Satu Tahun Prabowo-Gibran, Efisiensi Anggaran Dinilai Perlu Arah Baru


Ilustrasi anggaran. (foto: shutterstock/mistar)
Jakarta, MISTAR.ID
Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menandai babak baru pengelolaan fiskal nasional melalui kebijakan efisiensi anggaran.
Efisiensi anggaran menjadi tema besar yang terus digaungkan pemerintah sepanjang tahun pertama masa jabatan Prabowo-Gibran. Efisiensi anggaran mulai dilaksanakan saat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 terbit pada 22 Januari 2025.
Pemerintah menargetkan efisiensi anggaran dapat menghemat anggaran negara sebesar Rp306,69 triliun yang terdiri dari Rp256,10 triliun anggaran belanja kementerian dan lembaga serta Rp50,59 triliun transfer ke daerah (TKD). Namun, sejumlah ekonom menilai, kebijakan efisiensi tersebut kini perlu arah baru agar tidak memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan efisiensi anggaran memang penting untuk menjaga disiplin fiskal dan memastikan APBN digunakan secara hati-hati. Namun, efisiensi anggaran yang terlalu ketat justru bisa berdampak negatif terhadap aktivitas ekonomi nasional.
"Efisiensi yang dilakukan di awal memang seperti mengencangkan ikat pinggang dengan penghematan dimana-mana. Namun hasilnya adalah perekonomian jadi berjalan lambat," katanya, Senin (20/10/2025).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal I dan II 2025 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rendah yakni sebesar 4,87 persen dan 5,12 persen. Itu berarti sepanjang semester I 2025, pertumbuhan ekonomi RI hanya sebesar 4,99 persen. Masih jauh dari target dalam APBN 2025 yang sebesar 5,2 persen.
"Banyak sektor yang terkena dampak negatif dari efisiensi, termasuk perhotelan yang melakukan PHK juga ke karyawannya. Akibatnya, perekonomian menjadi jalan lebih lambat," tuturnya.
Padahal, menurutnya, dalam situasi perekonomian global yang masih diliputi ketidakpastian dan sektor usaha yang belum pulih, seharusnya belanja pemerintah menjadi motor penggerak utama ekonomi domestik.
Belanja pemerintah yang produktif dan terarah mampu menciptakan efek berganda (multiplier effect) terhadap daya beli masyarakat dan sektor usaha Sebaliknya, efisiensi yang berujung pada penundaan atau pembatasan realisasi anggaran hanya akan memperlambat putaran ekonomi.
"Dengan perekonomian seperti saat ini, belanja pemerintah harusnya bisa didorong untuk menjadi stimulus ekonomi," kata Nailul.
Kemudian seiring dengan pergantian Menteri Keuangan menjadi Purbaya Yudhi Sadewa, terjadi pergeseran makna efisiensi. Pemerintah cenderung melakukan efisiensi anggaran dengan mengalihkan anggaran belanja kementerian dan lembaga yang tidak terserap optimal untuk dialokasikan ke belanja prioritas lainnya.
Dengan kebijakan efisiensi seperti saat ini, setiap sen rupiah dari APBN justru dapat dimanfaatkan secara optimal agar memberikan dampak positif kepada masyarakat luas.
"Belanja yang tepat, bisa menimbulkan multiplier terhadap perekonomian. Ini yang perlu dilakukan ketika sektor swasta lagi bermasalah," ucapnya.
Menurutnya, prinsip efisiensi seharusnya tidak diartikan sebagai pemangkasan belanja, melainkan pengalokasian ulang untuk kegiatan yang memiliki nilai tambah tinggi. Dengan demikian, efisiensi dapat berjalan berdampingan dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
BERITA TERPOPULER









