Engkau Ganas, Engkau Cemburu

Ilustrasi Kata, Tafsir, dan Kuasa. (Foto: Istimewa/Mistar)
Oleh: Bersihar Lubis
Amir yang, maaf, tuli sedang menikmati angin tepi pantai sepoi-sepoi basah. Sejenak berlalu, melintas Budi, yang juga, maaf, tuli membawa peraralatan pancing menuju dermaga pelabuhan yang remang lewat fajar. “Hendak memancing, Budi,” sapa Amir, dalam jarak dua meter. “Tidak. Mau memancing, kok,” jawab Budi. “Oh, saya kira tadi hendak memancing,” sahut Amir.
Kasus teks tidak selalu lucu. Bahkan, dalam sejarah peradaban sering membawa manusia ke meja hijau. Galileo dikucilkan ketika nekad mengatakan bumilah yang mengitari matahari, dan bukan sebaliknya seperti diyakini kaum Paderi, yang memonopoli pemaknaan teks zaman itu. Buku-buku Hamzah Fansury dibakar, dan sang sufi dimakzulkan sebagai imam istana kerajaan di Aceh masa lalu nan jauh ketika ia berkata tentang “Ana Alhaq.”
Pentas sajak Rendra, lakon Teater KOMA, dan irik lagu Iwan Fals pernah dilarang penguasa. Harian Indonesia Raya dan Majalah TEMPO pernah dibredel. Juga Bung Karno dan Bung Hatta tersandung “haatzaai artikelen” dan diasingkan ke pulau pembuangan.
Ada satu anekdot. Gondang yang larut merantau di Eropa, pulang kampung ke Sibolga bertemu Gabe, kawan masa kecilnya. Dari jarak empat meteran, Gabe berteriak, maaf, “Anjing-babi, sudah kaya makin tampan kamu!” Gondang membalas, dengan kalimat yang sama. Eh, seorang petugas pertanian tamatan SPMA Bogor, anak Jawa Tengah yang ditempatkan di Sibolga dan berada di sekitar pertemuan itu merasa keduanya akan gaduh. Ia berdebar menunggu perkelahian segera meletus. Tapi ia kecele, karena ternyata Godang dan Gabe saling berpelukan malah saling tertawa.
Panggilan anjing-babi ternyata bukan perkara berang. Tapi distimulus oleh kedekatan dan rasa rindu, meski bukan sebuah doktrin di etnik Batak. Ini hanya sebuah bahasa pasaran. Toh, dalam pesta adat, orang Batak sangat santun. Misalnya, tak pernah bilang “ulu” (kelapa) tapi “simanjujung:” alias yang menjunjung. Bahasa pasaran beda dengan bahasa adat, seperti ngomong, maaf, “diancuk” dalam teks Arek Suroboyoan.
Baca Juga: Mata dan Telinga Publik di Republik Mimpi
Lagi pula apa dosa “anjing” jika konotasinya ditafsirkan “buruk”? Bukankah anjing dikenal sebagai hewan yang setia? Namun, dalam suatu masyarakat yang konvensional, pastilah sangat gawat jika terhadap kawan yang setia, lalu dipanggil dengan ucapan “wahai anjing.” Walaupun dalam komunitas tertentu (yang rasional), hal itu, mungkin, jamak saja dan tak perlu membuat yang lainnya terluka.
Ada asumsi, ada konteks. Tapi dalam asumsi dan konteks yang beda, teks yang sama bisa bebeda makna. Kaya tak selalu diukur dengan rupiah. Bisa juga karena pengalaman budi pekerti dan rohani yang tinggi. Si miskin juga bisa ditujukan kepada seseorang yang miskin pergaulan, maupun miskin cita-cita dan fantasi.
Sebutlah nama Indonesia kepada 10 penduduk dunia, dan apa komentar mereka? Mungkin, pemuda AS yang program S2 di UI akan bilang, sebuah negeri diapit benua Asia dan Australia. Yang lain bilang, “Saya tau Bali, di sana ada Indonesia.” Orang Kuala Lumpur mungkin bilang, “ Rasa Sayang E dan Reog Ponorogo.” Tapi tak mustahil ada yang bilang “negeri korup” atau “negeri berpancasila.” Atau ada yang berkata, “bekas jajahan Bedanda”; ”jagoan bulutangkis” dan “eksportir TKI.”
Orang Barat yang melihat temannya jatuh akan berkata “Are You fine?” Tak membuat yang jatuh lalu marah. “I’m fine, thank you.” Coba kalau orang kita, wah, Anda bilang “fine” lagi, lihat nih, jari kakiku terluka.” Jika orang kita bertanya tentang umur adalah lumrah saja. Tapi jika yang ditanya cewek bule, ia tak enak hati melihat Anda. Apalagi bertanya, “apa sudah nikah dan apa agamanya”, ia melengos berlalu meninggalkan ANDA.
Baca Juga: Growth Mindset Dalam Pendidikan Nasional
Bahasa pastilah sulit dibakukan. Apalagi dibekukan. Tinggi tak selalu ukuran meter, bak pada tiang listrik. Apakah gedung Pengadilan Tinggi lebih tinggi dibanding Pengadilan Negeri? Apakah Mahkamah Agung dihuni hakim-hakim yang “agung”, “mulia” “bersih” dibanding hakim Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri? Bukah ukuran meter atau budi pekerti, tapi hirarki belaka.
Bahkan kata-kata kiasan pun kadang rancu. Masak nasi itu bukan kiasan. Tapi kalau nasi dimasak akan jadi bubur. Tak ada yang bilang masak beras, yang rada lebih logis. Papua Merdeka dan Riau Merdeka itu, konkrit atau abstrak? Tergantung konteksnya. Jika bermaksud hendak merdeka dari kemiskinan dan keterbelakangan, tak usahlah risau. Tak perlu tentara dikerahkan, dan para aktivis ditangkap.
Penyair Chairil dalam sajaknya “Di Mesjid” menulis rindunya kepada Tuhan dengan kiasan “Ini ruang (tentang masjid itu) gelanggang kita berperang.” Beda dengan kerinduan penyair Amir Hamzah, yang menulis, “Engkau ganas, engkau cemburu/ Mangsa aku dalam cakarmu/. Tapi, baik rezim kolonial Belanda dan fasis Jepang tidak menyeret ke dua penyair itu ke meja hijau.
Teks, apa boleh buat, mempunyai peluang makna yang tak terbatas. Bukan makna tunggal yang absolut. Antarkita, mungkin, merasa saling memahami hal yang sama, karena asumsi yang sama, dan mungkin sering ngobrol kendati kerap pula terjadi salah sangka dan tafsir dalam berkomunikasi. Tapi lain lingkup gaulnya bisa lain tafsirnya, baik karena usia, etnik, agama, gender, sosiolgis dan historis dan sebagainya. Toh tak ada patokan mana paling benar, apalagi paling suci dan agung, mana yang pusat dan pinggiran ruwet mendefenisikannya.
Asumsi pun selalu liar. Tidak menetap. Karena tak terelak bahwa selain produser teks ada juga konsumen teks. Konsumen teks juga sekaligus menjadi produser teks karena ia menafsirkan teks dari si produser yang bisa saja maknanya beda-beda. Dari antarteks muncullah intertekstual.
Dungu berarti bebal. Bisa juga “tidak tahu.” “Saya dungu soal nuklir,” kata seorang penyair. Mana mungkin si penyair tahu segalanya. Sudah kodratnya dungu dalam banyak hal, dan tak dungu, serta mungkin cerdas, dalam sedikit hal. Yang Maha Tahu hanya Allah, dan sudah kodrat insan jika dungu untuk bidang nan tak diketahuinya. Kata Nenek, melawan kodrat itu berdosa!**
Penulis adalah jurnalis di Medan
PREVIOUS ARTICLE
Growth Mindset Dalam Pendidikan Nasional