Kasus Bansos Mandek: Kejari Samosir Bungkam, Publik Curiga Ada Permainan

Gedung Kejari Samosir (f:ist/mistar)
Samosir, MISTAR.ID
Penanganan dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) Program PENA pascabencana banjir bandang di Kabupaten Samosir tengah menjadi sorotan tajam publik. Namun, laporan masyarakat yang telah masuk sejak Januari 2025 ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Samosir belum menunjukkan titik terang, bahkan terkesan jalan di tempat.
Menurut Panda Sihotang, selaku pelapor kasus ini menyebut, Kajari Samosir, Karya Graham Hutagaol, belum juga memberikan kepastian hukum atas laporan dugaan penyimpangan dana bansos yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah.
Kekecewaan Marko tidak berdiri sendiri. Sejak laporan dilayangkan pada 15 Januari 2025, Kejari disebut tidak pernah menunjukkan keterbukaan informasi. Media juga mengalami hal serupa, permintaan wawancara resmi tidak kunjung mendapat tanggapan.
Wartawan Mistar sendiri telah berulang kali menghubungi Kepala Seksi Intelijen Kejari Samosir melalui pesan WhatsApp untuk meminta klarifikasi. Namun, tidak satu pun pesan itu direspons. Padahal, pertanyaan yang diajukan berkaitan langsung dengan laporan masyarakat mengenai dugaan penyelewengan dana bansos tahun anggaran 2024.
Saat dikonfirmasi secara langsung kepada Kepala Kejaksaan Negeri Samosir, Karya Graham Hutagaol, Jumat (20/6/2025), jawaban yang diterima juga minim substansi. “Buat aja suratnya, Pak. Pasti kita respona,” tulisnya singkat lewat WhatsApp.
Jawaban tersebut dianggap normatif dan tidak mencerminkan sikap serius dari lembaga penegak hukum. “Respon semacam ini justru memperkuat kesan bahwa Kejari ingin menghindar dari sorotan publik,” ucap Marko.
Data yang diterima redaksi menunjukkan, sebanyak 303 keluarga penerima manfaat (KPM) di wilayah Kenegerian Sihotang semestinya menerima bantuan tunai sebesar Rp5 juta per KPM. Namun dalam praktiknya, bantuan tersebut disalurkan dalam bentuk barang dengan nilai yang bervariasi, antara Rp3,8 juta hingga Rp4,2 juta per KPM.
Selisih dana sekitar Rp800 ribu per KPM jika dikalikan dengan total penerima, berpotensi menimbulkan kerugian negara mencapai Rp303 juta. Bantuan ini merupakan program dari Kementerian Sosial RI yang disalurkan melalui Dinas Sosial Kabupaten Samosir.
Ironisnya, pengadaan barang tidak dilakukan oleh lembaga lelang atau mekanisme tender terbuka, melainkan ditunjuk langsung kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Lebih aneh lagi, penunjukan ini dilakukan tanpa persetujuan tertulis dari para penerima manfaat.
Tiga desa terdampak dalam program ini yakni Desa Siparmahan (162 KPM), Desa Dolok Raja (77 KPM), dan Desa Sampur Toba (64 KPM), semuanya berada di Kenegerian Sihotang. Ketiganya masuk dalam program usaha produktif bansos, namun nyatanya, masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan maupun pengadaan.
Menurut Marko, praktik ini bertentangan dengan berbagai regulasi, antara lain Permensos No. 1 Tahun 2019 tentang Penyaluran Bansos Non Tunai, PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang Penggunaan Dana Bansos, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Laporan sudah kami lengkapi dengan bukti dan kajian hukum yang rinci, tapi tetap tidak ada progres. Ini mencurigakan,” kata Marko.
Tak hanya publik, media juga dibuat bingung dengan sikap diam Kejari Samosir. Permintaan wawancara resmi untuk mengonfirmasi status laporan, proses penyelidikan, hingga kemungkinan penetapan tersangka, tidak pernah dijawab.
Surat resmi yang dilayangkan pun berisi pertanyaan mendasar: kapan Kejari menetapkan tersangka dalam kasus ini? Namun hingga kini, belum ada satu pun jawaban yang diterima.
Penanganan kasus ini menjadi ujian serius bagi Kejaksaan Negeri Samosir. Masyarakat mempertanyakan, apakah benar lembaga ini siap menegakkan keadilan? Atau justru ikut menyembunyikan kasus?
Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2025 sebenarnya telah menegaskan pentingnya perlindungan hukum bagi jaksa dalam menjalankan tugas. Namun, perlindungan itu tentu tidak berlaku bagi jaksa yang tidak menjalankan tugas secara terbuka dan profesional.
“Saat menjabat Kepala Cabang Kejari Balige di Pangururan, pernah tersiar isu ia menerima suap dari salah satu kepala dinas. Kami khawatir ini terulang,” ungkap Marko, menyinggung rekam jejak Kajari Samosir.
Masyarakat kini menanti ketegasan dari Kepala Kejaksaan Negeri Samosir. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya uang rakyat, tapi juga kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Keterbukaan informasi dan akuntabilitas penanganan perkara adalah amanat undang-undang, bukan kebijakan suka-suka. Jika terus dibiarkan tertutup, bukan tidak mungkin kasus ini menjadi simbol gagalnya penegakan hukum di daerah. (pangihutan)
PREVIOUS ARTICLE
KAMMI Sumut Tegaskan Pelecehan Seksual 1998 Tidak Bisa Disangkal