Siantar yang Cemas dan Galau

Bersihar Lubis. (foto: istimewa)
Oleh: Bersihar Lubis
Pematangsiantar, kota terbesar kedua di Sumatera Utara itu tampaknya mulai cemas dan galau. Dengan dibukanya jalan tol Kuala Tanjung- Tebing Tinggi-Parapat (Kutepat), pengunjung dari Medan dan Kuala Tanjung yang hendak menuju Danau Toba di Parapat tak perlu lagi singgah, atau melalui Pematangsiantar.
Sebab, dari Medan, Anda bisa menggunakan jalan tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi dan melanjutkan ke Jalan Tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat (Kutepat). Dari Tebing Tinggi, ambillah arah menuju Dolok Merawan, lalu Simpang Panei, dan akhirnya Pematang Raya hingga Parapat.
Seperti diketahui, Jalan Tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat (Kutepat) sudah mulai beroperasi sebagian, dengan ruas Tebing Tinggi-Sinaksak yang dibuka fungsional pada momen Lebaran 2024. Ruas tol ini akan beroperasi penuh dan dikenakan tarif pada akhir tahun 2024. Secara keseluruhan, tol Kutepat sepanjang 143,5 km itu ditargetkan beroperasi penuh pada periode Natal dan Tahun Baru 2025/2026.
Waktu perjalanan dari Medan menuju Danau Toba pun terpangkas signifikan. Selain itu, juga meningkatkan konektivitas dan potensi ekonomi serta aksesibilitas ke destinasi wisata Danau Toba.
Sebaliknya, akan membuat Kota Pematangsiantar tak lagi dilintasi kenderaan penumpang dan mobil pribadi. Dikhawatirkan akan rada-rada mirip nasib Pasar Bengkel di Serdang Bedagai sebagai akibat pembukaan jalan tol Medan-Kualanmu-Tebing Tinggi.
Saya sisir dari berita-berita media di internet, sedikitnya 70 dari 126 pedagang sekaligus produsen dodol di sana telah bangkrut. Pembeli nyaris tidak ada pasca beroperasinya jalan tol Medan-Tebing Tinggi sejak 2017 silam. Padahal, dulu nyaris ramai 24 jam nonstop.
Kini hidup para pedagang dodol itu sangat getir. Padahal dulu rata-rata mereka setiap hari bisa memasak dodol sedikitnya enam kuali isi 15 kg dan selalu habis terjual. Belum lagi jenis makanan dan minuman lainnya. Ada juga dodol dengan rasa durian. Serdang Bedagai adalah penghasil durian yang enak.
Eh, kini dimasak tiga kuali satu minggu pun tidak habis terjual. Lalu, basi dan terbuang sia-sia. Seorang pedagang mengeluh kini beruntung jika bisa menjual Rp 200.000 sehari. Padahal dulu bisa mencapai Rp 2 hingga 3 juta. Bahkan bisa Rp 5 juta sehari.
Mereka berharap pemerintah membolehkan mereka berjualan di rest area di jalan tol atau tempat peristirahatan sementara. Sayang, lokasi rest area itu berada di Kilometer 65 yang letaknya di kedua arah, baik arah Tebing Tinggi, maupun arah Medan. Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) mengatakan kedua rest area tersebut diisi oleh UMKM yang menjual produk dan jajanan lokal, porsinya sebesar 50%.
Luasnya mencapai 4 hektar. Dilengkapi dengan fasilitas seperti masjid, toilet, SPBU, dan tenant-tenant makanan. Toh, tak bisa menampung 100 lebih pedagang Pasar Bengkel. Letaknya pun jauh. Apalagi di Pasar Bengkel, tempat berjualan mereka sekaligus juga menjadi tempat poduksi dan rumah tempat tinggal. Sedang di rest area hanya tempat berjualan.
Apa boleh buat, mayoritas bertahan di Pasar Bengkel. Namun cepat atau lambat, semua pedagang dodol akan tutup. Padahal, jika dulu rata-rata bisa menjual Rp3 juta sehari, dari 126 gerai bisa menghasilkan hampir Rp400 juta sehari. Sebulan sudah hampir Rp12 miliar. Setahun mencapai nyaris Rp144 miliar.
Pasar Horas
Bedanya, jika arus kenderaan yang melintasi Pasar Bengkel mampir untuk berbelanja dodol – sebelum ada jalan tol – di Siantar sebaliknya hanya melintas, kecuali yang sengaja bertujuan ke Siantar.
Tentu saja sedikit banyaknya akan berdampak juga menimpa Siantar. Tapi mungkin tidak sedahsyat nasib Pasar Bengkel.
Tengoklah, Jalan Merdeka dan Jalan Sutomo di kedua sisi Pasar Horas di Siantar selalu macet. Banyak kenderaan yang merapat ke Pasar Horas, dan bahkan trotoar jalan dipakai untuk parkir.
Tapi perputaran uang di pasar seluas sekitar 9.300 meter persegi dan dihuni ribuan pedagang itu, mencapai Rp6 miliar hingga Rp7 miliar sehari.
Pasar Horas menampung hasil bumi dari daerah belakangnya. Belum lagi distribusi barang dari kota Medan, mulai dari barang elektronik dan sebagainya. Bahkan, setiap bulan pendapatan PD Pasar Horas Jaya Kota Siantar, dari retribusi pedagang mencapai sedikitnya Rp460 juta. Asumsi perhitungan pendapatan PD Pasar itu dari pedagang kaki lima yang diperkirakan mencapai 2 ribu orang. Belum lagi dari pedagang pemilik kios sebanyak 5.800 pedagang.
Namun Pemko Pematangsiantar tak boleh lengah. Dampak akan beroperasinya jalan tol Kutepat itu harus diantisipasi. Pemko perlu menciptakan berbagai hal yang membuat Siantar mempunyai magnet sehingga tetap layak dikunjungi.
Jangan lupa ada Siantar Zoo atau Taman Hewan Pematang Siantar (THPS) yang koleksi hewannya terbilang lengkap. Sudah menyejarah juga karena didirikan pada pada 27 November 1936. Belakangan dipugar dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia DR.H.Susilo Bambang Yudhoyono pada 13 November 2007.
Dengan luas sekitar 4,5 ha, ada hewan Mamalia, Aves dan Reptil, yang mempunyai nama masing-masing. Ada juga Komodo, Singa Afrika, Zebra, Unta dan beragam satwa lainnya. Bahkan, ada koleksi binatang langka, seperti Harimau Putih dan Harimau Sumatera. Malah ada buaya darat tertua. Ada juga Liger (Lion Tiger), sejenis kucing besar perkawinan silang antara Singa dan Harimau.
Dilengkapi pula dengan wahana bermain keluarga seperti baling-baling, komedi putar, kapal ayun, keranjang putar, kereta api, mandi bola dan sepeda air.
Jangan lupakan ada Siantar Hotel yang berdiri pada 1915 dengan nuansa dan disain yang eksotik. Berdayakanlah ruang terbukanya yang luas secara kreatif. Renovasilah bangunannya sehingga menjadi hotel antik yang menarik dikunjungi.
Siantar boleh cemas jika jalan tol Kutepat kelak beroperasi. Namun jangan panik. Mindset yang terbuka akan menemukan jalan keluar agar tak senasib dengan Pasar Bengkel. Horas Banta Haganupan! (Semua kita selamat sejahtera)
*Penulis adalah jurnalis menetap di Medan
PREVIOUS ARTICLE
Aroma Politik dalam Abolisi Lembong dan Amnesti Hasto