Tuesday, November 4, 2025
home_banner_first
EKONOMI

10 Negara dengan Inflasi Tertinggi 2025, Terungkap Dampak Ekonominya

Mistar.idSenin, 3 November 2025 21.29
FN
10_negara_dengan_inflasi_tertinggi_2025_terungkap_dampak_ekonominya

Ilustrasi, Inflasi Tertinggi 2025. (foto:ai/mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Inflasi global pada 2025 memperlihatkan ketimpangan ekonomi yang tajam. Meski negara maju berhasil menurunkan laju kenaikan harga, sebagian besar negara berkembang masih bergulat dengan inflasi tinggi, depresiasi mata uang, dan tantangan struktural.

Tekanan harga tidak hanya menggerus daya beli masyarakat, tetapi juga menguji kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi. Dari Afrika hingga Amerika Selatan, beberapa negara bahkan mencatat inflasi dua hingga tiga digit, mencerminkan rapuhnya fondasi ekonomi mereka.

Dilansir dari media bisnis.com, pada Senin (3/11/2025) malam, menurut riset Nairametrics dan data statistik resmi hingga Oktober 2025, berikut sorotan 10 negara dengan inflasi tertinggi di dunia:

1. Sudan Selatan – 107,9%

Negara ini menghadapi krisis inflasi tertinggi global. Depresiasi pound Sudan Selatan, ketergantungan pada pendapatan minyak, dan defisit fiskal kronis membuat harga pangan dan bahan bakar melonjak. Stabilisasi ekonomi memerlukan reformasi fiskal dan produksi domestik yang lebih kuat.

2. Sudan – 83,47%

Meskipun turun dari angka sebelumnya, inflasi Sudan tetap sangat tinggi akibat pasokan uang berlebih dan distorsi pasar. Stabilitas nilai tukar, pengendalian uang beredar, dan peningkatan produksi pangan domestik menjadi kunci pemulihan.

3. Iran – 38,9%

Defisit fiskal, depresiasi rial, dan sanksi internasional mendorong inflasi tetap tinggi. Langkah strategis termasuk memperkuat otonomi bank sentral dan konsolidasi fiskal, serta membuka akses perdagangan energi yang stabil.

4. Burundi – 36,9%

Harga pangan dan transportasi melonjak karena produksi domestik lemah dan ketergantungan impor tinggi. Reformasi pertanian, perbaikan infrastruktur, dan disiplin fiskal diperlukan untuk menurunkan tekanan harga.

5. Turki – 33,29%

Inflasi tetap tinggi karena pelemahan lira dan kebijakan moneter longgar. Pengetatan suku bunga, reformasi fiskal, dan peningkatan produksi domestik menjadi strategi untuk memulihkan stabilitas harga.

6. Zimbabwe – 32,7%

Meski turun drastis, inflasi tetap menantang karena kepercayaan masyarakat terhadap mata uang baru rendah. Peningkatan manufaktur, transparansi fiskal, dan stabilisasi moneter menjadi langkah penting.

7. Haiti – 31,9%

Ketidakstabilan politik, keamanan, dan rantai pasok rapuh mendorong harga tetap tinggi. Stabilisasi gourde, penguatan sektor pertanian, dan investasi infrastruktur menjadi kunci menurunkan inflasi.

8. Argentina – 31,8%

Inflasi kronis akibat defisit fiskal dan depresiasi peso tetap membayangi ekonomi. Konsolidasi fiskal, disinflasi yang kredibel, dan otonomi bank sentral menjadi prioritas untuk stabilisasi jangka panjang.

9. Malawi – 28,7%

Kenaikan harga pangan dan bahan bakar, depresiasi kwacha, serta tingginya biaya logistik memperkuat tekanan inflasi. Peningkatan produktivitas pertanian dan disiplin fiskal diperlukan untuk memulihkan stabilitas.

10. Angola – 18,2%

Inflasi menurun dibanding tahun sebelumnya, berkat stabilisasi kwanza dan kebijakan moneter lebih ketat. Namun ketergantungan impor dan fluktuasi harga minyak masih menjadi tantangan utama.

Kesimpulan: Daftar ini menegaskan bahwa inflasi tinggi bukan hanya soal angka, tetapi cerminan dari ketidakstabilan politik, kelemahan institusi fiskal, dan ketergantungan ekonomi. Negara dengan fondasi ekonomi kuat mampu menahan gejolak harga, sementara negara yang rentan menghadapi tekanan struktural yang terus memicu inflasi tinggi.

Dengan dominasi negara Afrika dalam daftar ini, 2025 menjadi pengingat bahwa pengendalian inflasi bukan sekadar soal kebijakan moneter, melainkan ujian terhadap daya tahan institusi dan ekonomi nasional. (*/hm27)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN