IDAI: Pemerintah Pegang Peran Sentral Sebagai Regulator dan Fasilitator Menangani Permasalahan Anak

Ketua IDAI Sumut, dr Rizky Adriansyah, M.Ked (Ped), Sp.A (K) (foto: Berry/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan pemerintah memegang peran sentral sebagai regulator dan fasilitator dalam menangani permasalahan anak terkait tinggi angka stunting, kematian bayi, kekerasan terhadap anak dan permasalahan lainnya.
"IDAI Sumut mendorong langkah strategis dan terintegrasi dengan penguatan sistem kesehatan dari hulu (pencegahan) ke hilir (penanganan)," ujar Ketua IDAI Sumatera Utara (Sumut), dr Rizky Adriansyah, M.Ked (Ped), Sp.A (K) kepada Mistar, Jumat (1/8/2025).
Dari hulu, dijelaskan Rizky, menggalakkan edukasi masif mulai dari calon pengantin, ibu hamil, hingga keluarga tentang pentingnya gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
"Pentingnya pola asuh yang benar, dan kesehatan reproduksi remaja dan peran posyandu dan puskesmas harus diperkuat sebagai garda terdepan," tuturnya.
Penanganannya , dikatakan Rizky, dengan memastikan setiap anak yang bermasalah, stunting, gizi buruk, korban kekerasan mendapatkan tata laksana komprehensif, sesuai standar dan akses ke dokter spesialis anak, psikolog, dan fasilitas rehabilitasi.
Menurut Ketua Kardiologi IDAI Pusat, masalah anak bukan hanya urusan Dinas Kesehatan, sehingga perlu kolaborasi lintas sektor yang konkret dan kerja sama dengan pihak lainnya agar program lebih terintegrasi dan bukan jalan sendiri.
"Seperti kerjasama nyata antara Dinas Pendidikan (kurikulum kesehatan reproduksi dan mental), Dinas Sosial (penanganan korban kekerasan), Dinas P3AKB (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), BKKBN, hingga aparat penegak hukum," ujarnya.
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara itu menegaskan, pemerintah harus memastikan peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan ramah anak dan remaja, tersedia hingga ke daerah terpencil.
"Termasuk ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten, alat medis yang memadai, serta pusat layanan krisis terpadu bagi korban kekerasan," ucapnya.
Alumni FK Universitas Indonesia itu juga mengatakan, khusus untuk kasus kekerasan, diperlukan penegakan hukum yang tanpa kompromi untuk memberikan efek jera dan perlu ada regulasi yang melindungi anak dari paparan konten negatif di media digital. (Berry/hm18)