Wednesday, August 6, 2025
home_banner_first
OPINI

Jangan Menangis Indonesia

journalist-avatar-top
Rabu, 6 Agustus 2025 10.55
jangan_menangis_indonesia

Ilustrasi Indonesia Menangis. (foto: maulana/mistar)

news_banner

Oleh: Bersihar Lubis

“Terima kasih korupsi. Aku begitu mencintaimu. Kau adalah bagian dari takdirku. Hidupku tak akan terang-benderang dengan puluhan rembulan, tanpa korupsi. Siangku tidak akan sejuk walau matahari mengigit dengan ganas di seluruh permukaan bumi, tanpa pertolonganmu.........(Drama "Jangan Menangis Indonesia" (JMI) karya Putu Wijaya, 2005)

“Jadi inilah suaraku saudara, kesaksianku, provokasiku, doktrinku, semoga tetap tercatat dalam sejarah, di lubuk nurani setiap orang.......Hanya korupsi yang akan membuat bangsa dan negeri ini bangkit kembali .......Horas korupsi! Mari semuanya korupsi!,” lanjut si dalang.

Bergerbong-gerbong ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan krisis moral di masyarakat dibongkar. Putu Wijaya memekikkan kritik sosial dan refleksi atas kondisi bangsa.

Namun naskah ini juga menyiratkan harapan akan perubahan dan perbaikan melalui perjuangan dan kesadaran kolektif.

Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, fenomena pengibaran bendera One Piece oleh sebagian masyarakat mengingatkan kita pada JMI.

Bendera bajak laut One Piece” tersebut berkibar di pagar rumah, perahu kayu, hingga mobil truk. Menampilkan tengkorak manusia di atas dua tulang bersilang. Bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga menyuarakan kebebasan bererekspresi. Inilah, perlawanan terhadap kekuasaan absolut. Inilah, ekspresi masyarakat, baik sebagai penggemar budaya pop, maupun sebagai kritik terhadap kondisi sosial dan pemerintahan.

Eh, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad melihatnya sebagai upaya sistematis memecah belah persatuan bangsa. Ada pula yang menyebut sebagai pelecehan pada bendera Merah Putih. Sanksi pun menghadang.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 mengatur jika dikibarkan berdampingan dengan bendera lain, maka Merah Putih harus lebih tinggi dan berukuran lebih besar dari bendera One Piece. Jika pelanggaran terjadi, pelakunya dapat dijerat dengan hukuman penjara hingga lima tahun atau denda Rp 500 juta.

Mungkin lebih bijak jika pemerintah melihatnya sebagai masukan untuk perbaikan kebijakan. Simbol budaya pop adalah bagian dari dinamika masyarakat.

Soeharto hingga SBY

JMI mengisahkan Indonesia sejak era presiden Soeharto di era Orde Baru menuju era reformasi (Presiden BJ Habibie-Abdurahman Wahid-Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono).

Merebaklah krisis ekonomi, suhu panas politik, huru-hara, teror bom, tsunami, gempa bumi, sar, flu burung, demam berdarah, kebejatan moral, narkoba, judi, korupsi, ketidakberdayaan hukum, kebejatan para pemimpin, kasus-kasus yang mencederai hak azasi manusia.

Risau, bingung, was-was, hingga semua orang mendambakan kehidupan yang lebih baik. Mereka berjuang, mencoba bertahan. Semuanya saling tolong-menolong demi mengembalikan Indonesia dari segala bentuk kekacauan baik karena ulah para pemimpin, maupun panik yang melanda sebagian rakyat.

Munculnya banyak keluhan dari para korban, mulai dari Munir yang muncul dalam JMI. Munir berteriak sekarang bukan waktunya tidur. Semua orang harus bangun dan melihat segala kecurangan, ketimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan ini. Rakyat sudah terlalu menderita, mereka harus melawan bersama.

Aktivis HAM, Munir Said Thalib terbunuh pada 7 September 2004 dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam setelah diracun dengan arsenik. Beberapa orang telah diadili, tapi pelaku utama dan aktor intelektual di balik pembunuhan tersebut belum terungkap hingga saat ini.

Marsinah juga tampil dalam JMI. Aktivis buruh ini ditemukan tewas setelah terlibat dalam aksi mogok kerja pd 3 dan 4 Mei 1993 di PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo, Jawa Timur menuntut kenaikan upah.

Ada dugaan keterlibatan aparat militer dalam kasus ini. Marsinah sempat dipanggil oleh Kodim Sidoarjo terkait aksi mogok.

Walaupun antara perjuangan dan kekacauan terus bergolak, namun dari ketidakpastian tersebut masih terbersit setitik harapan yang menginginkan perubahan bagi Indonesia.

Jangan Putus Asa

JMI pun menampilkan tokoh Dalang yang digumamkan dengan tembang): di berbagai hal beruntun menerpa tak putus-putus, masih ada tangan gelagapan berpegangan mencoba bertahan agar tak terjadi kebangkrutan dan kemusnahan. Masih terlihat, terdengar dan terasa sebuah harapan apabila kita bersedia untuk menerima, belajar, ngeh, kemudian membalikkan kekalahan menjadi kemenangan masih ada sebuah janji (Wijaya, 2005:1)

Kini pun masalah masih berjilam-jilam. Pengangguran, PHK, beras oplos, korupsi triliunan, pinjol, judi online, begal, kriminalitas mendirikan buku roma, penjualan bayi ke luar negeri, bencana banjir, karhutla, arus lalu lintas macet, rekening mau diblokir, koran cetak terancam, angka kemiskinan, utang luar negeri, efek tarif impor Trump, kasus ijazah Jokowi dan isu pemakjulan Wapres Gibran, hoax merejalela, dan berbagai sengkarut masih subur mengancam.

Akan menyembulkah harapan Indonesia baru di era Presiden Prabowo Subianto? Kita berharap demikian. Namun pengalaman kolektif kita, sejak era Habibie hingga Jokowi yang terentang 25 tahun, kita ragu. Masalah terlalu kompleksitas, dan selalu berumur panjang, sementara periode pemerintahan singkat.

Namun dari segala lembah kekacauan itu, harapan harus tumbuh. Jangan pernah berhenti berjuang mencari kebenaran, dan keadilan. Perjuangan meraih perubahan harus dilakukan terus menerus, berkesinambungan tanpa mengenal putus asa. Akhirnya, inilah: Jangan Menangis Indonesia!


*Penulis adalah jurnalis menetap di Medan

REPORTER: