Monday, November 10, 2025
home_banner_first
MEDAN

Mengenang Mas Kadiran, Kolonel Polisi yang Diberi Julukan 'Singa dari Tapanuli' oleh Masyarakat

Mistar.idSenin, 10 November 2025 14.43
AN
MI
mengenang_mas_kadiran_kolonel_polisi_yang_diberi_julukan_singa_dari_tapanuli_oleh_masyarakat

Makam Kolonel Polisi (Purn) Mas Kadiran saat diziarahi oleh Wakil Gubernur Surya pada peringatan Hari Pahlawan 2025. (Foto: Iqbal/Mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Ratusan pusara yang berada di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kota Medan tentu memiliki sejarah nasionalis di dalamnya. Tidak terkecuali dengan Mas Kadiran, Kolonel Polisi yang juga dimakamkan di kompleks pemakaman di Jalan Sisingamangaraja, Medan.

Nama Mas Kadiran mungkin tak setenar purnawirawan lainnya di Indonesia. Namun, sosoknya tak akan hilang dari sejarah khususnya di hati masyarakat Sumatera Utara (Sumut).

Penulis sejarah Elvanus Tampubolon mengatakan, Mas Kadiran adalah sosok penting dalam pertempuran sengit antara pejuang Indonesia melawan Belanda pada tahun 1949 silam.

“Pada 5 Mei 1949 pertempuran itu terjadi. Pejuang Indonesia, khususnya dari kepolisian atau Mobrig yang kini dikenal sebagai Brimob dipimpin oleh Mas Kadiran,” ujarnya kepada Mistar usai pelaksanaan ziarah memperingati Hari Pahlawan Nasional, Senin (10/11/2025).

Mas Kadiran merupakan sosok yang tidak asing bagi masyarakat Tapanuli, sebab pertempuran tersebut terjadi di Benteng Huraba, sebuah desa di Kecamatan Batang Angkola, Tapanuli Selatan.

“Saat pasukan Indonesia diserang Belanda, di Benteng Huraba Batang Angkola itulah dibuat satu markas pertahanan. Sempat terjadi tembak-menembak jarak 5 meter. Banyak pejuang kita yang gugur saat itu,” ucap Elvanus.

Ia melanjutkan, serangan balik terjadi pada 6 Mei 1949. Saat itu, pasukan yang dipimpin oleh Mas Kadiran berhasil mengusir Belanda dari wilayah Tapanuli.

“6 Mei hidup atau mati, benteng Huraba harus dipertahankan. Saat itu Belanda datang secara konvoi dari Sidimpuan, tapi Tuhan memberkati ada Rudi Sitanggang dan Parulian Hutabarat, dua pejuang yang turut bertempur. Akhirnya Belanda berhasil dipukul mundur kembali ke Sidimpuan,” ujar pria 85 tahun itu.

Elvanus menilai, sosok Mas Kadiran sebagai pemimpin pertahanan di Benteng Huraba sangat penting bagi pertahanan Indonesia saat itu. Menurutnya, jika benteng tersebut berhasil ditembus Belanda, maka pemerintahan Indonesia di Bukittinggi juga terancam.

“Itulah sebabnya peristiwa ini dikenang sepanjang masa. Pemerintahan darurat Indonesia atau PDRI saat itu berada di Bukittinggi. Jika Benteng Huraba jatuh, mungkin PDRI tak terselamatkan. Tapi saya tidak bisa menulis itu secara tegas, karena banyak pahlawan lain juga berjasa,” katanya.

Oleh masyarakat, Mas Kadiran kemudian dijuluki ‘Singa dari Tapanuli’ karena keberanian dan kejujurannya.

“Julukan itu diberikan masyarakat kepadanya, padahal beliau itu orang Jawa,” ujarnya.

Elvanus mengaku sempat berinteraksi langsung dengan Mas Kadiran semasa hidupnya. Ia bahkan menerima pesan pribadi dari sang Kolonel agar terus menulis sejarah perjuangan.

“Kebetulan saya memang menulis sejarah para pejuang, termasuk Mas Kadiran. Kalau saya tidak bersama mereka semasa hidup, dari mana saya bisa dapat keterangan? Ada 77 pejuang yang saya tulis, dan sudah ada tujuh buku saya terbitkan masing-masing 200 sampai 500 halaman,” ucapnya.

“Sebelum beliau meninggal, saya baru menulis satu buku. Pesan terakhirnya dalam bahasa Batak, ‘Pak Tampubolon, tolong tulis sejarah terus.’ Itulah amanah beliau kepada saya,” tutur Elvanus.

Berjuang mati-matian di medan perang, Mas Kadiran justru berpulang karena sakit.

“Beliau meninggal karena sakit. Tahun 1988 kami sempat minum kopi dan makan pisang bersama, tiba-tiba beliau sakit perut. Lalu dibawa ke rumah sakit dan wafat pada 22 September 1988,” kenangnya.

“Semua rahasia beliau saya tahu, tapi tidak bisa saya buka. Kedekatan saya dengan dia lebih dari dekat. Mungkin pensiunan Brimob lebih sering bersamanya, tapi soal rahasia saya lebih tahu,” tutur Elvanus.

Namun, Elvanus mengaku ada satu hal yang hingga kini belum diketahui, yakni tempat kelahiran Kolonel Polisi kelahiran 1 Januari 1913 itu.

“Sampai saat ini saya belum tahu di mana dia lahir, karena semasa hidupnya tidak pernah bercerita. Riwayat hidupnya sudah saya tulis, tapi tempat lahirnya belum saya temukan. Yang jelas, beliau tinggal di Medan dan pernah bertempur di Tapanuli,” katanya.

Selain dikenang melalui kisah perjuangannya, nama Mas Kadiran kini diabadikan sebagai nama rumah sakit kepolisian di Medan, yakni RS Bhayangkara TK II Mas Kadiran Medan di Jalan Wahid Hasyim, Medan. (hm25)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN