Pelaku Wisata Pasir Putih Parbaba Protes Penertiban Usaha, Hotel Besar Tak Tersentuh

Pelaku wisata Pasir Putih Parbaba saat membahas surat dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Samosir. (f:pangihutan/mistar)
Samosir, MISTAR.ID
Kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Samosir terkait penertiban usaha wisata di kawasan Pasir Putih Parbaba, Desa Huta Bolon, Kecamatan Pangururan, menuai penolakan dari warga.
Mereka menilai langkah penertiban yang dilakukan pemerintah tidak adil dan diskriminatif karena hanya menyasar usaha kecil, sementara bangunan hotel besar yang juga melanggar aturan justru dibiarkan.
Surat penertiban dengan nomor 500.13.39.1/936/DISBUDPAR yang dikeluarkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atas nama Bupati Samosir memicu gelombang keberatan dari para pelaku wisata.
Sebagai bentuk protes, Aliansi Pelaku Usaha Wisata Pasir Putih Parbaba telah mengirimkan surat keberatan kepada Kepala Dinas, dan juga Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, melalui Kantor Pos, Selasa (23/6/2025). Surat tersebut juga ditembuskan ke berbagai instansi pemerintah pusat.
Warga mempertanyakan konsistensi penegakan aturan, terutama Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang Garis Sempadan Danau. Menurut mereka, pemerintah justru menargetkan fasilitas wisata kecil milik masyarakat, sementara bangunan permanen milik korporasi tidak ditindak.
“Bangunan kami dari kayu, tidak permanen, dan malah menjadi daya tarik wisata. Tapi justru kami yang diperintah bongkar. Hotel Vantas yang membangun sampai lebih 100 meter ke danau tidak pernah disentuh. Ini bukan penataan, ini penindasan,” kata Kembali Pangihutan Sihaloho, salah satu pengelola wisata lokal.
Ia juga menyoroti pembangunan Hotel Labersa yang disebut mencaplok garis sempadan danau tanpa mendapatkan tindakan tegas dari pemerintah daerah.
Aliansi pelaku wisata menekankan bahwa bangunan-bangunan kayu, warung, dan pos sewa pelampung merupakan bagian dari identitas budaya masyarakat pesisir Danau Toba. Selain tidak permanen, bangunan ini juga dibangun secara swadaya.
“Pondok ini warisan orang tua kami. Bahkan beberapa dibangun tanpa merusak lingkungan. Kenapa kami yang ditertibkan?” ujar Esmi Sitangang.
Ia juga mengingatkan bahwa upaya penertiban serupa pernah dilakukan pada 2022, namun tidak diikuti dengan perbaikan fasilitas atau tata kelola dari pemerintah daerah.
Pasir Putih Parbaba dikenal sebagai destinasi favorit wisatawan yang ramai dikunjungi setiap akhir pekan. Aktivitas usaha lokal seperti sewa tikar, warung makan, hingga permainan anak menjadi tulang punggung ekonomi warga.
“Kami bukan hanya berdagang. Kami juga bersihkan sampah, bantu keamanan, bahkan bantu polisi kalau ada masalah. Kalau pondok dibongkar, kami harus makan dari mana?” kata Kristina Elia Sihaloho, ibu muda yang menggantungkan penghasilan dari aktivitas wisata.
Aliansi mencatat, setidaknya lebih dari 50 kepala keluarga menggantungkan hidupnya dari kawasan ini. Mereka khawatir penertiban tanpa solusi hanya akan memicu pengangguran dan keresahan sosial.
Minim Sosialisasi, Tak Ada Dialog dengan Warga
Pelaku usaha juga menyoroti bahwa kebijakan penertiban dilakukan secara sepihak tanpa adanya sosialisasi atau dialog dengan masyarakat. Mereka menilai, pendekatan yang digunakan terlalu represif dan mengabaikan kontribusi warga dalam menjaga kawasan wisata.
“Kami bukan perusak lingkungan. Tapi diperlakukan seolah-olah begitu. Padahal kami yang setiap hari menjaga kebersihan dan ketertiban kawasan,” ujar Sitanor Sihaloho.
Melalui surat keberatan yang dikirimkan ke berbagai pihak, aliansi pelaku wisata menyampaikan empat tuntutan utama pertama cabut dan tinjau ulang surat penertiban secara adil dan transparan. Kedua, tertibkan semua bangunan pelanggar garis sempadan, termasuk hotel dan resort besar. Ketiga, libatkan masyarakat dalam setiap proses perencanaan dan penataan kawasan wisata. Keempat, berikan ruang usaha yang legal, berbasis kearifan lokal masyarakat pesisir.
Surat tersebut ditandatangani oleh 67 warga lengkap dengan identitas resmi, sebagai bentuk keseriusan memperjuangkan hak mereka.
Kasus di Pasir Putih Parbaba menjadi potret ketimpangan dalam penataan kawasan wisata yang banyak terjadi di Indonesia. Di satu sisi, masyarakat lokal ditertibkan atas nama lingkungan, sementara pengusaha besar kerap lolos dari sanksi.
Padahal, Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa masyarakat berhak mendapatkan informasi dan dilibatkan dalam pengelolaan lingkungan hidup di wilayahnya. (pangihutan/hm25)
PREVIOUS ARTICLE
Tambang Ilegal Diduga Bebas Beroperasi di Dairi