Fadli Zon Nilai Kehadiran Keluarga Gus Dur di Istana Tanda Dukungan untuk Soeharto

Menteri Kebudayaan Fadli Zon. (foto: Antara/Mistar)
Jakarta, MISTAR.ID
Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, menanggapi kritik terhadap penetapan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Ia menilai kehadiran keluarga Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Istana Negara, Senin (10/11/2025), mencerminkan dukungan terhadap keputusan pemerintah tersebut.
Dalam acara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh, termasuk Soeharto dan Gus Dur, hadir istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah, bersama putrinya Yenny Wahid.
“Kalau saya lihat, kehadiran Ibu Sinta Nuriyah, Ibu Yenny, dan cucu-cucu Gus Dur di istana menunjukkan apresiasi. Tadi juga beliau menyampaikan sangat senang dan menghargai penganugerahan ini,” ujar Fadli di Istana Kepresidenan Jakarta.
Pernyataan Fadli tersebut disampaikan sebagai tanggapan atas kritik dari sejumlah tokoh, termasuk ulama kharismatik KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), yang menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
Fadli menambahkan, tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Soeharto tidak pernah terbukti secara hukum. “Tidak ada bukti hukum yang menyatakan Presiden Soeharto terlibat langsung dalam pelanggaran HAM berat. Semua tuduhan sudah melalui proses hukum dan tidak terkait dengan beliau,” katanya.
Ia juga menegaskan, Soeharto tidak memiliki kaitan dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998. “Kerusuhan Mei tidak ada hubungannya dengan Presiden Soeharto,” ucap politikus Partai Gerindra itu.
Sementara itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang turut hadir dalam acara tersebut memilih tidak banyak berkomentar dan menyerahkan penjelasan kepada Fadli. “Kita lihat dari sudut mana. Biar Pak Fadli dulu yang menjelaskan,” ujar Gus Ipul.
Sebelumnya, Jaringan Gusdurian secara tegas menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menilai rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun telah menimbulkan banyak pelanggaran demokrasi dan kemanusiaan. (hm24)


























