Muhammad Kerry Adrianto: Anak Riza Chalid Jadi Terdakwa Korupsi Minyak Mentah Pertamina Senilai Rp285 Triliun

Ilustrasi, Muhammad Kerry Adrianto, insert: Riza Chalid. (foto:espos/int/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Nama Muhammad Kerry Adrianto Riza, putra pengusaha kenamaan minyak Riza Chalid, kini menjadi sorotan publik setelah resmi menjadi terdakwa dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina. Kasus besar yang tengah ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) ini disebut sebagai salah satu skandal terbesar di sektor energi Indonesia, dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp285 triliun.
Kasus ini menyoroti praktik pengelolaan minyak mentah dan produk kilang oleh Pertamina dan mitra-mitranya sepanjang periode 2018–2023, yang melibatkan jaringan pejabat BUMN dan perusahaan swasta. Kerry disebut memiliki peran penting sebagai pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa, salah satu perusahaan broker yang terlibat dalam tata kelola distribusi minyak tersebut.
Profil dan Rekam Jejak Muhammad Kerry Adrianto
Lahir pada 15 September 1986 , Muhammad Kerry Adrianto Riza dikenal sebagai sosok muda yang aktif di berbagai lini bisnis. Ia merupakan anak dari pasangan Riza Chalid dan Roestriana Adrianti, keluarga yang sudah lama berkecimpung di dunia migas dan pelayaran.
Kerry termasuk menempuh pendidikan di luar negeri, salah satunya di United World College of South East Asia (UWCSEA) dan disebut juga pernah melanjutkan studi di Imperial College London, Inggris.
Dalam dunia bisnis, Kerry memiliki posisi strategi di sejumlah perusahaan, antara lain:
- Presiden Direktur PT Pelayaran Mahameru Kencana Abadi, yang bergerak di sektor transportasi laut minyak dan gas.
- Komisaris Utama GAP Capital, sebuah perusahaan manajer investasi.
- Pemilik klub basket Hangtuah dan terlibat dalam pengelolaan KidZania Jakarta, wahana edutainment ternama.
Namun, di balik kiprahnya yang gemilang, nama Kerry kini tercoreng akibat keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi besar di tubuh Pertamina.
Peran dan Modus Dugaan Korupsi
Dalam dakwaan Kejagung, Kerry Adrianto disebut ikut berperan sebagai pihak yang mengendalikan PT Navigator Khatulistiwa, perusahaan broker yang berfungsi sebagai perantara dalam impor minyak mentah dan produk kilang. Melalui perusahaan tersebut, Kerry diduga menikmati keuntungan dari mark-up kontrak pengiriman minyak (shipping) yang nilainya mencapai 13–15 persen di atas harga normal.
Skema ini dilakukan bersama beberapa pejabat penting di lingkungan Pertamina dan anak perusahaannya, termasuk arahan PT Pertamina International Shipping serta pihak kontraktor kerja sama (KKKS).
Selain itu, terdapat dugaan pengaturan dalam pengadaan minyak mentah domestik dan impor, di mana prioritas pembelian minyak dari dalam negeri yang seharusnya diutamakan malah dialihkan. Praktik tersebut ditengarai menyebabkan kerugian besar bagi negara dan menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Dalam dakwaan tambahan, Kerry disebut memperoleh keuntungan pribadi mencapai Rp3,07 triliun dari kontrak fiktif penyewaan kapal dan terminal bahan bakar minyak (BBM).
Status Hukum dan Kondisi Terkini
Pada tanggal 13 Oktober 2025, sidang dakwaan untuk Muhammad Kerry Adrianto diadakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Kerry kini resmi berstatus curang bersama sejumlah pejabat Pertamina dan pihak swasta lain yang juga terlibat dalam kasus ini.
Melalui kuasa hukumnya, Kerry mengajukan permohonan pemindahan mahasiswa ke Rutan Salemba Kelas 1A Jakarta Pusat karena alasan kesehatan. Ia dilaporkan menderita pneumonia dan alergi berat, sehingga memerlukan perawatan intensif.
Sementara itu, Kejaksaan Agung menegaskan bahwa proses hukum akan terus berlanjut dan tidak ada intervensi dalam penanganan perkara besar ini. Penyudik juga masih menelusuri aliran dana dan hubungan antarperusahaan yang diduga dikendalikan oleh Kerry dan ayahnya, Riza Chalid.
Dampak dan Signifikansi Kasus
Kasus ini tidak hanya menjadi pukulan bagi citra Pertamina sebagai strategi BUMN, tetapi juga menimbulkan guncangan besar di sektor energi nasional.
Beberapa pakar menilai bahwa skandal ini membuka tabir lemahnya pengawasan terhadap tata kelola minyak mentah , khususnya dalam proses impor dan distribusi melalui perusahaan perantara.
Jika terbukti, kasus ini akan menjadi salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah industri minyak Indonesia, dengan potensi kerugian yang melebihi kasus BLBI dan Jiwasraya.
Pakar hukum publik juga menyoroti pentingnya menjelaskan Beneficial Ownership — atau siapa pemilik sebenarnya di balik perusahaan — untuk mencegah perlindungan kekuasaan dan kolusi di sektor strategis seperti migas.
Analisis dan Refleksi
Ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan dari kasus ini:
1. Besarnya kerugian negara menunjukkan adanya kesenjangan sistemik dalam tata kelola impor dan logistik energi nasional.
2. Keterlibatan keluarga dan jaringan bisnis besar menandakan masih kuatnya pengaruh oligarki di sektor strategis.
3. Revisi regulasi energi dan peningkatan transparansi kontrak menjadi keharusan agar kasus serupa tidak berulang.
4. Reformasi tata kelola BUMN seperti Pertamina menjadi momentum penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Kasus Muhammad Kerry Adrianto menjadi peringatan keras bahwa praktik korupsi di sektor energi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga membahayakan kelangsungan energi nasional.
Publik kini menantikan langkah tegas pemerintah dan aparat penegak hukum untuk membuka seluruh jaringan dan aktor di balik kasus ini , demi memastikan keadilan benar-benar ditegakkan. (berbagaisumber/hm27)