Friday, August 15, 2025
home_banner_first
HUKUM & PERISTIWA

Sepenggal Kisah Kelam di SMA Matauli Pandan, Tapanuli Tengah

journalist-avatar-top
Jumat, 15 Agustus 2025 21.19
_sepenggal_kisah_kelam_di_sma_matauli_pandan_tapanuli_tengah_

SMM, korban persekusi geng sekolah hingga babak belur saat dirawat di RS. (foto: ericson/mistar)

news_banner

Tapteng, MISTAR.ID

Di balik tembok sekolah unggulan berbasis asrama, terkuak kenyataan yang mencabik nurani. SMAN 1 Matauli Pandan, Tapanuli Tengah (Tapteng), yang selama ini dielu-elukan sebagai sekolah bergengsi dan berprestasi, mendadak tercoreng oleh aksi kekerasan brutal antar siswa.

Seorang pelajar berinisial SMM, babak-belur dihajar puluhan teman sekolahnya. Giginya patah, pembuluh darah mata pecah, telinga koyak, dan wajah bengkak. Harapan orang tua yang menitipkan anak untuk menimba ilmu dan adab di sekolah ini, seketika runtuh, digantikan dengan amarah, trauma dan tuntutan keadilan.

Ericson Maharaja, orang tua korban kisah tragis yang menimpa anaknya. Dari penuturan anaknya kepada dirinya, awal kejadian pengeroyokan yang menimpa korban terjadi di ruang kelas dan berlanjut ke kamar mandi sekolah.

"Saat itu pada jam istirahat full day. Anak saya sedang tiduran di ruang kelas. Tiba-tiba dia dibanguni dan langsung dipukul sangat keras pada bahagian kepala bagian belakangnya. Pemukulan diduga dilakukan oleh ketua salah satu geng di sekolah itu," ujar Ericson, Kamis (14/8/25).

Tak hanya sampai di situ saja, lanjut Ericson, korban kemudian ditarik dan didorong oleh beberapa orang, lalu digiring dan dimasukan ke kamar mandi. Di sana anaknya dipukuli oleh teman sekelasnya yang jumlahnya mencapai puluhan siswa, yang tak lain anggota geng sekolah tersebut.

Ericson tidak menyangka jika di sekolah bergengsi dan membanggakan itu bisa terjadi kekerasan. Yang ia tahu, sekolah tersebut terkenal atas prestasinya.

Erikson yang merupakan Ketua DPC GAMKI Tapteng itu mengaku, bersama pengurus dan kader GAMKI, ia telah melaporkan kejadian itu ke Polres Tapteng untuk meminta polisi memeriksa para terduga pelaku penganiaayan berat yang dialami anaknya.

Semula, saat korban pulang ke rumah, SMM mengaku luka yang dialaminya akibat terjatuh di tangga kolam renang. Namun saat dibawa ke rumah sakit Meta Medika Sibolga--waktu berbaring di ruang IGD--terlihat darah segar masih mengalir dari mata, telinga dan mulutnya. Kondisi itu membuat orang tuanya curiga.

Orang Tua Meradang

Erikson mengaku meradang atas kejadian yang menimpa anaknya di sekolah bergengsi.

"Di sini saya meminta keadilan agar ditegakkan. Saya menyekolahkan anak saya ke Matauli bukan untuk dianiaya dan mengalami cacat permanen, tetapi untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari sekolah lainnya," ucapnya.

Ia berharap, proses hukum harus dikedepankan demi keadilan anaknya yang sudah dianiaya. Ia tidak ingin ada kejadian serupa terjadi di tempat yang sama. Ia meminta kepada Polres Tapteng segera mengusut tuntas perkara ini.

Menurut Ericson, Kepala Sekolah SMAN 1 Matauli Pandan, Deden Rachmawan dan beberapa guru sudah hadir berkunjung melihat langsung saat Sony dirawat dan divisum di RS Meta Medika Sibolga.

"Terima kasih, Pak Deden Kepala Sekolah dan guru wali kelas anak saya yang setiap hari menanyakan kondisi perkembangan anak saya," ujarnya, seraya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang memberi dukungan dan kekuatan kepada keluarga mereka.

Ericson mengatakan, dia telah menyekolahkan 2 orang anaknya di SMAN 1 Matauli Pandan. Dirinya percaya kalau sekolah itu adalah salah satu sekolah terbaik di Tapteng dan Sumatera Utara.

"Pesan saya, tolong secara tuntas memberantas kelompok-kelompok geng sekolah yang tumbuh subur saat ini, agar tidak ada lagi anak-anak yang lain yang menjadi korban persekusi," harapnya.

Ia mengungkapkan, anaknya SMM sudah dipersiapkan untuk menjadi polisi atau TNI dengan membuat les private samapta dan renang. Namun, akhirnya mimpi itu harus dikubur karena gigi korban sudah rusak. Tapi di sisi lain ia tetap bersyukur karena anaknya masih hidup setelah kejadian itu.

"Untuk menyelesaikan geng sekolah ini, seperti pepatah bijak 'Jangan membakar rumah kalau hanya mengusir tikus'. Buang orang-orang yang bermasalah dan biarlah SMAN 1 Matauli diisi orang-orang yang baik dan penuh semangat belajar. Cukuplah anak saya yang menjadi korban persekusi," tuturnya.

Ericson juga tidak ingin institusi pendidikan dan nama SMAN 1 Matauli tercoreng atas ulah kelompok-kelompok yang mengatas namakan geng, seolah-olah membuat sekolah Matauli tidak berdaya menghadapi kelompok tersebut.

"Sebagai orang tua korban, saya berharap SMAN 1 Matauli berbenah atas kejadian ini. Saya mendukung SMAN 1 Matauli Pandan bertindak tegas dan semakin berbenah. SMAN 1 Matauli adalah sekolah terbaik, dan saya mendukung Matauli berbenah," harapnya.

Hingga berita ini diturunkan pihak sekolah SMA N 1 Matauli Pandan belum memberikan keterangan resmi.

Sekolah Jangan Tutupi

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sekolah, menyayangkan peristiwa terjadinya kekerasan dilakukan geng sekolah di SMA Negeri 1 Matauli Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) dan pihak sekolah terkesan tertutup atas peristiwa itu.

"Saya tentunya merasa prihatin dan menyayangkan terjadinya peristiwa tersebut. Semestinya sebagai warga negara yang memiliki aturan hukum, aksi main hakim sendiri (eigenrichting) dengan penyiksaan atau penganiayaan tidak perlu dilakukan dengan alasan apa pun," ujar Direktur LBH Sekolah, Roder Nababan, Kamis (14/8/25).

Menurut Roder, tindakan persekusi yang dilakukan geng sekolah tidak dapat dibenarkan dan justru telah merendahkan martabat SMA Negeri 1 Plus Matauli yang dikenal didirikan oleh mantan Ketua DPR-RI Akbar Tanjung itu.

Roder menilai, jika melihat peristiwa ini, ada kelalaian dari pihak sekolah yang tidak mengetahui situasi di dalam lingkungan sekolah sebab ada terbentuk geng sekolah oleh siswa.

Kemudian, lanjut Roder, ia juga melihat, pihak SMA Negeri 1 Matauli Pandan terkesan tertutup setelah kasus persekusi ini mencuat ke publik. "Pihak SMA Negeri 1 Matauli Pandan harus jujur dalam hal ini dan berterus terang bahwa di dalam sekolah bergensi ini sedang tidak baik-baik saja," katanya.

Roder menegaskan, seharusnya pihak sekolah harus terbuka dan segera menjelaskan ke publik situasi saat ini di dalam sekolah mengingat para orang tua tentunya cemas mendengar adanya persekusi di sekolah tersebut.

"Soalnya para siswa di SMA Negeri 1 Matauli ini banyak juga yang dari luar daerah. Tentunya para orang tua ingin mengetahui lebih jauh tentang situasi di sekolah itu. Pihak sekolah tidak harus menutup-nutupi hal ini," ucapnya.

Selain itu, Roder juga menyayangkan sikap pihak SMA Negeri 1 Matauli yang tidak respon dengan peristiwa kejadian persekusi ini, mengingat pada saat kejadian tidak langsung melapor ke Polisi.

"Malah orang tua korban yang terlebih dahulu membuat laporan ke Polres Tapteng. Padahal seharusnya pihak sekolah yang harus lebih dulu membuat laporan," katanya.

Ia menduga, dengan tidak adanya respon dari pihak sekolah, tentunya masih banyak kebobrokan lain selama ini ditutup-tutupi pihak sekolah.

Roder berharap Polres Tapteng dapat segera melakukan penyelidikan di sekolah itu agar kasus ini dapat terang-benderang apa motif terjadinya kasus persekusi itu dan segera menaikkan status perkara tersebut.

Para pelaku dapat dijerat dengan sanksi pidana atas tindak pidana penganiayaan berat. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara bersama dapat juga dikenakan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Begitu juga dengan pihak sekolah dapat dituntut atas kelalaian yang ada di sekolah itu. Intinya kita berikan dukungan ke Polisi untuk segera menangkap para pelaku ini," harapnya.

14 Siswa Diperiksa

Terpisah, Polres Tapanuli Tengah (Tapteng) bergerak cepat melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dalam kasus persekusi SMM.

Kapolres Tapteng AKBP Wahyu Endrajaya menyampaikan, perkembangan penanganan kasus dugaan perkelahian antarsiswa SMA Negeri 1 Plus Matauli Pandan telah masuk pada tahap pemeriksaan saksi-saksi yang terlibat dalam perkelahian itu.

"Dapat kami jelaskan, di sini kami bukan untuk menangkap, tapi untuk meminta keterangan intensif dari beberapa siswa, ada sekitar 14 siswa, yang sudah dimintai keterangannya," ujar AKBP Wahyu Endrajaya, di Mapolres Tapteng, Kamis (14/8/25).

Kapolres menjelaskan, saat ini mengalami kendala, sebab korban belum bisa dimintai keterangannya karena masih dalam perawatan intensif di rumah sakit. "Satu siswa sebagai saksi kunci pada perkara ini juga belum dapat dimintai keterangannya karena yang bersangkutan tidak hadir," katanya.

Terkait peristiwa persekusi di SMA Negeri 1 Matauli Pandan itu, Wahyu meluruskan dan membantah para siswa yang diduga pelaku penganiayaan sebagai komplotan geng sekolah.

"Kami luruskan, peristiwa ini bukan pengeroyokan, tapi perkelahian atau penganiayaan terhadap korban inisial S," ucapnya.

Kapolres mengungkapkan, dari hasil pemeriksaan saksi sementara dari 14 siswa, kronologi kasus perkelahian antar siswa di sekolah itu berawal dari cekcok mulut.

"Permasalahan ini dipicu karena kesalahpahaman atau miskomunikasi antara kedua siswa. Akibat cekcok mulut saja, setelah itu mereka bertemu di tempat kejadian perkara (TKP), tepatnya di Jalan Baru, Sibolga" tutupnya.

Evaluasi Pola Asuh dan Pengawasan

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumatera Utara, Muniruddin Ritonga menyayangkan kekerasan antar anak harus terjadi. Pelaku harus bertanggungjawab atas perlakuan mereka, termasuk pihak sekolah. Sekolah harus mempedomani Permendikbud No.46 Tahun 2023, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

"Harusnya ini tidak boleh terjadi," ujar Muniruddin.

Ia menilai adanya titik lemah pola asuh dan pengawasan dari pihak sekolah. Sehingga menurutnya harus dilakukan evaluasi dan perbaikan. Pihak sekolah juga harus lebih ketat dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap siswa/siswi yang berkelompok-kelompok atau istilah lain Genk.

Jika terjadi pembiaran atas tindakan kekerasan atau persekusi yang terjadi di sekolah ini bisa menyebabkan hak anak tidak terpenuhi.

"Hak yang dilanggar atas perbuatan persekusi antara lain; Hak Atas kebebasan berpendapat, hak atas keamanan diri, hak atas kebebasan dari diskriminasi dan hak atas perlakuan yg adil," tandasnya.

Seperti diketahui, kekerasan antar siswa di sekolah berbasis asrama bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya sekolah unggul di Kecamatan Balige, Kabupaten Toba diduga mengalami tindak pidana kekerasan di Asramanya. Tindak kekerasan itu diduga dilakukan beberapa kakak seniornya sehingga korban melaporkan ke Polres Toba. (felix/hm24)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN