Gelombang Kejut Konflik Timur Tengah: Ketika Perang Iran-Israel Menggoyang Piring Masyarakat Indonesia

Ilustrasi, Perang Iran-Israel Menggoyang Piring Masyarakat Indonesia. (f:ai/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Eskalasi militer antara Iran dan Israel pada Juni 2025 bukan hanya berita internasional; benturan ribuan kilometer dari Tanah Air ini berimplikasi nyata pada kantong masyarakat Indonesia.
Kenaikan harga bahan pokok—dari minyak goreng hingga beras—menjadi sinyal bahwa gejolak geopolitik dapat “mengetuk pintu” dapur rumah tangga.
Berikut analisis mendalam tentang mekanisme transmisi, dampak langsung, kerentanan daerah, hingga respons kebijakan yang diperlukan.
1. Mekanisme Transmisi: Dari Medan Perang ke Pasar Tradisional
Lonjakan Harga Minyak sebagai Pemicu Rantai Inflasi
- Lonjakan harga minyak mentah: Serangan terhadap fasilitas nuklir di Timur Tengah pada pertengahan Juni 2025 memacu harga Brent ke kisaran US$78–80 per barel.
Bahkan proyeksi Bank Dunia memperingatkan potensi di atas US$100/barel bila konflik meluas atau jalur Selat Hormuz terancam.
- Biaya subsidi dan tekanan fiskal: Sebagai negara net importer, kenaikan setiap US$10/barel dapat menambah beban subsidi energi pada APBN hingga puluhan triliun rupiah.
Pemerintah dihadapkan pada pilihan: mempertahankan subsidi dan ikut menanggung defisit fiskal atau menyesuaikan harga BBM yang berisiko memicu inflasi.
Gangguan Logistik Global
- Selat Hormuz dan Terusan Suez: Jalur laut strategis ini menyumbang puluhan persen aliran minyak global.
Ancaman penutupan atau peningkatan premi risiko kapal menimbulkan rerouting, menambah jarak tempuh dan biaya asuransi kargo.
- Dampak pada waktu dan biaya distribusi: Waktu pengiriman bisa molor lebih lama (misalnya bertambah belasan hari), dan biaya logistik melonjak hingga ratusan persen.
Akibatnya, harga bahan baku industri maupun komoditas pangan impor meningkat, yang kemudian diteruskan ke konsumen akhir.
Pelemahan Rupiah dan Imported Inflation
- Defisit transaksi berjalan: Tekanan impor energi yang lebih mahal memperlebar defisit, mereduksi kepercayaan pasar terhadap rupiah.
Nilai tukar yang melemah meningkatkan biaya impor gandum, kedelai, gula, dan bahan baku pangan lainnya.
- Imported inflation: Kenaikan biaya impor tercermin pada harga eceran di pasar domestik.
Sektor konsumsi rumah tangga merasakan inflasi lebih cepat, terutama untuk kebutuhan pokok yang bergantung pada impor atau bahan bakar dalam distribusi.
2. Dampak pada Harga Bahan Pokok dan Inflasi Pangan
Inflasi Pangan Tak Terhindarkan
- Naiknya biaya transportasi: Kenaikan BBM berdampak langsung pada ongkos angkut desa-kota, khususnya di wilayah terpencil.
Pada wilayah kepulauan (contoh: Maluku), inflasi pangan dapat mencapai 6–7% lebih tinggi dibanding nasional karena ketergantungan pengiriman laut.
- Kenaikan harga pokok utama:
Beras dan Kedelai: Volatilitas nilai tukar dan biaya transportasi mendorong harga eceran naik.
Ikan dan hasil laut: Biaya solar untuk kapal nelayan naik, menekan margin nelayan dan berdampak pada harga ikan di pasar.
Ayam dan Telur: Pakan yang banyak diimpor menjadi lebih mahal, memicu kenaikan harga daging ayam dan telur.
Studi menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM signifikan (misalnya dari Rp7.650 ke Rp10.000 per liter pada pertalite) dapat menambah inflasi tahunan beberapa poin persentase, sementara persentase logistik berbasis BBM masih mencapai puluhan persen dari total biaya distribusi.
Kerentanan Daerah Terpencil
- Maluku sebagai contoh: Ekonomi lokal yang semula tumbuh di kisaran 6–7% dapat tertekan turun di bawah 4% jika biaya logistik dan harga pokok melonjak berkepanjangan.
- Dampak sosial: Pengangguran di sektor UMKM dan nelayan meningkat, kemiskinan dapat memburuk karena daya beli menurun.
Masyarakat pesisir terpaksa memilih pengeluaran pokok dasar, mengorbankan kesehatan atau pendidikan.
3. Respons Kebijakan: Darurat dan Transformasi
Langkah Jangka Pendek
- Subsidi terarah: Penyesuaian mekanisme subsidi energi agar tepat sasaran, memprioritaskan kelompok rentan sambil menahan lonjakan inflasi.
Misalnya, bantuan langsung tunai atau subsidi transportasi untuk wilayah terpencil.
- Stabilisasi pasokan pangan: Meningkatkan cadangan beras, gula, dan komoditas kunci; mendorong kerjasama import strategis dengan negara mitra untuk menjaga kelancaran pasokan.
- Optimalisasi kebijakan moneter & valas: Bank Indonesia dapat menggunakan instrumen hedging valas untuk mengurangi volatilitas impor, serta memperkuat Local Currency Settlement (LCS) di transaksi perdagangan.
- Diversifikasi energi singkat: Dorong penggunaan biodiesel campuran, efisiensi energi di industri, dan percepatan proyek energi alternatif kecil skala lokal untuk menahan lonjakan biaya.
Solusi Struktural Jangka Panjang
- Diversifikasi bauran energi: Mempercepat transisi ke energi terbarukan seperti panas bumi, surya, dan bioenergi agar ketergantungan minyak impor berkurang. Investasi infrastruktur pendukung harus ditingkatkan.
- Ketahanan pangan lokal: Pengembangan agroindustri berbasis pertanian dan kelautan.
Hilirisasi produk—misalnya pengolahan ikan, pakan berbahan lokal—mengurangi ketergantungan impor. Insentif teknologi pertanian dan perikanan modern diperlukan.
- Revolusi logistik domestik: Pembangunan pelabuhan hub di luar Jawa, peningkatan infrastruktur jalan dan distribusi antarpulau, serta digitalisasi rantai pasok untuk efisiensi.
- Penguatan sistem keuangan inklusif: Akses permodalan bagi UMKM di sektor pangan dan energi terbarukan melalui skema kredit yang lebih fleksibel.
- Peningkatan kerjasama regional: ASEAN dan mitra strategis untuk rantai pasok pangan dan energi, mengurangi kerentanan akibat gangguan global.
Konflik Iran-Israel yang jauh di Timur Tengah ternyata berimbas langsung ke piring masyarakat Indonesia melalui kenaikan harga minyak, gangguan logistik, dan inflasi pangan.
Wilayah terpencil dan kelompok rentan paling merasakan dampak ini. Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu menyinergikan langkah cepat (subsidi terarah, stabilisasi pasokan) dengan transformasi struktural (diversifikasi energi, ketahanan pangan lokal, revolusi logistik).
Tanpa tindakan komprehensif, gejolak global dapat terus “mengetuk pintu” rumah tangga, merundung daya beli, dan memperdalam kerentanan ekonomi nasional.
Artikel ini disusun berdasarkan analisis data dan sumber terpercaya. Semoga bermanfaat sebagai referensi bagi pembaca dan pembuat kebijakan dalam memahami serta menghadapi dampak geopolitik terhadap ekonomi domestik.(*)