Pasar Horas (1): Ikon Kota Siantar yang Kian Tergerus Waktu

Pintu masuk utama Gedung II Pasar Horas Pematangsiantar. Di tengah modernisasi saat ini, Pasar Horas menyimpan segudang masalah dan butuh perhatian serius dari Pemko Siantar untuk menuntaskannya. (foto:gideon/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Di jantung Kota Pematang Siantar, berdiri sebuah pasar yang menjadi denyut ekonomi masyarakat sejak puluhan tahun silam. Pasar Horas namanya. Pasar ini dikenal salah satu ikon kota ini.
Setiap pagi, aroma sayur segar, ikan basah, hingga gorengan hangat bercampur menjadi satu di udara. Suara pedagang yang menawarkan dagangan dan pembeli yang menawar harga menjadi simfoni khas yang tak pernah berhenti.
Namun di balik geliat ekonomi itu, Pasar Horas menyimpan segudang persoalan yang tak kunjung tuntas. Dari masalah kebersihan, pengelolaan, hingga tata ruang yang semrawut. Semuanya menjadi potret nyata tantangan pasar rakyat di tengah arus modernisasi.
Pasar Horas sejatinya adalah nadi perekonomian Siantar. Ribuan pedagang menggantungkan hidup di sana, dan ribuan pembeli datang setiap hari untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun, bagi banyak pengunjung, pasar ini tak lagi seindah kenangan masa lalu.
Lantai yang becek, tumpukan sampah yang menumpuk di sudut-sudut pasar, dan bau tak sedap dari saluran air yang mampet menjadi pemandangan biasa.
“Kalau hujan, air masuk ke kios. Kadang kami harus naikkan dagangan ke meja supaya nggak basah,” keluh boru Purba, salah satu pedagang sayur di sana kepada Mistar pekan lalu.
Sementara itu, pedagang ikan di lantai dasar mengaku sering mengeluarkan biaya pribadi untuk memperbaiki saluran air agar tidak meluap. “Kami sudah sering lapor, tapi jarang ditindaklanjuti,” ujarnya dengan nada pasrah.
Masalah lain yang menjadi sorotan adalah kemacetan di sekitar kawasan Pasar Horas. Di pagi dan sore hari, arus kendaraan padat tak terkendali. Pedagang kaki lima (PKL) yang meluber hingga ke badan jalan membuat ruang gerak semakin sempit. Bagi warga Siantar, kawasan Pasar Horas kini identik dengan macet. “Kadang cuma mau beli bawang, bisa setengah jam cari parkir,” kata Budi, pengunjung tetap pasar.
Baca Juga: Perobohan Gedung 4 Pasar Horas Pematangsiantar Capai 80 Persen, Target Rampung Lebih Cepat
Sementara itu, upaya pemerintah daerah menertibkan PKL kerap berujung benturan di lapangan. Bagi pedagang kecil, berjualan di luar gedung pasar adalah satu-satunya cara bertahan hidup.
“Di dalam penuh, nggak ada tempat. Mau nggak mau kami di luar,” ujar Toni, pedagang buah di trotoar depan pasar.
M.Siburian, pedagang kain di Gedung III lantai 2, mengatakan dirinya sudah berjualan sejak tahun 1980-an. Usaha itu merupakan warisan orangtuanya yang juga berdagang di lokasi yang sama.
"Sejak dulu tidak pernah ada disampaikan status lahan atau rencana relokasi pedagang. Sudah berpuluh tahun kami berjualan, tidak pernah mendapat informasi apa pun, terutama dari PD PHJ,” ujar Siburian, Jumat (17/10/25)
Menurutnya, fasilitas di lantai dua Gedung III relatif baik. Kamar mandi tersedia dan cukup bersih. Namun, soal keamanan masih menjadi perhatian, sebab beberapa kali terjadi pembongkaran kios.
"Petugas jaga malam hanya beberapa orang dan mengawasi seluruh gedung. Jadi wajar kalau tidak semua area bisa terpantau,” tambahnya.
Siburian menilai wacana pemindahan pasar ke lokasi lain sulit diterima oleh pedagang. “Di sini saja omzet sudah menurun, padahal Pasar Horas ini berada di inti kota. Kalau dipindahkan, bisa lebih sepi lagi,” katanya.
Ia juga menyoroti perubahan perilaku belanja masyarakat yang kini lebih memilih pusat perbelanjaan modern dan daring. “Masalah terbesar kami justru di belanja online. Itu sangat memengaruhi penjualan kami,” ucapnya.
Meskipun demikian, Siburian mengaku hubungan pedagang dengan pihak Perusahaan Daerah Pasar Horas Jaya (PD PHJ) masih berjalan baik. Retribusi kios yang dibayar setiap bulan sebesar Rp24 ribu, sementara Kartu Induk Pedagang (KIP) dibayar tahunan.
Sementara itu, pedagang sembako di lantai satu, Nawati Sitompul, mengeluhkan makin semrawutnya area dagang di sekitar lorong antara Gedung II dan III.
"Setiap tahun pedagang kaki lima makin banyak di depan kios kami. Mereka mayoritas jual ikan laut dan membuat jalan becek setiap hari,” katanya.
Ia memastikan pedagang kaki lima tersebut tidak resmi, namun belum ada tindakan tegas dari PD PHJ. Nawati khawatir kondisi ini akan makin parah jika tidak segera ditata ulang.
"Kalau dibiarkan, tiga sampai lima tahun lagi Pasar Horas bisa kotor dan semrawut. Masyarakat tentu enggan datang ke pasar tradisional,” ujarnya.
Nawati menambahkan, pada awalnya pedagang di Pasar Horas ditata berdasarkan jenis dagangannya. Pedagang ikan, ayam, dan daging berjualan di Gedung IV, pedagang kain di Gedung III, serta penjahit di Gedung II. Namun kini, menurutnya, penataan itu sudah tidak lagi berjalan.

Para pedagang di Pasar Horas Siantar. (foto:gideon/mistar)
Retribusi yang Tak Seimbang
Permasalahan lain yang kerap dikeluhkan pedagang adalah soal retribusi. Mereka mengaku tetap membayar iuran harian, tetapi fasilitas yang mereka dapatkan tidak sepadan.
“Bayar tiap hari, tapi pasar tetap kotor, air sering mampet, lampu mati. Kami tidak menolak bayar, tapi ingin tahu ke mana uangnya digunakan,” ungkap Siti, pedagang sembako lainnya.
Sejumlah pedagang juga mengeluhkan minimnya transparansi dari pengelola pasar di bawah PD Pasar Horas Jaya (PDPHJ). Mereka berharap dana retribusi dapat dikelola secara terbuka untuk memperbaiki fasilitas dasar.
Risiko Keamanan yang Mengintai
Selain kebersihan dan tata kelola, ancaman kebakaran juga menghantui para pedagang. Beberapa kali insiden kebakaran kecil terjadi akibat korsleting listrik. Instalasi listrik yang usang dan kabel semrawut menambah kekhawatiran mereka.
“Kalau malam, kami takut. Banyak kabel nyambung asal-asalan,” kata Johan, pedagang pakaian bekas di lantai dua. Hingga kini, jalur evakuasi dan alat pemadam di beberapa blok masih minim.
Kekuatiran Johan sangat nyata. Buktinya, pada September 2024 lalu, seluruh kios di gedung IV Pasar Horas musnah dilalap si jago merah. Meski belum diketahui apa penyebab pasti kebakaran, namun dugaan korsleting listik menguat, disamping dugaan lainnya, yakni adanya unsur kesengajaan.
Meski banyak persoalan, pedagang Pasar Horas tetap menyimpan harapan besar. Mereka ingin pasar ini kembali menjadi kebanggaan Kota Siantar. Bersih, tertib, dan nyaman dikunjungi.
“Pasar Horas itu ikon Siantar. Harusnya pemerintah serius memperbaiki. Bukan hanya saat mau ada kunjungan pejabat,” tutur Hotma, salah satu tokoh pedagang yang sudah berjualan lebih dari 20 tahun.
Harapan senada datang dari pengunjung. Mereka berharap ada sinergi antara pedagang, pengelola, dan pemerintah daerah. Sebab, di tengah derasnya ekspansi pasar modern dan belanja daring, keberadaan pasar tradisional seperti Pasar Horas tetap penting sebagai ruang interaksi sosial dan ekonomi rakyat kecil.

Penghancuran Gedung IV Pasar Horas. (fptp:gideon/mistar)
Tak Kehilangan Karakter
Melihat berbagai persoalan yang menimpa pasar tradisional itu, masih layak kah keberadaan Pasar Horas tetap dipertahankan di inti kota yang mengusung motto "Sapangambei Manoktok Hitei" ini?
Akademisi dari Universitas Simalungun (USI), Dian Purba menilai keberadaan Pasar Horas Pematangsiantar di jantung kota masih relevan dan efektif. Salah satu alasannya, mudah dijangkau masyarakat luas.
"Memiliki akses yang baik, parkir memadai dan dekat dengan transportasi umum. Terlihat jelas [visibilitas tinggi di area ramai). Berada dekat dengan target pasar, dekat dengan area perkantoran, sekolah, dan sebagainya," ucapnya saat dikonfimasi Mistar, Rabu (22/10/25).
Dikatakannya, keberadaannya salah satu pasar tradisional kebanggaan masyarakat Siantar dan menjadi ikon kota hingga sampai saat ini, tentunya menjadi tanggungjawab semua pihak, terutama Pemerintah Kota (Pemko), termasuk dari sektor pengamanan.
"Jika OPD terkait tidak proaktif dalam menjaga, dipastikan arus lalu lintas terganggu. Dampaknya balik lagi ke banyak pedagang yang menggantungkan hidup di pasar. Kegiatan transaksi perekonomian di lokasi sangat tinggi," tuturnya.
Dosen Fakultas Ekonomi itu berpendapat, Pasar Horas yang berdiri sejak masa kolonial itu tidak bergeser ke suatu lokasi lain.
"Kalau kita mundur ke belakang, pemindahan pasar sudah pernah dilakukan (ke tempat yang tidak strategis), akhirnya tutup dan membuang anggaran dengan cuma-cuma tanpa perhitungan yang matang," katanya.
Dian bilang, pasar yang ideal akan berjalan baik bila mendapatkan lokasi yang baik pula. Di antaranya, tidak jauh dari permukiman masyarakat. Jarak tempuh lokasi perlu diperhitungkan pemerintah, agar tak merugikan pedagang dan konsumen.
"Integrasi pasar tradisional ke dalam konsep modern yang ramah UMKM cukup baik jika dikombinasikan. Hal itu dapat dilakukan dengan menggabungkan keunggulan keduanya: mempertahankan nilai lokal dan interaksi sosial pasar tradisional, sekaligus mengadopsi efisensi dan teknologi dari konsep modern," ujar Dian.
Menurutnya, bila proses pembauran hingga menjadi satu kesatuan itu sah-sah saja dilakukan, namun tetap mengedepankan dan merawat kearifan lokal suatu daerah. "Toh masyarakat kita masih suka berbelanja ke pasar tradisional sejauh ini," ujarnya.
Dian berharap, pemerintah dapat menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan identitas sejarah Pasar Horas. Sebab, pasar itu salah satu urat nadi perdagangan di Kota Pematangsiantar.
Ia mengingatkan juga agar Pemko segera melengkapi kejelasan status aset bangunan agar tidak terkendala terhadap efektivitas pembangunan ke depannya.
"Keseimbangan itu melalui kebijakan-kebijakan revitalisasi yang komprehensif, regulasi, dan kolaborasi dengan komunitas. Upaya ini bertujuan agar pasar tradisional tidak hanya berfungsi sebagai pusat transaksi, tetapi juga sebagai ruang publik yang nyaman dan berdaya saing tanpa kehilangan karakter aslinya," kata Dian mengakhiri.
Terbit Dua Tahun Lalu
Menyinggung soal lahan Pasar Horas, Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Pematangsiantar mencatat luas keseluruhan lahan Pasar Horas berukuran 3.964 meter persegi. Sebidang gedung telah bersertifikat atas nama Pemerintah Kota (Pemko) Siantar.
"Gedung IV Pasar Horas berupa sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) atas tanah. HPL bernomor 01/Pematangsiantar," ucap Humas Kantah Immanuel Manullang kepada Mistar, Selasa (21/10/25).
Nuel, sapaan akrabnya, menyebutkan sejauh ini pihaknya tidak menemukan adanya tumpang tindih sertifikat atau klaim kepemilikan. Proses permohonan sertifikat oleh Pemko Pematangsiantar terlaksana di tahun 2023 lalu.
Dasar hukumnya, kata dia, ada di Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Salah satu pasalnya menjelaskan, tanah bisa didaftarkan dan disertifikatkan setelah ada bukti peralihan hak.
"Kantah Pematangsiantar bersifat menjembatani. Proses berdasarkan PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. SK pemberian HPL oleh Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 6 November 2023," tuturnya.
Dia merinci, pihaknya telah menyerahkan 600 sertifikat tanah aset Pemko Pematangsiantar pada tahun lalu.
"Proses sertifikasi tanah milik Pemko Pematangsiantar sudah melalui prosedur peraturan yang berlaku," tandasnya.(hm01)
BERITA TERPOPULER

























