Rekening Rakyat Diblokir: Salah Kaprah, Sesat Nalar!

Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Farid Wajdi SH, M.Hum. (Foto: Dok. Pribadi/Mistar)
Oleh: Farid Wajdi SH, M.Hum
Ada yang terasa ganjil dalam logika kebijakan publik kita belakangan ini. Seorang warga mengaku rekeningnya yang berisi Rp50 juta mendadak diblokir oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bukan karena terbukti terlibat dalam kejahatan, bukan pula karena ada transaksi mencurigakan. Alasannya sederhana, rekening itu dianggap "tidak aktif" selama tiga bulan. Karena uang itu tak bergerak, ia pun dicurigai, dan akhirnya dibekukan.
Ini bukan cerita fiksi, ini potret keganjilan yang kian sering muncul: rakyat biasa yang menyimpan uang halal tiba-tiba harus berhadapan dengan negara yang mencurigai mereka hanya karena memilih diam. Uang yang ditabung dianggap mencurigakan hanya karena tidak berpindah-pindah. Logika yang absurd ini, sayangnya, justru diterapkan secara sistematis.
Negara kini tampak lebih rajin menindak apa yang diam, daripada memburu yang jelas-jelas berbahaya. Tanah yang tidak digarap dua tahun disita negara. Rekening yang tak aktif tiga bulan dibekukan. Tapi manusia yang menganggur bertahun-tahun? Tidak dibantu, tak dicari, bahkan seringkali dicap beban. Ini adalah potret sesat pikir dalam kebijakan publik ketika segala sesuatu diukur dari "perputaran", bukan keadilan.
Dalam prinsip hukum yang sehat, setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya (presumption of innocence). Tapi praktik pemblokiran rekening hari ini membalik prinsip itu: rakyat kecil harus membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Bahwa uang mereka sah. Bahwa diam mereka bukan dosa. Negara, dalam hal ini, tidak lagi berfungsi sebagai pelindung, tapi berubah menjadi entitas yang mengawasi dan mengadili tanpa proses.
Lebih ironis lagi, ketika rakyat biasa diblokir, para penjahat besar justru berkeliaran. Bandar judi online terus beroperasi dengan jaringan ribuan rekening penampung. Koruptor kelas kakap masih bisa menyamarkan uang haram mereka lewat skema canggih pencucian uang. Tapi yang dibekukan justru rekening gaji, tabungan darurat, dan dana hasil kerja keras.
PPATK, lembaga yang seharusnya memantau transaksi keuangan gelap kini tampak lebih sibuk memeriksa warga biasa. Narasi “pencegahan pencucian uang” dijadikan selimut kebijakan untuk menindas yang tidak bisa melawan. Tidak ada kejelasan kriteria, tidak ada notifikasi, tidak ada mekanisme keberatan yang jelas. Ini bukan lagi soal administratif, ini soal pelanggaran hak warga negara.
Negara yang terlalu cepat mencurigai, tapi terlalu lambat mengklarifikasi, pada akhirnya hanya akan memupuk ketakutan. Dan ketakutan adalah lawan dari kepercayaan. Jika sistem perbankan dipakai untuk membekukan yang tak bersalah, maka rakyat akan mulai menarik diri. Menyimpan uang di rumah, membeli emas, atau kembali ke transaksi informal. Ketika itu terjadi, bukan hanya bank yang kehilangan nasabah, tapi negara kehilangan legitimasi.
Yang dibutuhkan saat ini bukan kegigihan memburu uang yang tenang, tapi keberanian untuk mengejar dana kotor yang bersembunyi dalam sistem. Bukan membekukan rekening rakyat, tapi merampas aset para koruptor. Bukan mencurigai tabungan kecil, tapi membongkar rekening gendut para penjahat keuangan.
Negara mesti tahu: tidak semua yang diam itu busuk. Ada banyak warga yang menyimpan uangnya dalam diam karena percaya pada sistem. Ketika kepercayaan itu dibalas dengan blokir sepihak, maka yang rusak bukan hanya rekening, tapi juga harga diri rakyat.
Sudah saatnya negara berhenti curiga pada yang lemah, dan mulai serius memburu yang berbahaya!
Penulis adalah Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020