Saturday, August 2, 2025
home_banner_first
OPINI

Aroma Politik dalam Abolisi Lembong dan Amnesti Hasto

journalist-avatar-top
Sabtu, 2 Agustus 2025 20.41
aroma_politik_dalam_abolisi_lembong_dan_amnesti_hasto

Bersihar Lubis. (foto: istimewa/mistar)

news_banner

Oleh: Bersihar Lubis

Sukar disangkal jika aroma politik dalam pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto merebak ke “penciuman” publik.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, misalnya mengungkapkan alasan pemerintah memberikan amnesti kepada seribuan terpidana itu agar tercipta persatuan. Terlebih lagi, Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun ke-80 pada 17 Agustus mendatang. "Pertimbangannya pasti demi kepentingan bangsa dan negara," ujar Supratman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Kamis, 31 Juli 2025.

Istana Kepresidenan melalui Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro pun mengatakan, alasan Presiden Prabowo karena menjunjung prinsip persatuan dan gotong royong. “Pemberian abolisi, amnesti, atau juga kebijakan lain yang bisa dimaknai dan bisa menjadi faktor mempererat, mempersatukan, seluruh elemen bangsa akan dilakukan oleh Bapak Presiden,” katanya di Istana Kepresidenan, Jakarta, 1 Agustus 2025.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemberian “hadiah” itu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Sesuai Pasal 14 UUD 1945, DPR pun sudah setuju.

Dengan amnesti ini, segala proses hukum yang dilakukan terhadap Hasto otomatis dihapuskan. Hasto tidak perlu mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama. Begitupun dengan Tom Lembong yang sudah diputus pengadilan tingkat pertama dan dalam proses mengajukan banding. Aduhai, segala proses penuntutan dihapuskan. Lembong dan Hasto pun menghirup udara kebebasan yang segar.

Memang, kasus Tom Lembong dan Hasto sangat eye catching karena dinilai kental unsur politiknya daripada unsur hukum. Malah seakan memicu polarisasi publik cukup ekstrem dan menyerang pemerintah secara terbuka. Tom merupakan pendukung Anies Baswedan. Sedangkan Hasto merupakan pendukung Ganjar Pranowo. Keduanya merupakan pesaing Prabowo dalam pemilihan presiden 2024. Nah, sepertinya, Prabowo hendak membendung gejolak dan “huru-hara” politik agar tak larut berkepanjangan.

Sekalipun Presiden berwenang memberikan abolisi dan amnesti, tapi penggunaannya untuk kasus korupsi dinilai akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand), sebagai tidak tepat. Feri Amsari mengatakan sejak awal sudah menduga perkara yang menjerat Lembong dan Hasto sifatnya politis. Karenanya proses peradilannya juga bernuansa politis. Kerugian publik dari kasus Hasto antara lain tak ada lagi partai oposisi yang sejati.

Tak heran jika Ketua Umum Megawati Soekarnoputri memerintahkan para kadernya untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Perintah Megawati agar kadernya mendukung pemerintahan Prabowo ini diungkapkan oleh Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus.

Jadi, kira-kira, kasus Lembong memberi kesan jerat pidana digunakan untuk membungkam perbedaan pandangan dengan kekuasaan. Tapi kasus Lembong menuai simpati publik yang luas, proses penegakan hukumnya dikritik karena dinilai tidak wajar. Pemerintah seolah mendengar aspirasi publik (juga kasus Hasto) dengan menerbitkan abolisi dan amnesti.

“Padahal ini salah, keduanya kasus korupsi. Kalau kasus korupsi bisa diberikan amnesti dan abolisi sewaktu-waktu tinggal diberi lagi amnesti dan abolisi jika sesuai kepentingan politik,” kata Feri Jumat (1/8/2025).

Sesungguhnya, embusan angin amnesti dan abolisi kepada terpidana sudah berhembus sejak zaman Presiden Soekarno di era Orde Lama. Soekarno pada 1959 telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 303 Tahun 1959 yang memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Keputusan tersebut diambil Soekarno dengan tujuan untuk kepentingan Negara dan kesatuan Bangsa.

Presiden Soekarno juga mengeluarkan Keppres Nomor 449 Tahun 1961 yang memberikan amnesti dan abolisi lebih luas kepada orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan Daud Beureueh di Aceh. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Irian Barat, dan daerah lain. Lalu, Pemberontakan Kartosuwirjo di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan. Pemberontakan Republik Maluku Selatan di Maluku.

Presiden Soeharto juga pernah memberikan amnesti dan abolisi, salah satunya melalui Keppres Nomor 63 Tahun 1977 kepada pengikut gerakan FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente) di Timor Timur, baik yang berada di dalam maupun luar negeri. Tujuannya, demi persatuan bangsa dan mendukung pembangunan Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur setelah bergabung ke dalam NKRI pasca integrasi tahun 1976.

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, pemberian amnesti kembali muncul sebagai bagian dari transisi demokrasi. Presiden BJ Habibie pada 24 Mei 1998, melalui Keppres Nomor 80 Tahun 1998, Habibie memberikan amnesti dan abolisi kepada dua tokoh oposisi politik, yakni Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Juga kepada tiga tahanan politik asal Papua, yakni Hendrikus Kowip, Kasiwirus Iwop, dan Benediktus Cuawamba, melalui Keppres Nomor 123 Tahun 1998.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 10 Desember 1999, juga memberikan amnesti kepada sejumlah aktivis pro-demokrasi, termasuk Budiman Sudjatmiko, mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang sempat dipenjara karena aktivitas politiknya di masa Orde Baru. Gus Dur juga memberikan amnesti kepada sejumlah anggota GAM yang sedang menjalani hukuman pidana makar, yakni Amir Syam, Ridwan Ibbas, Abdullah Husein, dan M Thaher Daud.

Pada era SBY, amnesti diberikan kepada seluruh orang yang pernah terlibat dalam aktivitas GAM maupun para tahanan dan narapidana politik (tapol/napol). Bedanya, Prabowo dalam kasus korupsi, sedang para pendahulunya murni dalam kasus politik. Tabik! *

*Penulis adalah Jurnalis menetap di Kota Medan.

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN