Menilik Akar Masalah Tawuran di Belawan, Begini Kata Pengamat


Pengamat Sosial Sumut, Shohibul Anshor. (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat sosial Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor menilai tawuran yang terjadi di kawasan Medan Utara khususnya Kecamatan Medan Belawan memiliki akar masalah, sehingga memiliki penjadwalan terkait peristiwa tersebut.
“Peristiwa ini memerlukan tinjauan historis, politis, sosiologis, sosial ekonomi, dan kesenjangan wilayah Medan Utara hingga Selatan,” ujarnya pada Mistar, Selasa (6/5/2025).
Menurutnya, tawuran yang berulang di kawasan Belawan, Medan Utara memperlihatkan pola sistematis yang mengakar pada dinamika historis, politik, sosial, dan ekonomi.
“Sekiranya besok dan lusa terjadi lagi tindakan tegas dari pihak kepolisian, dan kepala kepolisiannya dipecat, itu akan terulang lagi selama akar masalah tidak dipahami secara matang,” ucap Akademisi UMSU itu.
Dosen Kesejahteraan Sosial FISIP UMSU itu mengatakan untuk membahas masalah tersebut sangat tak mungkin tak menambahkan dimensi analisis spasial terkait kesenjangan antara Medan Utara dan Medan Selatan, serta pengaruh pendirian institusi kepolisian dan kejaksaan yang terpisah dari pusat Kota Medan.
“Fenomena kekerasan kolektif yang terjadi berulang di Belawan, khususnya dalam bentuk tawuran antar kelompok pemuda, tidak terlepas dari konteks kemiskinan, disorganisasi sosial, dan marginalisasi kawasan,” katanya.
Shohibul menuturkan tawuran yang terjadi kemarin tampak terjadwal, seolah menjadi rutinitas dalam siklus konflik di Medan Utara. Sehingga untuk memahami akar masalah secara komprehensif, perlu dibedah dalam kerangka multidisipliner.
“Secara historis, Belawan adalah kawasan pelabuhan kolonial yang sejak awal didefinisikan sebagai wilayah kerja dan bukan wilayah tinggal yang layak. Warisan kolonialisme menciptakan ketimpangan infrastruktur, segregasi pemukiman, dan ketimpangan pelayanan publik yang masih terasa hingga kini,” tuturnya.
Shohibul menyebut analisis politik dan kelembagaan juga berkaitan. Pemekaran kelembagaan penegakan hukum dengan mendirikan Kantor Kepolisian dan Kejaksaan Negeri khusus Belawan mengindikasikan pengakuan negara atas intensitas konflik di wilayah ini.
“Namun, secara bersamaan, hal ini menunjukkan pendekatan yang lebih bersifat represif dibanding preventif. Minimnya kebijakan afirmatif dan pembangunan sumber daya manusia membuat intervensi penegakan hukum berdampak jangka pendek,” ucapnya.
Tidak hanya itu, sambung Shohibul, kesenjangan antara Medan Utara dan Medan Selatan juga harus diperhatikan. Medan Selatan yang mencakup pusat pemerintahan dan ekonomi, menikmati akses infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik yang jauh lebih baik dibanding Medan Utara.
“Medan Utara, termasuk Belawan, mengalami dekonsentrasi perhatian pembangunan, ditandai dengan jalan rusak, sistem sanitasi buruk, kawasan kumuh, serta keterbatasan fasilitas pendidikan dan kesehatan,” ujarnya.
Shohibul mengatakan ketimpangan tersebut menumbuhkan rasa frustrasi kolektif yang menjadi energi potensial bagi kekerasan sosial.
“Coba periksa Kecamatan Labuhan Deli itu, setahu saya belum memiliki SMA Negeri. Inilah salah satu ketimpangan yang terjadi,” katanya secara tegas.
Menurutnya, peninjauan Sosiologis dan sosial ekonomi harus dilakukan, solidaritas dalam kelompok pemuda di kawasan marjinal seringkali terbentuk dalam bentuk eksklusivitas dan sikap defensif terhadap kelompok lain.
“Dalam kondisi kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, tawuran menjadi medium ekspresi sosial sekaligus ‘ruang eksistensi’ bagi mereka yang terpinggirkan dari sistem formal ekonomi dan sosial,” ujarnya.
Shohibul menyimpulkan tawuran di Belawan bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan gejala dari krisis struktural dan spasial yang lebih luas.
“Ketimpangan antara Medan Utara dan Selatan, serta orientasi penanganan masalah yang lebih menitikberatkan pada aspek hukum daripada pembangunan sosial, memperparah persoalan ini,” katanya.
Shohibul menyampaikan masalah ini menjadi tugas utama pemerintah kota yang sejak dahulu abai. Kepolisian hanya ketiban limpahan masalah, karena mereka tidak berurusan dengan strategi perwujudan pembangunan berkeadilan sosial, meski bertanggung jawab dalam bidang Kamtibmas.
Pengamat Sosial Sumut itu juga merekomendasi beberapa tindakan yang layak dalam meminimalisir hingga menuntaskan permasalahan yang kerap terjadi.
“Pemerataan pembangunan antara Medan Utara dan Selatan harus melalui urban renewal, infrastruktur dasar, dan akses ekonomi. Seruan kepada Walikota sangat penting diperkeras setiap saat,” ucapnya.
Selain itu, kata Shohibul, pendekatan multisektor yang melibatkan pendidikan, budaya, dan pelatihan kerja bagi pemuda lokal. Keterlibatan pemerintahan pada level tersebut, termasuk Kementerian sangat mutlak.
“Evaluasi ulang orientasi institusi penegakan hukum untuk lebih menyentuh aspek preventif dan keadilan restoratif. Penataan ulang tata ruang yang mengintegrasikan kawasan Belawan ke dalam rencana pembangunan kota secara utuh juga sangat penting,” katanya.
Namun, Shohibul menyayangkan peristiwa penonaktifan pemimpin penegak hukum di Belawan yang terjadi seolah benar, menurutnya hal tersebut sebuah kesalahan besar yang dilakukan jajaran pimpinan penegak hukum.
Sebelumnya, telah terjadi aksi tawuran antara dua kelompok yang terjadi di Medan Belawan. Bertepatan pada peristiwa tersebut, Kapolres Belawan, Oloan Siahaan bersama pihak kepolisian Belawan berupaya membubarkan aksi tersebut.
Namun, hal tidak disangka terjadi, niat baik hendak membubarkan, Kapolres dan jajarannya diserang dengan hujan batu. Akibatnya, tembakan peringatan dikeluarkan oleh Kapolres Belawan. Merasa tak diindahkan, tembakan tersebut diarahkan kepada pelaku tawuran.
Dari tembakan tersebut, dua orang mengalami tembakan, dengan kondisi satu orang meninggal dunia, dan seorang lainnya mengalami perawatan dari luka tembak.
Akibat dari peristiwa tersebut, Kapolres Pelabuhan Belawan telah dinonaktifkan Kapolda Sumut, Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto. (ari/hm18)