Tuntutan Rendah Terhadap Dua Rekanan Penyuap Topan Ginting Jadi Preseden Buruk

Terdakwa Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun (depan) dan terdakwa Muhammad Rayhan Dulasmi Piliang (belakang) saat menjalani persidangan. (foto: deddy/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat hukum, Irvan Saputra, menilai tuntutan dua rekanan penyuap mantan Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara (Sumut), Topan Obaja Putra Ginting, dan sejumlah pejabat lainnya sangat rendah.
Kedua rekanan tersebut, yaitu Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun selaku Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup (DNTG) dan anaknya bernama Muhammad Rayhan Dulasmi Piliang alias Rayhan, selaku Direktur PT Rona Na Mora (RNM).
Seperti diketahui, Kirun dituntut tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider enam bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara, Rayhan dituntut 2,5 tahun penjara serta denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan.
Keduanya dinilai telah memenuhi unsur Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Menurut saya, tuntutan ini tak memberikan rasa keadilan di masyarakat. Seyogianya secara hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor menyebut bahwa pidana tersebut paling singkat setahun, paling lama lima tahun penjara," ucap Irvan saat dihubungi melalui sambungan seluler, Jumat (7/11/2025).
Baca Juga: Breaking! KPK Tuntut Dua Rekanan Topan Ginting 2,5–3 Tahun Penjara Kasus OTT Jalan di Sumut
Dikatakan Irvan, seharusnya KPK sebagai lembaga anti rasuah yang berfokus pada pemberantasan korupsi menuntut kedua terdakwa tersebut secara maksimal.
"Tuntutan ini menjadi preseden buruk dan menimbulkan pertanyaan masyarakat kenapa tuntutannya cuma tiga tahun atau 2,5 tahun penjara, sedangkan yang maling saja dengan ancamannya lima tahun, tuntutannya di atas tiga tahun," katanya.
Akademisi Universitas Dharmawangsa Medan (Undhar) itu menuturkan, tuntutan KPK justru mengkhianati sikap pemerintah yang berkomitmen dalam memberantas korupsi. Menurut Irvan, tuntutan tersebut tidak sejalan dengan cita-cita pemerintah.
"Ini mengkhianati sikap pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Kalau ini terus terjadi dan diberikan tuntutan atau putusan ringan, maka ini tidak memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi," tuturnya.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan itu, KPK mestinya menuntut Kirun dan Rayhan lima tahun penjara sebagai bentuk keseriusan pemberantasan korupsi dan memberikan efek jera.
"Setidak-tidaknya menuntut dengan lima tahun penjara dan denda yang maksimal juga. Kami menyayangkan tuntutan ringan tersebut. Ini akan berdampak pada makin maraknya perbuatan korupsi khususnya di Sumut. Kalau tuntutan ringan, maka nanti putusannya bisa lebih ringan ataupun tetap," ucap Irvan.
Tuntutan rendah ini, dikatakan Irvan, juga akan memunculkan pandangan liar di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan yang diketuai Khamozaro Waruwu menjatuhkan vonis maksimal kepada Kirun dan Rayhan.
"Ini akan menimbulkan spekulasi-spekulasi kepada KPK, mengapa tuntutannya sangat rendah? Secara hukum, kami mendesak supaya hakim memberikan putusan yang maksimal. Kita meyakini hakim akan tegas saat putusan nanti dan akan memutus secara maksimal," ujarnya.
Menurut dakwaan, Kirun dan Rayhan didakwa menyuap Topan dkk Rp4 miliar agar dimenangkan menjadi pelaksana proyek jalan di Kabupaten Padang Lawas (Palas) dan Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) tahun anggaran 2025.
Proyek jalan di Palas dan Tapsel tersebut, yaitu Jalan Sipiongot–Batas Labuhanbatu dengan pagu anggaran sebesar Rp96 miliar serta Jalan Hutaimbaru–Sipiongot senilai Rp61,8 miliar. (hm24)
























