Pertumbuhan Ekonomi 'Rancak di Labuah'

Perkembangan ekonomi vs realita. (foto: ilustrasi AI/mistar)
Oleh: Bersihar Lubis
"Rancak di Labuah." Pepatah Minangkabau ini seolah-olah menggambarkan reaksi publik ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 terlihat mempesona: 5,12% year-on-year. Ibarat sebuah rumah yang elok dilihat dari luar, tapi amburadul ketika masuk ke dalam.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud melaporkan, ekonomi RI berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) kuartal II 2025 atas dasar harga berlaku adalah Rp5.947 triliun.
Inilah, nilai total dari semua barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode waktu tertentu, Sedangkan PDB atas dasar harga konstan senilai Rp3.396,3 triliun
"Sehingga pertumbuhan Indonesia pada kuartal II 2025 bila dibandingkan dengan kuartal II 2024 atau secara yoy tumbuh sebesar 5,12 persen," ucap Edy dalam Konferensi Pers di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2025).
"Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di awal tahun ini adalah 4,87 persen secara tahunan,” katanya.
Namun, bagai berbalas pantun, data BPS itu diragukan oleh banyak ekonom. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan ada kejanggalan dari data penopang perekonomian yang disampaikan oleh BPS. Salah satunya terkait kinerja industri dalam negeri. Ada selisih yang besar antara data yang disampaikan oleh BPS dan PMI Manufaktur Indonesia.
Berdasarkan data BPS, menurut lapangan usaha, industri pengolahan yang kontribusinya 18,67 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mampu tumbuh 5,68 persen. Berbeda dengan kinerja PMI Manufaktur yang turun kian dalam dari level 47,4 menjadi 46,9 per akhir Juni 2025.
Bhima menekankan, data yang kontraksi tersebut bahkan juga tercermin dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih terjadi di sektor padat karya. Penciptaan lapangan kerja juga tidak tumbuh sehingga ia sangat meragukan data yang disampaikan.
"Bagaimana mungkin PHK massal di padat karya meningkat, terjadi efisiensi dari sektor industri, penjualan semen turun, bahkan di sektor hilirisasi juga smelter nikel ada yang berhenti produksi tapi industri tumbuh tinggi, kan aneh," ucap Bhima kepada pers.
Saya cuplik satu, data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 42.385 pekerja mengalami PHK sepanjang Januari-Juni 2025, naik 32,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) turut merilis daftar lengkap 81 perusahaan yang melakukan PHK sebanyak 54.252 pekerja pada Januari-April 2025. Penyebab PHK mulai dari pailit, efisiensi, relokasi ke luar negeri, hingga penutupan usaha.
Memang, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi tidak selalu menciptakan ratusan lapangan kerja. Atau minimal 100.000 lapangan kerja.
Apalagi jika pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor padat modal (misalnya, investasi dalam teknologi tinggi) mungkin tidak menciptakan lapangan kerja sebanyak pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor padat karya (misalnya, industri manufaktur atau pertanian).
Kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja, regulasi pasar tenaga kerja, serta tingkat partisipasi angkatan kerja juga mempengaruhi seberapa banyak lapangan kerja yang tercipta dari pertumbuhan ekonomi.
Anomali juga tampak pada kinerja konsumsi rumah tangga yang pertumbuhannya terealisasi 4,97 persen. Padahal, kontribusinya ke perekonomian sebesar 54,25 persen.
"Idealnya konsumsi rumah tangga tumbuhnya di atas 5 persen agar pertumbuhan ekonomi total jadi 5,12 persen yoy. Jadi ini ada indikasi yang membuat publik meragukan akurasi data BPS," tutur Bhima.
Tanpa Merekayasa
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef (Institute for Development of Economics and Finance Andry), Satrio Nugroho, pun menyoal perbedaan data pertumbuhan ekonomi dengan kondisi nyata di lapangan.
Disorotinya pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor yang mencapai 5,37 persen (yoy) atau di atas pertumbuhan ekonomi dan menyandingkannya dengan konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,97 persen persen (yoy).
Ia juga menyoroti fenomena rombongan jarang beli (rojali) yang dikeluhkan pengusaha ritel.
"Ketika kami konfirmasi ke retailer dan kami tanyakan asosiasi, tidak terlihat begitu, bahkan fenomena rojali yang mendorong industri ritel tumbuh tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya," kata Andry pada diskusi publik Indef di Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Andry mengatakan, pertumbuhan ekonomi ini anomali dengan data tersebut. Ini juga anomali karena tidak didukung faktor musiman, seperti lebaran sebagaimana terjadi pada kuartal I 2025 kemarin ataupun kuartal II 2024.
Apalagi pada saat bersamaan, pemerintahan Prabowo juga masih memberlakukan efisiensi anggaran baik untuk rapat atau kunjungan dinas yang biasanya mendorong pertumbuhan sektor perhotelan.
Di tengah kondisi itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan sektor akomodasi dan makan minuman tumbuh 8,04 persen.
"Kita tahu efisiensi seharusnya berdampak pada pertumbuhan akomodasi menurun," ujarnya. "Apakah data ini sebetulnya vaild sesuai kondisi di lapangan?" ucapnya.
Ekonom senior Indef, Mohamad Fadhil Hasan menyoroti pertumbuhan sektor pengolahan alias manufaktur yang tumbuh 5,68 persen. Padahal, indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur kontraksi.
"Bagaimana leading economic indicatornya konstraksi, tapi pertumbuhan meningkat signifikan sekali?" ucap Fadhil.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menampik anggapan tentang pemerintah merekayasa data. Dia mengatakan sejumlah sektor konsumsi di masyarakat menunjukkan pertumbuhan.
"Mana ada (permainan data pertumbuhan ekonomi)," ucap Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2025).
Menkeu Sri Mulyani buka suara soal keraguan sejumlah pihak atas data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2015 yang mencapai 5,12 persen. Ia meminta semua pihak tak berasumsi. Ia juga meminta masyarakat percaya pada kredibilitas BPS.
Menurutnya, BPS sudah punya metodologi, sumber informasi akurat dalam mengukur pertumbuhan ekonomi. Ia pun percaya bahwa BPS pasti berpegang pada integritas atas datanya sendiri. “Kita tetap percaya BPS," kata Sri Mulyani di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti juga menjelaskan keraguan sejumlah kalangan dengan menjawab bahwa BPS menggunakan standar internasional dalam mengukur pertumbuhan ekonomi. Bahkan, data pendukung dalam melahirkan angka itu juga sudah cukup mumpuni.
Berbalas pantun mungkin belum usai. Terpulang kepada Anda, para pembaca, mengkonfirmasinya dengan apa yang Anda alami sehari-hari. Hidup lebih enak, atau sebaliknya? Perasaanmu tidak akan mengkhianati realitas.
*Penulis adalah jurnalis menetap di Medan
PREVIOUS ARTICLE
Jangan Menangis Indonesia