Anggota Dewan Usir Wartawan Saat RDP, Prof. Iskandar: Bentuk Ketidaketisan dalam Komunikasi

Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain. (foto:dokumenpribadi/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Insiden pengusiran wartawan Mistar oleh anggota DPRD Sumatera Utara, Edi Surahman Sinuraya, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dinas Pendidikan (15/9/2025), dinilai merupakan contoh nyata dari praktik komunikasi pejabat publik yang kurang baik.
Hal tersebut disampaikan Pakar Komunikasi Sumatera Utara Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, yang juga dosen Universitas Sumatera Utara (USU)
Ia mengatakan, kejadian ini menyoroti beberapa aspek negatif dalam komunikasi pejabat publik, khususnya anggota dewan yang seharusnya menjadi representasi rakyat.
Prof Iskandar menilai, anggota DPRD tersebut menunjukkan sikap arogan dan tidak etis dengan membentak serta mengusir wartawan secara kasar di tengah rapat.
"Frasa seperti 'Kamu siapa? Kamu siapa?, ngapain kamu di sini?' dengan nada keras dan gestur mengusir, sama sekali tidak mencerminkan perilaku seorang wakil rakyat. Sikap ini menciptakan jarak antara pejabat dan publik, serta merusak citra lembaga legislatif di mata masyarakat," ujarnya.
Prof Iskandar juga menilai, Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada dasarnya adalah forum publik yang seharusnya terbuka untuk diliput oleh media sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.
"Mengusir wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya tanpa penjelasan yang memadai atau pemberitahuan sebelumnya bahwa rapat bersifat tertutup, merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers yang dilindungi Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers," terangnya.
Ia menjelaskan, tindakan menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai sanksi pidana. Meskipun Ketua Komisi E kemudian menyatakan rapat akan berlangsung tertutup, cara penyampaian informasi tersebut seharusnya dilakukan dengan baik-baik, bukan dengan cara yang kasar dan tidak beretika.
Menurutnya, perilaku seperti ini sangat merusak kepercayaan publik terhadap wakil rakyat dan institusi DPR/DPRD. Masyarakat memilih wakilnya untuk menyuarakan aspirasi dan mengawasi jalannya pemerintahan, bukan untuk bersikap semena-mena terhadap pihak yang membantu fungsi kontrol sosial, yaitu pers.
"Insiden ini memperkuat persepsi negatif bahwa pejabat publik seringkali lebih suka menggurui daripada mendengar dan memiliki gaya komunikasi yang kaku, elitis dan tidak etis," sebutnya.
Prof. Iskandar menambahkan, para akademisi sering mengkritik komunikasi pejabat publik yang nir-empati. Dalam kasus ini, anggota dewan tersebut tidak menunjukkan empati terhadap tugas wartawan dan hak publik untuk mendapatkan informasi.
"Alih-alih menjelaskan dengan tenang dan etis, jika ada batasan peliputan, ia memilih pendekatan konfrontatif yang menunjukkan kurangnya pemahaman akan peran media dan publik," kata Prof. Iskandar
Ia menambahkan, sikap anggota dewan yang arogan akan berdampak negatif pada citra Lembaga.
"Satu insiden yang dilakukan oleh satu anggota dapat mencoreng nama baik seluruh lembaga DPRD. Hal ini berkontribusi pada kritik luas terhadap komunikasi pejabat yang dinilai buruk, yang berpotensi memperlebar trust gap (Kesenjangan kepercayaan,red)," tandasnya. (ari/hm06/hm27)
PREVIOUS ARTICLE
Wakil Ketua DPRD Medan Ingatkan Kadis PKPCKTR Bangun KomunikasiBERITA TERPOPULER









