Wednesday, September 3, 2025
home_banner_first
SIANTAR SIMALUNGUN

Dua Dekade Nestapa Warga Kampung Baru Gurilla

journalist-avatar-top
Selasa, 2 September 2025 20.05
dua_dekade_nestapa_warga_kampung_baru_gurilla

Okupasi lahan yang dilakukan pihak kebun di Kampung Baru Gurilla Siantar beberapa tahun lalu. (foto: jonatan/mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Dua dekade telah berlalu. Namun kehidupan ratusan warga yang bermukim di Kampung Baru, Kelurahan Gurilla-Bah Sorma, Kota Pematangsiantar, tak pernah benar-benar tenang.

Sejak 2004, ratusan kepala keluarga telah menggarap dan membangun rumah di atas lahan eks HGU PTPN III Kebun Bangun (sekarang PTPN IV pasca bergabung,red) yang masa berlakunya telah habis.

Namun, kedamaian itu terusik seketika, tepatnya pada 2022 lalu. Saat itu, pihak PTPN kembali mengokupasi ratusan hektar tanah yang mereka klaim sebagai aset perusahaan. Bentrokan, intimidasi, bahkan kekerasan pun mewarnai kehidupan warga.

Di tengah deretan 15 kali aksi unjuk rasa yang telah digelar warga--putusan Komnas HAM yang menyorot pelanggaran dan dugaan mafia tanah--ancaman penggusuran masih membayangi, sementara pemerintah, korporasi dan rakyat kecil hanya duduk di meja yang sama, tapi jarang menemukan kata sepakat.

Pengacara Publik dari LBH Pematangsiantar, Parluhutan Banjarnahor menuturkan, masyarakat yang tergabung di Organisasi Forum Petani Sejahtera Indonesia (Futasi) sejak tahun 2004, telah bertempat tinggal di Kampung Baru, Kelurahan Gurilla-Bah Sorma.

Dia menyebutkan, objek lahan atau tanah yang ditempati warga tersebut merupakan eks HGU PTPN III. Masa berlakunya telah habis atau tidak diperpanjang.

Usai terbitnya surat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI, kata dia, lahan itu kemudian dimanfaatkan masyarakat untuk membangun rumah tempat tinggal dan lahan pertanian sampai dengan tahun 2022, tanpa adanya gangguan dari pihak manapun. Bahkan masyarakat di sana telah memperoleh administrasi kependudukan berupa KTP dan KK.

Parluhutan menyebutkan, pada salinan April 2023 itu, Komnas HAM menyimpulkan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PTPN III terhadap warga Kampung Baru terkait upaya okupasi lahan sengketa.

"Karena ada korban kekerasan dalam okupasi dan hilangnya mata pencaharian masyarakat," ucapnya, baru-baru ini.

Dari serangkaian konflik tersebut, dia menduga adanya mafia tanah yang ikut terlibat melalui ganti rugi yang dilakukan pihak kebun kepada warga.

"Sesuai dengan amanah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, masyarakat berhak memiliki tanah eks HGU PTPN, karena masyarakat sudah menguasai lahan selama 20 tahun," katanya.

"Masyarakat punya hak sebagai warga negara untuk mendapatkan hak hidup yang layak, serta mendapatkan perlindungan hukum yang adil dari pemerintah," tutur Parluhutan menambahkan.

Ia menyebutkan, Anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut), serta Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (Wamen HAM) Mugiyanto Sipin, telah berkunjung ke lahan konflik Kampung Gurilla.

"Kunjungan ke lahan memberikan dukungan atas perjuangan masyarakat," kata Parluhutan mengakhiri.

Pemko Siantar Agendakan Rapat

Sementara itu, Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar mengagendakan rapat kembali untuk duduk bersama dalam menemukan titik terang persoalan konflik tersebut hingga Agustus 2025.

Hal itu menyusul aksi unjuk rasa warga Kampung Baru, Jumat (25/7/25) lalu. Mereka menggeruduk Gedung DPRD setempat. Aksi yang ke-15 kali itu dilakukan sebagai bentuk protes atas ancaman penggusuran yang menghantui pemukiman mereka, serta kebijakan pemerintah yang dinilai lebih berpihak kepada korporasi dibanding rakyat kecil.

Dalam pernyataan sikapnya, warga menyampaikan mereka telah menghuni kawasan tersebut sejak tahun 2004 dan secara swadaya membangun rumah, tempat ibadah dan infrastruktur lainnya.

Mereka merasa telah menjadi bagian dari kota dan berkontribusi dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. Namun, ancaman penggusuran terus membayangi karena status lahan yang diklaim sebagai kawasan perkebunan.

Peraturan Wali Kota (Perwali) Pematangsiantar Nomor 09 Tahun 2025 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RTDR) Tahun 2024-2044 telah terbit. Salah satunya, mengatur zona pertanian di Sapangambei Manoktok Hitei.

Perwali diteken Wali Kota Wesly Silalahi pada 11 Juni 2025. Pasal 24 menyebut, zona pertanian seluas 1.587,28 hektare yang terdiri atas sub zona tanaman pangan, holtikultura dan perkebunan. Sub adalah kata serapan dari bahasa latin yang berarti di bawah atau kurang dari. Pasal 24 itu mengatur sub zona perkebunan seluas 165,26 hektare.

"Perwali ini turunan dari Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2024 tentang RTRW Kota Pematangsiantar," ucap Sekretaris Daerah (Sekda) Pematangsiantar, Junaedi A Sitanggang kepada Mistar, belum lama ini.

Zona perkebunan di Kota Pematangsiantar memang masih menjadi isu penting di tengah-tengah masyarakat, secara khusus di Kampung Baru, Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Sitalasari. Adu klaim lahan telah berlangsung selama puluhan tahun.

Hingga saat ini belum ada penyelesaian secara tuntas. Konflik agraria terus terjadi. Di tengah klaim kepemilikan oleh pihak-pihak tertentu, sejumlah masyarakat yang telah menempati kawasan tersebut secara turun-temurun kini terancam kehilangan tempat tinggal.

"Namun, terkait aset-aset BUMN, kita juga harus mengonfirmasi ke mereka yang berada di atas areal HGU," ucap Junaedi.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pematangsiantar, Dedi Idris Harahap mengatakan, zona perkebunan tidak ada di tengah-tengah kota, namun berada di kawasan pinggiran kota.

"Artinya lahan milik PTPN kalau tidak digunakan lagi menjadi perkebunan. Tentu dikembalikan ke Kementerian BUMN. Kemudian, ada prosedur-prosedur selanjutnya. Apakah lahan akan diserahkan ke Pemerintah Daerah (Pemda) karena Pemda sebelumnya bermohon atau bagaimana," ucapnya.

Deddy enggan berkomentar terlalu jauh perihal jumlah masyarakat yang tinggal di Kampung Baru Gurilla tersebut. Namun, dia mengatakan jumlah warga yang terdata pada saat ini berkurang dari pendataan tahun 2023.

"Pemko Pematangsiantar terus berkoordinasi dengan Kementerian BUMN perihal status lahan serta memberikan perlindungan kepada masyarakat yang tinggal di sana," kata Dedi.

Anggota DPRD Ramses Manurung turut mengomentari persoalan ini. Ia pun mendesak Pemko Pematangsiantar untuk memfasilitasi pertemuan lanjutan antara PTPN, Kantor Pertanahan (Kantah), serta masyarakat. Hal itu menyusul massa Serikat Petani Sejahtera Indonesia (SEPASI) berunjuk rasa bulan lalu.

"Sebelum ada kesepakatan yang diambil, kita meminta jangan ada masyarakat yang diintimidasi di sana. Pemko Pematangsiantar segera mengambil langkah agar kehidupan masyarakat bisa nyaman dan aman dalam menjalani kehidupannya sehari-hari," ucap politisi PAN itu.

Kondisi terkini Kampung Baru Gurilla Siantar saat ini. (foto: jonatan/mistar)

Kewenangan Kantor Wilayah

Terpisah, Humas Kantor Pertanahan (Kantah) Pematangsiantar, Immanuel Manullang menyebutkan, HGU adalah izin yang diberikan kepada individu atau badan hukum untuk memperoleh dan memanfaatkan lahan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan peraturan yang berlaku.

Dalam konflik Gurilla tersebut, kata dia, pihaknya memfasilitasi sebatas proses kelengkapan administrasi. Proses yang dimaksud dalam penerbitan HGU diberikan Kantah Pematangsiantar atas tanah yang luasnya maksimal 5 hektar.

"Penerbitan di atas luas lahan itu menjadi kewenangan kantor wilayah (Kanwil)," ujar Nuel, sapaan akrabnya saat ditemui di ruang kerjanya.

Dia menegaskan, permohonan penerbitan Sertipikat Hak Milik (SHM) di atas lahan eks HGU tidak akan pernah diterima dan diproses oleh Kantah Pematangsiantar. Alasannya, karena lahan tercatat sebagai aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Nuel bilang, pihaknya mendorong masyarakat Kota Pematangsiantar agar tertib beradministrasi, teliti, dan detail dalam melakukan jual-beli aset tanah dengan menelusuri surat-surat kepemilikan sebelumnya.

"Jika objek yang dimaksud eks HGU tidak terdapat tumpang-tindih. Kita berpesan kepada masyarakat yang menguasai tanah-sudah dimiliki dengan merawat patok batas tanah pada subjek hak yang telah memperoleh sertifikat tanah dari negara," kata Nuel.

Masih Was-was

Terpisah, Ketua Serikat Petani Sejahtera Indonesia (SEPASI), Tiomerly Sitinjak, saat ditemui di Kampung Gurilla mengaku dia bersama masyarakat lainnya hingga sampai saat ini masih was-was setiap harinya. Upaya intimidasi dari pihak kebun masih terlihat.

"Setiap saat mereka masih datang. Kemarin saat masyarakat menanam tumbuhan, difoto-foto oleh sekelompok orang. Ditegur hingga nada tinggi dan dilarang. Kita sudah capek dengan kejadian-kejadian seperti itu. Kita cuekin saja menunggu proses selesai," tuturnya menambahkan.

Tiomerly berharap pada Pemko Pematangsiantar dan pihak terkait dapat melihat air mata dan ketakutan masyarakat yang sudah berpuluh-puluh tahun menetap di Kampung Gurilla, dengan berbagai bentuk intimidasi yang diterima mereka.

"Kita menunggu kabar baik seperti yang dijanjikan pemerintah sebelumnya saat aksi beberapa waktu lalu," katanya mengakhiri.

Mistar telah berupaya melayangkan konfirmasi pada Humas PTPN IV Regional II, Edi Prayetno. Namun, sampai berita ini diturunkan redkasi, Edi Prayetno belum memberikan keterangan.

Ajak Semua Pihak

Seperti diketahui, Wamen HAM Mugiyanto Sipin mengajak semua pihak untuk menjaga kondusivitas dan perdamaian. Hal itu dikatakannya saat bertemu dengan masyarakat setempat bertajuk Penegakan HAM di Wilayah Konflik Agraria Kampung Baru, Kelurahan Gurilla, Kota Pematangsiantar, Jumat (16/5/25) lalu.

"Tidak ada lagi yang namanya kekerasan di wilayah ini. Kami dari pemerintah berkomitmen melakukan hal itu," ucap Mugiyanto.

Setelah mendengar dan mencatat yang disampaikan masyarakat Kampung Baru, kata dia, Kemen-HAM bakal mengusulkan pembuatan kebijakan dengan kementerian terkait. Konflik yang terjadi antara PTPN III dan masyarakat menjadi atensi pihaknya.

"Negara bertanggungjawab dan hadir di tengah-tengah kita. Masyarakat harus bisa sekolah, hidup sejahtera, mendapatkan kerjaan yang layak dan baik. Tidak ada persoalan yang tidak bisa dibicarakan," tuturnya.

Mugiyanto menyebutkan, duduk bersama menjadi alasan kuat untuk memecahkan suatu permasalahan. "Yang saya lihat itu belum terjadi di sini," ujarnya. Secara khusus, ia meminta aparat penegak hukum memastikan tidak ada teror hingga intimidasi kepada masyarakat.

"Dari pengakuan masyarakat situasi yang tidak kondusif sering terjadi di Kampung Baru. Ini yang perlu menjadi perhatian kita semua, baik pemerintah daerah maupun penegak hukumnya. Ini tentang basic human rights [hak manusiawi]," ucapnya.

"Hak manusia yang menjadi dasar hak atas rasa aman. (Keluh kesah) yang saya dengar, masyarakat tidak muluk-muluk. Masyarakat yang didominasi petani ingin mencari penghidupan sederhana dengan cara bekerja untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya, bukan untuk menguasai kemudian mengumpulkan harta kekayaan yang banyak," kata Mugiyanto mengakhiri. (jonatan/hm24)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN