Wednesday, August 13, 2025
home_banner_first
OPINI

Agenda Besar Politik, Bukan yang Picik

journalist-avatar-top
Rabu, 13 Agustus 2025 09.25
agenda_besar_politik_bukan_yang_picik

Ilustrasi. (Foto: ChatGPT/Mistar)

news_banner

MISTAR.ID

Oleh: Bersihar Lubis

Agenda besar politik itu selalu ada di setiap zaman. Mustahil tidak ada. Partai politik didirikan untuk merebut kepentingan politik. Mencerdaskan bangsa dan memakmurkan rakyat. Juga meraih kursi di parlemen. Bahkan memenangkan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Gubernur, Bupati dan Wali kota.

Kosakata “agenda besar politik” kembali viral ketika Joko Widodo (Jokowi), Presiden Ke 7 RI, melontarkan sinyalemen bahwa di balik kasus ijazahnya, dan isu pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka ada agenda besar politik. “Ada tokoh besar yang mem-back up-nya,” ujar Jokowi, beberapa waktu lalu.

Jagat perpolitikan pun geger. Apalagi ada yang menyebut klue “tokoh besar” itu dari “partai biru.” Beberapa tokoh Partai Demokrat – yang warna benderanya biru pun membantah. Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep bahkan berkata bahwa hubungan keluarga Jokowi dengan Partai Demokrat sangat baik. Jokowi kembali menegaskan tokoh besar itu bukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dinilainya seorang negarawan.

Memang, jika sinyalemen Jokowi tentang “agenda besar” tersebut ditafsirkan, kira-kira dimaksudkan untuk men ”down grade” keluarga mantan presiden tersebut. Jika orkestrasi tersebut dilakukan masif dan sistematis bisa mengusik peluang Gibran dalam Pilpres 2029.

Sebaliknya, bisa berefek positif jika keluarga Jokowi selamat dari tekanan orkestrasi tersebut. Malah bisa bagai per yang jika ditekan terus menerus, akan melonjak semakin tinggi. Mirip PDIP yang ditekan di era Orde Baru.

Walaupun sinyalemen Jokowi tentang siapa di balik agenda besar tersebut masih belum terang benderang, tak bisa dinafikan jika hampir semua parpol mempunyai agenda besar menuju Pemilu 2029. Ada yang menargetkan menambah kursi di parlemen. Ada yang berikhtiar masuk ke parlemen, seperti Partai Solidaritas Indonesia, dan lainnya. Bahkan bercita-cita merebut kursi Presiden dan Wakil Presiden.

Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi pada 2 Januari 2025 telah menghapuskan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Aturan ini inkonstitusional karena bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat seperti dijamin UUD 1945.

Semula diatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diusung partai atau gabungan partai yang memiliki paling sedikit 20% jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Artinya, semua parpol berhak mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Sinyal-sinyal Politik

Kita tinggal menunggu bagaimana peta politiknya. Presiden Prabowo Subianto akan kembali mencalonkan diri jika Kabinet Merah Putih dianggap berhasil menunaikan tugasnya.Seandainya “success story” siapa gerangan yang menjadi Calon Wakil Presidennya? Masih tetapkah Gibran, atau mencari duet lain?

Pendamping Prabowo tampaknya memungkinkan berbagai opsi. Bisa Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketum Partai Demokrat dan Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan dalam Kabinet Merah Putih. Bisa pula Puan Maharani, Ketua DPR, putri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Duet Capres – Cawapres masih sangat cair. Tergantung negosiasi dan kalkulasi politik dan elektabilitasnya. PDIP mungkin saja mencalonkan duet Anies Baswedan-Puan Maharani. Boleh jadi karena Anies memberikan dukungan kepada Pramono Anung-Rano Karno dari PDIP menjadi Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Jika Prabowo “pindah ke lain hati” bisa saja Gibran dicalonkan oleh PSI yang dipimpin oleh Kaesang, saudara kandungnya. Muhaimin Iskandar, Ketua PKB dan AHY bisa pula maju sendiri jika tak berpeluang menjadi Cawapres dari Capres tertentu.

Pendeknya, banyak kemungkinan duet Capres-Cawapres bisa saja terjadi. Dan inilah “agenda besar politik” dari berbagai parpol jelang Pemilu 2029.

Diperkirakan, sinyal-sinyal agenda besar politik tersebut akan muncul pada 2027. Paling lambat pada 2028. Kita berdebar menunggu, apakah Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus masih solid dan bertahan, atau terjadi pergeseran dengan berbagai pertimbangan dan variasi.

Jika KIM Plus tetap solid mencalonkan Prabowo Subianto, lalu siapa yang menjadi Cawapres? Ini sangat eye catching. Parpol akan diuji antara memilih kepentingan politik pragmatis yang memang sah-sah saja, atau tetap setia kepada kepentingan politik untuk mensejahterakan rakyat.

Maaf, jika Prabowo memutuskan tak lagi mencalonkan diri karena capaian Kabinet Merah Putih tak sesuai harapan. Wah, peta politik semakin riuh rendah. Siapa bersaing melawan siapa. Jagat politik bisa meriang atau malah memanas, yang memerlukan kedewasaan berdemokrasi.

Kehidupan bernegara dan berbangsa tak selalu mulus. Selalu ada dinamika dan dialektika yang ditandai dengan kompetisi. Namun sepanjang sehat-sehat saja dan tak mengorbankan kepentingan rakyat, please go ahead!

Seperti kata Plato, partai politik digunakan untuk mencapai tujuan negara yang ideal, negara yang adil dan sejahtera.

“Agenda besar politik” harus dimaknai sebagai impian yang mulia dan besar, program yang besar dan taktik strategi yang besar. Bahkan bilamana perlu juga disertai dengan pengorbanan yang besar. Misalnya, tetap berbesar hati walau tidak mencicipi “kue” Capres atau Cawapres. Bukan agenda politik yang picik. **

**Penulis adalah jurnalis menetap di Medan

REPORTER: