di lepas pantai Belawan.

Contohnya, salah satu titik kolam retensi di kampus Universitas Sumatera Utara (USU) di Jalan Dr Mansyur, Medan. Tadinya, Pemko Medan mengklaim kolam retensi berbiaya Rp20 miliar tersebut akan mampu menampung air sebesar 10 ribu meter kubik dengan ketinggian drainase mencapai 1,3 meter.

Bahkan, Catchment Area atau daerah tangkapan air dari kolam ini diklaim mampu mencegah banjir mulai dari seputaran Jalan Dr Mansyur, Jamin Ginting hingga Pajak Sore. Sedangkan service area sekitar 170 hektar daripada kolam retensi ini. Dengan begitu, sebanyak 400 KK dapat terselamatkan dari banjir.

Tak pelak, pengamat lingkungan Jaya Arjuna menilai pembangunan kolam retensi tersebut sebagai proyek gagal.

“Kolam retensi itu tidak bisa menangani banjir di Medan,” kata Jaya Arjuna kepada wartawan di Medan, Minggu, 12 Oktober 2025.

Menurut Jaya, diperlukan pengorekan sedimen pada seluruh saluran drainase dan memfungsikan kembali saluran sekunder yang dulu dibangun dengan sangat baik.

“Sekarang di Medan ada 1.300 lebih titik banjir. Satu titik saja tidak bisa diatasi dengan kolam retensi,” kata Jaya.

Belanda dulu sudah membuat saluran sekunder, tapi sekarang tidak dipelihara. Saluran primer juga dikelola dengan salah, ditanggul-tangguli, akibatnya terjadi penumpatan seperti di Kuala Deli.

Kolaborasi

Perlu pula diatasi jika terjadi banjir kiriman setiap kali hujan lebat di hulu sungai. Ini gara-gara banyak hutan yang gundul di kawasan Deli Serdang dan Karo. Kini tinggal 3.655 hektare, atau 7,59% dari DAS (daerah aliran sungai) Sei Deli seluas 48.162 hektare (Wikipedia). Ada yang jadi kebun sawit, peladangan, hotel-losmen dan vila-vila.

Tak ayal, makin sedikit hutan yang menahan air. Jika hujan lebat turun, air meluncur deras ke sungai dan mengalir ke kota Medan melebihi daya tampung Sungai Deli yang kian sempit dan dangkal.Tiada lain warga di tepi Sungai Deli harus dipindahkan.

Memang, tidak mulus-mulus amat. Harus tersedia ganti rugi tanah yang mereka diami puluhan tahun. Dengan lokasi penampungan yang memadai, mungkin, pembebasan lahan itu akan mulus walau rada alot.

Apalagi jika di lokasi penampungan dibangun rumah susun. Juga dilengkapi fasilitas Puskesmas, rumah ibadah, sarana SD dan SMP hingga pasar perbelanjaan dan akses sarana transportasi. Mungkin, warga akan rela direlokasi.

Isu banjir di kota Medan sungguh membosankan. Sudah repetitif, dan penyebabnya pun sudah diketahui. Tapi tampaknya proses penanggulangan stagnan. Jalan di tempat. Terkesan seperti dibiarkan.

Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara harus berkolaborasi dengan Pemkab Deli Serdang dan Tanah Karo. Susun program bersama, dan ajukan ke pusat karena so pasti biayanya besar. Jangan berleha-leha. Jangan tunggu ancaman banjir menelan korban lebih besar, bahkan tak mustahil korban jiwa. **Penulis adalah jurnalis menetap di Medan

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN