Growth Mindset Dalam Pendidikan Nasional

Arif Jamali Muis. (Foto: Istimewa/Mistar)
Oleh: Arif Jamali Muis (Staf Khusus Mendikdasmen)
Ambisi besar bangsa Indonesia untuk menjadi negeri adidaya pada tahun 2045 jangan berhenti dalam angan-angan dan jargon belaka. Ia harus menjadi visi strategis yang diartikulasikan secara kolektif dalam tindakan bersama. Salah satu fondasi utama untuk mewujudkan visi tersebut ialah dengan memperbaiki pendidikan sebagai lokomotif transformasi sosial, budaya, dan ekonomi.
Pendidikan dalam hal ini bukanlah praktik pedagogis yang terbatas pada transfer pengetahuan belaka, melainkan bentuk pendidikan yang bisa mengubah perilaku, meningkatkan kompetensi, dan mengasah keterampilan anak bangsa. Namun, harus disadari bahwa segala bentuk perubahan perilaku tersebut hanya dimungkinkan bila dilandasi upaya merevolusi pola pikir (mindset) dalam pendidikan.
Mindset Usang
Sistem dan budaya pendidikan di Indonesia tampak masih terjebak dalam paradigma fixed mindset. Cara pandang yang kaku dan membatasi pertumbuhan intelektual murid di sekolah telah menjadi hambatan utama dalam menciptakan ekosistem pembelajaran yang inklusif dan dinamis. Dalam logika semacam ini, kecerdasan dan kompetensi individu dipandang sebagai sesuatu yang statis dan tetap, sehingga sistem pendidikan lebih berorientasi pada hasil daripada proses pembelajaran yang berkelanjutan.
Konsep pendidikan semacam ini kemudian melahirkan stigma dan pelabelan seperti "anak pintar" dan "anak bodoh" yang terus direproduksi, membentuk stigma sosial yang menghambat pertumbuhan intelektual murid, baik dalam lingkungan sekolah, maupun lingkungan sosial secara umum.
Secara tanpa sadar, fixed mindset dalam pendidikan lantas mengakar dalam ekosistem dan budaya pendidikan nasional. Ekosistem ini membentuk struktur, melahirkan ketimpangan pendidikan, serta menghambat generasi muda untuk tumbuh dan berkembang.
Kesenjangan pendidikan semakin terasa dengan adanya perbedaan akses terhadap sumber belajar yang berkualitas, terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan. Murid-murid di wilayah terpencil sering kali mengalami keterbatasan fasilitas, tenaga pengajar yang kurang kompeten, serta kurangnya inovasi dalam metode pembelajaran. Akibatnya, mereka cenderung mengalami stagnasi dalam pengembangan intelektual dan keterampilan mereka.
Growth Mindset dalam Pendidikan Nasional
Dalam menghadapi tantangan dan kompleksitas pendidikan nasional, diperlukan pergeseran paradigma menuju pola pikir bertumbuh (growth mindset) yang lebih inklusif dan progresif. Konsep ini, yang diperkenalkan oleh Carol S. Dweck. Baginya, kecerdasan dan kemampuan bukanlah entitas yang statis dan tetap, melainkan sesuatu yang dapat dikembangkan melalui usaha, ketekunan dan pembelajaran yang berkelanjutan.
Dweck (2022) mengkategorikan pola pikir menjadi dua jenis utama: fixed mindset dan growth mindset. Individu dengan fixed mindset cenderung meyakini bahwa kecerdasan bersifat bawaan dan tidak dapat diubah, sedangkan individu dengan growth mindset percaya bahwa kecerdasan bersifat dinamis dan dapat ditingkatkan melalui pengalaman belajar yang berkelanjutan.
Dalam konteks pendidikan, penerapan growth mindset memiliki implikasi yang mendalam, antara lain: pertama, mengubah cara pandang yang melihat bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang tetap. Cara pandang semacam ini digeser dengan keyakinan bahwa kecerdasan sesungguhnya berkembang.
Baca Juga: Mata dan Telinga Publik di Republik Mimpi
Kedua, growth mindset berimplikasi pada keyakinan bahwa setiap individu sesungguhnya memiliki kapasitas dan kemampuan untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kecerdasannya. Ketiga, mengafirmasi bahwa kepribadian seorang individu sesungguhnya dapat terus mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Keempat, menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih adaptif terhadap perubahan dan tantangan zaman.
Pola pikir growth mindset dalam hal ini relevan dengan sistem pendidikan nasional. Penerapan growth mindset dalam pendidikan tidaklah sebatas pada dimensi psikologis belaka, melainkan juga membutuhkan reformasi pada tingkat kebijakan pendidikan.
Sejalan dengan itu, sistem evaluasi yang terlalu berfokus pada pemeringkatan harusnya ditinjau ulang agar lebih berorientasi pada pengembangan kapasitas individu secara holistik. Lebih jauh, growth mindset dalam pendidikan membutuhkan ekosistem yang mendorong nilai-nilai eksplorasi, refleksi kritis dan pemberdayaan individu agar mereka mampu beradaptasi dengan kompleksitas tantangan zaman.
Transisi dari fixed mindset menuju growth mindset dalam pendidikan nasional bukan sekadar perubahan konsep, melainkan juga agenda besar dalam membangun generasi muda yang lebih adaptif, inovatif, dan mampu berpikir kritis. Tanpa perubahan mendasar dalam paradigma pendidikan, Indonesia akan terus tertinggal dalam membangun ekosistem pembelajaran yang berorientasi pada pertumbuhan intelektual dan pemberdayaan individu secara berkelanjutan.
Implementasi Growth Mindset dalam Pendidikan
Dalam wilayah aplikatif, penerapan growth mindset di dalam kelas membutuhkan pendekatan yang lebih sistematis dan dukungan yang berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk partisipasi guru, orang tua, dan perumus kebijakan pendidikan. Guru memiliki peran sentral dalam membentuk lingkungan belajar yang mendukung pola pikir bertumbuh. Mereka harus mampu menciptakan suasana yang memungkinkan siswa untuk berani mencoba, tidak takut gagal, serta terus belajar dari kesalahan (Dweck, 2009).
Pendekatan pembelajaran yang lebih berorientasi pada eksplorasi dan pemecahan masalah juga perlu diterapkan dalam kurikulum nasional. Kurikulum yang hanya menekankan pada hafalan dan ujian berbasis angka harus dikaji ulang agar lebih mendorong pengembangan pemikiran kritis dan kreatif. Yaeger & Dweck (2020) menyebutkan bahwa kurikulum yang baik harus mampu memberikan umpan balik yang konstruktif, bukan sekadar penilaian dalam bentuk angka dan numerik.
Selain itu, peran orang tua juga tidak kalah penting dalam membentuk growth mindset pada anak-anak mereka. Orang tua perlu membangun komunikasi yang positif dengan anak, memberikan motivasi tanpa tekanan, serta menanamkan nilai bahwa setiap tantangan adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang. Dengan demikian, ekosistem pendidikan tidak hanya bergantung pada sekolah, tetapi juga melibatkan keluarga sebagai lingkungan pertama bagi anak dalam belajar dan tumbuh.
Di tingkat kebijakan, pemerintah memainkan peran krusial untuk menata sistem pendidikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip growth mindset. Investasi dalam pelatihan guru, peningkatan infrastruktur pendidikan, serta reformasi sistem evaluasi pembelajaran harus menjadi agenda utama dalam pembangunan pendidikan nasional. Hanya dengan perubahan yang menyeluruh dan sistematis, visi Indonesia 2045 sebagai negeri adidaya dapat terwujud melalui pendidikan yang berbasis pada pertumbuhan dan inovasi.
Peran Sentral Guru
Dalam praktiknya di lapangan, Guru adalah aktor paling krusial dan sentral yang memainkan peran sebagai agen transformasi pembelajaran dengan menanamkan keyakinan bahwa kompetensi intelektual dan keterampilan sesungguhnya dapat terus bertumbuh dan berkembang lewat usaha, strategi dan ketekunan. Lebih dari itu, guru berperan sebagai role model yang mengintegrasikan growth mindset dalam praktik pembelajaran sehari-hari.
Kesadaran akan peran krusial dari para guru itulah yang mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mendorong program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dengan menjadikan growth mindset sebagai materi inti dalam kerangka pembelajaran mendalam.
Langkah tersebut adalah cermin kesadaran institusional bahwa keberhasilan pendidikan tidak lepas dari peran para pendidik. Melalui PPG yang diperkaya dengan materi Growth Mindset, maka diharapkan lahir generasi guru yang mampu bersikap adaptif terhadap perubahan, terbuka terhadap inovasi dan mendorong pembelajaran seumur hidup.
Catatan Akhir
Perubahan paradigma pendidikan nasional dari fixed mindset menuju growth mindset adalah langkah krusial dalam membangun generasi yang unggul dan siap menghadapi tantangan global. Growth mindset bukan hanya tentang meningkatkan kecerdasan akademik, tetapi juga membentuk karakter individu yang tidak mudah menyerah, terus belajar, dan siap beradaptasi dengan perubahan. Dengan menciptakan ekosistem pendidikan yang mendukung pola pikir bertumbuh, Indonesia dapat memastikan bahwa ambisi menjadi negara adidaya di tahun 2045 bukan sekadar slogan, tetapi realitas yang dapat dicapai melalui pendidikan yang transformatif dan berkelanjutan.***
PREVIOUS ARTICLE
Mata dan Telinga Publik di Republik Mimpi