Abolisi dan Amnesti, Farid Wajdi: Legalisme Tanpa Legitimasi

Mantan Anggota Komisi Yudisial, Farid Wajdi. (Foto: dok pribadi/Mistar)
Medan, MISTAR.ID
Mantan Anggota Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi menilai Abolisi dan Amnesti yang diberikan kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto merupakan legalisme tanpa legitimasi.
“Di tengah riuh rendah transisi kekuasaan dan ambisi rekonsiliasi nasional, publik dikejutkan oleh satu keputusan penting dari Istana. Seperti dua sisi dari sekeping logam, keduanya dibebaskan dari jerat hukum, meski dengan jalur berbeda. Satu dihentikan perkaranya, satu diampuni hukumannya,” ujarnya pada Mistar, Jumat (1/8/2025).
Menurutnya, yang tersisa saat ini bukan sekadar polemik legalistik. Tetapi pertanyaan mendalam tentang makna keadilan dan arah politik ke depan.
“Tom Lembong, mantan menteri dan ekonom kenamaan, sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara korupsi impor gula. Namun, proses banding belum usai ketika presiden mengajukan usulan abolisi kepada DPR,” katanya.
Ia mengatakan dengan persetujuan parlemen, proses hukum tersebut kini resmi dihapus. Sehingga, tidak ada lagi penyidikan, penuntutan, atau persidangan. Selain itu, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, telah dijatuhi vonis 3,5 tahun atas kasus suap dan penghalangan penyidikan Harun Masiku.
“Lewat amnesti, ia dibebaskan dari eksekusi hukuman meskipun vonis tetap tercatat dalam lembar sejarah hukum. Keduanya kini dimaafkan oleh negara. Tetapi pertanyaan yang lebih sulit, kepada siapa keadilan harus berpihak?,” tutur Farid.
Ia menjelaskan secara konstitusional, keputusan tersebut bersifat sah. UUD 1945 pasal 14 ayat 2 secara eksplisit menyatakan Presiden dapat memberikan abolisi dan amnesti dengan persetujuan DPR.
“UUD Nomor 11 Tahun 1954 menjadi rujukan teknis yang mempertegas prosedur. Namun, hukum bukan sekadar perihal prosedur,” ujarnya.
Ia menilai persoalan tersebut merupakan soal rasa keadilan yang hidup dalam nadi masyarakat. Dalam dunia ideal, abolisi dan amnesti adalah instrumen mulia.
“Itu lahir dari semangat kemanusiaan, kadang demi merawat persatuan nasional, kadang untuk memberi ruang pembelajaran atas kesalahan yang tak sistematik,” kata mantan Akademisi Hukum UMSU tersebut.
Farid menyampaikan ketika keputusan itu menyentuh dua tokoh dengan pengaruh politik besar, sorotan tidak bisa dielakkan. Tentu wajar jika publik menaruh curiga. Sehingga, akan muncul pertanyaan, apakah ini bentuk kompromi atau kekuasaan.
“Apalagi waktu pengumuman keputusan ini nyaris bersamaan dengan manuver politik rekonsiliasi besar. PDI Perjuangan, yang sebelumnya berada di garis oposisi keras, mulai membuka pintu dukungan terhadap pemerintahan Prabowo,” ucap pria 55 tahun tersebut.
Ia memaparkan dengan persoalan tersebut, tentu tidak ada bukti hubungan langsung antara pengampunan terhadap Hasto dan perubahan arah politik PDIP. Namun, dalam politik makna tak hanya ada dalam fakta, tetapi juga pada simbol.
“Masalahnya simbol ini terlalu mencolok untuk diabaikan. Disinilah letak persoalan itu, keadilan sejati bukan sekadar hadir dalam keputusan, tetapi juga tercermin dalam cara ia dijalankan,” ujarnya.
Namun, sambungnya, ketika yang mendapatkan pengampunan adalah orang yang punya jaringan kuat, sementara banyak narapidana kecil lainnya terjerat karena pelanggaran sepele tanpa pernah merasakan belas kasih negara.
“Keadilan tampak pincang, terlihat berpihak hanya pada mereka yang punya akses pada kuasa. Bola kini ada di tangan presiden, pengampunan harus jadi wujud kewarganegaraan, bukan panggung kekuasaan. Sebab, sejarah yang akan menilai, rekonsiliasi sejati, atau drama elitis,” ujarnya.
Ia menegaskan kepercayaan publik lahir dari keadilan yang setara, bukan dari maaf yang selektif. Bahkan, jika negara ingin sungguh memulihkan luka sosial dan menjahir kembali kebangsaan.
“Maka keadilan tak boleh dibeli dengan loyalitas atau ditukar dengan kompromi. Maaf dari negara adalah hal, tapi hanya jika ia tumbuh dari moralitas yang adil, bukan dari kalkulasi politik yang dingin,” ucapnya. (Ari/hm18)