Eksodus Massal di Gaza: Warga Berlomba Selamatkan Diri Jelang Serangan Darat Israel

Warga Palestina yang mengungsi dari Gaza utara melakukan perjalanan dengan kendaraan sementara mereka menuju ke selatan ketika militer Israel bersiap untuk memindahkan penduduk ke bagian selatan daerah kantong itu, di Kota Gaza, (18/8/2025). (foto:reuters/mahmoudissa/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Rencana serangan darat oleh militer Israel memicu eksodus besar-besaran warga Palestina dari wilayah timur Kota Gaza ke arah barat dan selatan, wilayah yang relatif lebih aman dan belum hancur akibat serangan udara.
Pemboman tanpa henti dan ancaman invasi darat membuat puluhan ribu warga Gaza meninggalkan rumah mereka dalam beberapa hari terakhir. Situasi ini diperkirakan akan memperparah krisis kemanusiaan di wilayah yang sudah porak-poranda sejak Oktober 2023.
Israel Siapkan Serangan, Warga Gaza Lari Mengungsi
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut Kota Gaza sebagai “kubu terakhir Hamas” dan berkomitmen untuk menguasainya. Namun, militer Israel memperingatkan bahwa operasi besar-besaran bisa membahayakan sandera yang masih ditahan dan menyeret pasukan ke dalam konflik gerilya jangka panjang.
Sementara itu, di lapangan, warga Gaza tidak tinggal diam. Mereka menggelar protes agar Hamas mempercepat negosiasi guna mencegah serangan darat. Banyak keluarga telah mengungsi lebih awal untuk menghindari invasi mendadak—beberapa bahkan menyewa tempat di selatan untuk menyelamatkan diri dan harta benda.
Baca Juga: AS Hentikan Visa untuk Warga Gaza
Kondisi Lapangan: “Seperti Menunggu Eksekusi”
Ahmed Mheisen, pengelola tempat penampungan di Beit Lahiya, menyatakan sekitar 995 keluarga telah meninggalkan wilayah timur Gaza dalam beberapa hari terakhir. Ia memperkirakan kebutuhan akan tenda darurat mencapai 1,5 juta unit. Namun selama gencatan senjata Januari–Maret lalu, Israel hanya mengizinkan masuk 120.000 tenda.
“Orang-orang di Gaza seperti seseorang yang menunggu hukuman mati,” kata Tamer Burai, seorang pengusaha lokal.
Menurut Kantor Kemanusiaan PBB, sekitar 1,35 juta orang kini membutuhkan tempat tinggal sementara.
Gencatan Senjata: Upaya Terakhir?
Gelombang pengungsian ini mendorong mediator Mesir dan Qatar meningkatkan upaya mencapai gencatan senjata. Namun, perundingan terakhir di Kairo yang melibatkan Hamas, Jihad Islam, dan faksi lain runtuh pada akhir Juli.
Hamas menyatakan kesediaannya menerima usulan gencatan senjata 60 hari yang diajukan AS dan berencana membebaskan sebagian sandera. Namun mereka juga menuntut kesepakatan lebih luas yang berujung pada penghentian perang total.
Israel tetap pada pendiriannya: operasi militer hanya akan dihentikan jika semua sandera dibebaskan dan Hamas menyerahkan senjatanya. Hingga kini, kedua pihak masih buntu tanpa titik temu.
Ancaman Lain: Kelaparan dan Krisis Logistik
Selain ancaman militer, krisis kemanusiaan juga memburuk. Organisasi bantuan dan PBB memperingatkan risiko kelaparan meluas. Dalam 24 jam terakhir, lima warga dilaporkan meninggal akibat kelaparan, menambah total korban menjadi 263 orang, termasuk 112 anak-anak. Data ini dibantah oleh Israel.
Militer Israel mengklaim sedang menyiapkan tenda dan perlengkapan penampungan untuk memindahkan warga dari zona pertempuran. Namun, belum ada rincian soal jadwal distribusi atau jumlah bantuan yang tersedia.
Para pengelola bantuan mencatat, banyak tenda yang sudah tidak layak pakai dan tidak mampu melindungi dari cuaca. Ditambah lagi, pembatasan di perbatasan menghambat masuknya bantuan penting.
Angka Korban Terus Meningkat
Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel dan menculik 251 sandera, konflik telah menyebabkan lebih dari 61.000 warga Palestina tewas akibat serangan udara dan darat. Mayoritas dari 2,2 juta penduduk Gaza telah mengungsi setidaknya satu kali.
Situasi Genting, Dunia Diminta Bertindak
Dengan eskalasi konflik yang terus meningkat dan gencatan senjata yang belum tercapai, kondisi di Gaza semakin rapuh. Evakuasi massal, kebutuhan dasar yang belum terpenuhi, serta tekanan diplomatik yang belum membuahkan hasil menandakan potensi bencana kemanusiaan yang lebih besar.
Jika serangan darat Israel benar-benar terjadi, respons cepat dan terkoordinasi dari komunitas internasional sangat dibutuhkan untuk mencegah tragedi kemanusiaan yang lebih dalam. (*)