Pengamat Sosial: Aksi Premanisme Mencerminkan Wajah Kekuasaan Negara


ILustrasi. (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat sosial, Shohibul Anshor Siregar, menilai maraknya aksi premanisme di Indonesia merupakan cerminan dari wujud kekuasaan negara yang dijalankan secara ekstraktif, represif, dan informal.
Penilaiannya tersebut didasarkan pada fenomena premanisme yang selama ini kerap dianggap semata-mata sebagai masalah kriminalitas.
“Jadi, premanisme ini mencerminkan wajah kekuasaan negara. Premanisme tak hanya soal pelanggaran hukum, melainkan juga bagian integral dari infrastruktur kekuasaan untuk menopang sistem institusi negara yang gagal,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (11/5/2025).
Akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu merujuk pada teori negara ekstraktif dari Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku Why Nations Fail.
Baca Juga: Pengamat Sosial: Masyarakat Pedesaan Memiliki Keterbatasan Layanan Akses Kesehatan Mental
Dalam buku itu menyebut negara dengan institusi politik dan ekonomi ekstraktif cenderung memanfaatkan sumber daya demi keuntungan segelintir elite, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat.
“Pada konteks ini, premanisme berfungsi sebagai kekuatan informal yang digunakan untuk menekan oposisi, mengendalikan wilayah, hingga menjaga stabilitas sosial yang semu,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMSU tersebut.
Ia melanjutkan, preman tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari jaringan kekuasaan.
Ia mengaitkannya dengan pemikiran Michel Foucault dalam Discipline and Punish, yang menyatakan bahwa kekuasaan modern tidak hanya diwujudkan melalui kekerasan fisik, tetapi juga melalui pengawasan dan mekanisme disiplin.
Namun, dalam konteks negara-negara di Global South seperti Indonesia, Shohibul menilai mekanisme formal kekuasaan kerap tidak efektif akibat lemahnya birokrasi dan penegakan hukum.
“Ketika negara tak berhasil menjalankan kekuasaan melalui jalur formal, maka negara akan mengandalkan kekuatan informal seperti premanisme. Ini yang membuat premanisme menjadi semacam kekuasaan kedua di luar hukum,” ujarnya.
Ia juga menilai premanisme sangat erat kaitannya dengan kepentingan elite politik. Shohibul menyoroti hubungan patron-klien antara elite dan kekuatan informal.
“Preman sering mendapat perlindungan atau imbalan dari elite sebagai bagian dari sistem kekuasaan yang mempertahankan ketimpangan struktural. Preman-preman ini bisa menjadi alat kekuasaan yang digunakan untuk menyelesaikan konflik, menekan protes, atau mengendalikan kawasan yang tak terjangkau hukum. Ini bukan anomali, tetapi bagian dari cara kerja negara yang represif dan informal,” katanya.
Shohibul mengacu pada teori Akhil Gupta dalam Blurred Boundaries, yang menjelaskan kaburnya batas antara negara dan masyarakat akibat kekuasaan informal dan korupsi. Menurutnya, premanisme sering berperan sebagai aktor ganda sebagai kriminal sekaligus perpanjangan tangan negara.
“Dalam konteks kekinian, saya menyoroti kasus-kasus seperti perang melawan narkoba di Filipina yang menurut laporan Human Rights Watch melibatkan preman sebagai pelaksana kekerasan atas nama negara,” ucapnya.
Baca Juga: Pengamat Sebut Pendidikan Tinggi Harus Dijamin Pemerintah dan Menyentuh Siswa Kurang Mampu
Ia juga mengutip karya Carolyn Nordstrom Shadows of War, yang menegaskan premanisme turut berperan sebagai bagian dari ekonomi bayangan di tengah kekacauan sosial dan politik suatu negara.
“Premanisme juga menjadi bagian dari ekonomi kekerasan. Mereka mengatur aliran barang, uang, dan informasi di ruang abu-abu antara legal dan ilegal. Ini berdampak langsung pada kualitas demokrasi di negara berkembang,” katanya lagi.
Menurut Shohibul, pemberantasan premanisme tak cukup hanya dengan pendekatan hukum. Diperlukan reformasi institusional yang mampu memutus ketergantungan elite terhadap kekuasaan informal.
“Premanisme adalah cermin kekuasaan yang tidak sah. Kalau kita ingin menata negara yang adil dan demokratis, kita harus membongkar struktur kekuasaan ekstraktif yang melanggengkan kekerasan dan ketidakadilan ini,” tuturnya. (deddy/hm25)