Analisis Psikologis Tokoh Aruna: Trauma, Simbol Makanan, dan Mimpi

Novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak dibedah dalam sebuah diskusi pada acara Jong Batak's Arts Festival (JBAF) ke-12. (foto:amita/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak dibedah dalam sebuah diskusi pada Jong Batak's Arts Festival (JBAF) ke-12 di Taman Budaya Kota Medan.
Diskusi tersebut menyoroti analisis psikologis tokoh Aruna yang sarat trauma serta penggunaan makanan sebagai simbol naratif dan refleksi batin.
Salah seorang narasumber, Eka Dalanta, menjelaskan bahwa trauma masa lalu Aruna yang dipicu oleh hubungan orang tuanya yang tidak harmonis sangat mempengaruhi cara pandangnya terhadap kehidupan, yang kemudian terefleksikan melalui mimpi-mimpinya.
“Cerita-cerita tersebut menggambarkan pengalaman psikologis Aruna. Melalui itu, kita mencoba mengenal siapa tokoh Aruna dan bagaimana dirinya terbentuk,” ujar Eka, Kamis (23/10/2025).
Menurut Eka, Laksmi memainkan peran penting dalam menghadirkan makanan sebagai simbol psikologis dan naratif. Hal ini tampak jelas dalam sejumlah fragmen mimpi Aruna yang menggambarkan konflik batinnya.
Eka mencontohkan salah satu mimpi Aruna, di mana karakter Koh Copin mati tertembak, dan seluruh peristiwa tersebut digambarkan dengan elemen makanan.
“Dalam mimpiku dini hari itu, Koh Copin mati ditembak saat dia sedang menuangkan kaldu ke semangkuk mie. Wajah dan kepalanya dihiasi lembar-lembar mi, bihun, dan sawi hijau. Matanya membelalak seperti bola mata ikan kerapu, hidungnya penyok seperti pangsit rebus,” kutip Eka dari novel.
Penggambaran ini, kata Eka, menunjukkan bagaimana Aruna membayangkan segala hal termasuk trauma dan kenangan masa lalunya melalui simbol makanan.
“Dia menghadirkan makanan sebagai simbol, sebagai ingatan masa lalu, bahkan sebagai bentuk candaan terhadap luka-lukanya sendiri,” ujarnya.
Eka juga menyoroti kutipan “Muktamar Para Burung” di akhir perjalanan tokoh-tokoh dalam novel yang dianggap sebagai kesimpulan naratif.
“Dia ingin menunjukkan bahwa kebahagiaan dari makanan tidak selalu bisa diungkapkan dengan bahasa. Kadang, rasa bahagia itu justru dirayakan dalam keheningan,” ujar Eka, mengutip potongan teks, ‘The new day, that’s type of way, no man can speak. This bird can’t appear, we are too weak’.
Novel Aruna dan Lidahnya juga menampilkan struktur naratif unik. Masa lalu tokoh utama tidak disajikan secara linier, melainkan lewat fragmen mimpi yang dicetak miring di setiap awal bab.
Narasumber lain, Ahmad Hakiki, menilai pola tersebut sebagai strategi penulis agar fokus cerita tetap terjaga, terutama dalam eksplorasi kuliner dan isu pandemi, tanpa mengganggu ritme utama.
“Aku melihat Laksmi ingin menghadirkan mimpi-mimpi ini sebagai potongan masa lalu Aruna,” tutur Kiki.
Ia membandingkan teknik tersebut dengan konsep video game, di mana tidur menjadi titik penyimpanan (save point) yang membuka kilas balik, sehingga pembaca dapat memahami akar psikologis Aruna tanpa mengganggu alur utama.
Kiki juga membahas bab “Musyawarah Para Burung”, yang merujuk pada syair sufi karya Fariduddin Athar. Bab ini memancing perbincangan tentang hubungan antara agama, prinsip personal, dan universalitas makanan dalam konteks keberagaman budaya.
Menurut Kiki, novel ini menampilkan situasi di mana para tokoh seperti Faris, Aruna, dan teman-temannya berhadapan dengan makanan yang secara syariat Islam tergolong haram. Meski makanan bersifat universal, keberagaman prinsip menjadi batasan yang harus dihormati.
“Secara jelas makan babi dan sebagainya haram dalam Islam. Tapi di sini kita lihat Bono dan teman-teman sering mengeksplorasi makanan haram itu,” kata Kiki.
Namun, lanjutnya, Aruna dan Lidahnya bukan sekadar tentang makanan haram, melainkan bagaimana manusia mengelola prinsip di tengah perbedaan.
“Laksmi membahas bagaimana manusia, dengan prinsipnya masing-masing, tetap bisa saling memahami,” ucap Kiki.
Hal ini terlihat ketika Aruna dan tim menghargai keputusan Faris untuk menolak makanan haram dengan mencarikan alternatif halal baginya. Sikap saling menghormati juga tampak dari karakter sopir yang enggan mendatangi tempat yang menyajikan makanan haram, dan tim tetap menghargai pendiriannya.
“Kita harus memahami untuk tidak memaksanya mengikuti prinsip kita,” tegas Kiki, menekankan pentingnya toleransi dalam keberagaman. (hm16)
PREVIOUS ARTICLE
KAI Sumut Gandeng Kejati Sumut untuk Amankan Aset NegaraBERITA TERPOPULER









Prediksi Flamengo vs Racing Club: Duel Panas Brasil vs Argentina di Semifinal Copa Libertadores 2025
