Tuesday, October 21, 2025
home_banner_first
NASIONAL

Menelaah Rapor Ekonomi 1 Tahun Masa Prabowo, Jokowi, dan SBY, Siapa yang Unggul?

Mistar.idSenin, 20 Oktober 2025 16.13
journalist-avatar-top
menelaah_rapor_ekonomi_1_tahun_masa_prabowo_jokowi_dan_sby_siapa_yang_unggul

Rapor ekonomi 1 tahun masa Presiden Prabowo, Jokowi dan SBY. (foto: tangkapan layar BPS/mistar)

news_banner

Jakarta, MISTAR.ID

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memasuki usia setahun pada 20 Oktober 2025. Sejumlah tantangan masih berada di depan mata apalagi kalau mau mengejar target pertumbuhan ekonomi 8%.

Berkaca kepada tahun-tahun sebelumnya, kinerja tahun pertama pemerintahan Prabowo tidak lebih baik dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun sedikit lebih impresif dari Jokowi.

Prabowo resmi menjabat sebagai kepala pemerintahan dan negara pada 20 Oktober 2024. Pada kuartal IV/2024 atau tiga bulan pertama pemerintahan Prabowo, ekonomi tumbuh 5,02% secara tahunan atau year on year (YoY).

Tiga bulan selanjutnya atau kuartal I/2025, pertumbuhan ekonomi sebesar 4,87% YoY. Kemudian pada kuartal II/2025, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12% YoY.

Artinya, dari tiga kuartal pertama pemerintahan Prabowo, perekonomian rata-rata tumbuh 5%. Angka itu sedikit lebih baik dari pendahulunya, Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) ketika pertama kali menjadi orang nomor di Indonesia pada 20 Oktober 2014.

Pada kuartal IV/2015 atau tiga bulan pertama pemerintahan Jokowi, ekonomi 50,1% YoY. Tiga bulan selanjutnya atau kuartal I/2015, pertumbuhan ekonomi sebesar 4,71% YoY. Kemudian pada kuartal II/2025, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,67%. Alhasil, rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam tiga kuartal pertama pemerintahan Jokowi sebesar 4,8%.

Ditarik lagi ke belakang, satu tahun pertama pemerintahan SBY mempunyai catatan yang lebih impresif dari sisi pertumbuhan ekonomi. SBY pertama kali menjabat sebagai presiden pada 20 Oktober 2004.

Pada kuartal IV/2024 atau tiga bulan pertama pemerintahan SBY, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,65% YoY. Kemudian pada kuartal I/2005, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,35%. Selanjutnya pada kuartal II/2025, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,54%.

Artinya, rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam tiga kuartal pertama pemerintahan SBY tercatat di angka 6,18%. Dengan demikian, rata-rata pertumbuhan ekonomi tahun pertama Prabowo (5%) sedikit lebih baik dari Jokowi (4,8%), namun masih jauh lebih rendah dari SBY (6,18%).

Apa yang perlu dilakukan Prabowo?

Sejumlah pengamat memberikan pandangan terkait dengan target ekonomi yang dikejar oleh pemerintah hingga 8%.Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky menilai upaya pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional dinilai masih jauh dari harapan.

Meski sempat mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,12%, pencapaian itu dinilainya masih lemah dan belum ditopang oleh kebijakan yang mampu mempercepat laju ekonomi menuju target ambisius 8%.

“Pencapaian target makro sangat lemah. Memang kemarin 5,12%, tapi belum terlihat ada program yang benar-benar mendukung pertumbuhan. Saat ini mempertahankan angka 5% saja sudah sulit,” katanya, Senin (20/10/2025).

Dia meminta pemerintah mengurangi misalokasi sumber daya fiskal yang menyebabkan belanja negara tidak efektif dalam mendorong produktivitas ekonomi. Dia menekankan perlunya perbaikan kualitas institusi agar anggaran dapat digunakan secara lebih tepat sasaran dan berdampak langsung pada peningkatan kinerja ekonomi nasional.

Teuku Riefky memperkirakan kinerja ekspor nasional masih sangat bergantung pada kondisi global yang tengah tidak menentu, sementara dua mesin pertumbuhan lainnya yakni konsumsi masih diwarnai pelemahan daya beli masyarakat. Lalu investasi asing yang masih menunjukkan kontraksi.

"Perbaiki kualitas institusi, iklim investasi sehingga investasi masuk lapangan pekerjaan tercipta, daya beli meningkat, penerimaan negara akan masuk dengan sendirinya," ujarnya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menjelaskan Indonesia perlu keluar dari zona nyaman pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi rumah tangga jika ingin mencapai target ambisius pertumbuhan 8%.

“Kalau kita punya target pertumbuhan ekonomi 8%, itu tidak bisa hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga. Harus dari ekspor dan investasi,” ujarnya.

Indonesia, sambungnya, telah terjebak dalam middle income trap selama lebih dari tiga dekade sejak 1993. “Artinya, mau tidak mau, suka tidak suka, pertumbuhan di atas 6% itu sudah menjadi keharusan,” katanya.

Untuk memperkuat ekspor, tambah Esther, strategi utama yang harus dilakukan adalah diversifikasi produk dan pasar, seperti mengembangkan industri kreatif. Indonesia selama ini masih bergantung pada komoditas seperti sawit, batu bara, dan karet.

Selain itu, perluasan pasar ekspor juga menjadi prioritas karena saat ini mitra utama Indonesia adalah China dan Amerika Serikat. Pemerintah harus lebih agresif menembus pasar baru.

Selain mendorong ekspor dan investasi, kebijakan fiskal (APBN) juga perlu diarahkan dari aktivitas konsumtif ke aktivitas produktif. Pemerintah diharapkan lebih fokus mendukung sektor-sektor yang menciptakan nilai tambah ekonomi dan lapangan kerja.

“Selama ini banyak aktivitas ekonomi yang sifatnya konsumtif. Padahal, APBN seharusnya menjadi instrumen untuk memperkuat produktivitas nasional,” ucapnya.

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN