Usulan Bulog Ikan Dinilai Masuk Akal, Ini Tantangan yang Harus Dihadapi

Perahu nelayan di dermaga Pangkalan Susu, Langkat. (foto:endang/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengusulkan pembentukan instrumen stabilisasi harga ikan, mirip seperti peran Bulog dalam menjaga stabilitas harga komoditas pangan pokok.
Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin, menilai bahwa wacana tersebut cukup masuk akal dan memiliki potensi untuk diimplementasikan, meskipun tantangannya tidak ringan.
Menurut Gunawan, keberadaan lembaga serupa Bulog untuk sektor perikanan dapat menjadi penopang stabilitas harga, baik di tingkat nelayan maupun konsumen. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan sejumlah faktor sebelum wacana ini dijalankan.
Tiga Tantangan Utama Bulog Ikan
Gunawan memaparkan bahwa ada tiga tantangan besar yang harus dicermati sebelum membentuk lembaga stabilisasi harga ikan:
1. Prioritas dan Urgensi
“Beras merupakan makanan pokok utama di Indonesia, sedangkan ikan tidak menempati posisi yang sama dalam hal urgensi konsumsi. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk Bulog beras tidak bisa langsung diterapkan ke ikan,” ujar Gunawan.
2. Biaya Logistik dan Penyimpanan
“Penyimpanan ikan membutuhkan fasilitas khusus seperti cold storage, yang tentunya memerlukan biaya lebih tinggi dibandingkan beras. Ini akan berpengaruh pada harga ikan yang disimpan dalam jangka waktu lama,” katanya lebih lanjut.
3. Volatilitas Harga dan Substitusi Konsumen
Gunawan menilai bahwa harga ikan sangat fluktuatif, dan konsumen memiliki banyak alternatif sumber protein, seperti ayam, telur, tahu, atau tempe, yang harganya lebih stabil. Hal ini membuat peralihan konsumsi ke ikan tidak semudah komoditas lain.
Perlu Strategi Hilirisasi dan Keadilan Distribusi
Agar tidak hanya berfungsi sebagai pengendali pasokan dan harga, Gunawan menyarankan agar instrumen ini juga fokus pada pengembangan produk turunan perikanan (hilirisasi).
“Harus ada badan yang mengelola rantai distribusi dari nelayan ke konsumen atau ke industri, dengan efisiensi tinggi,” ujarnya kepada MISTAR, Selasa (16/9/2025).
Opsi lainnya adalah mendorong peran swasta dalam membangun industri hilir yang bermitra langsung dengan nelayan, namun tetap di bawah pengawasan regulasi yang memastikan keadilan bagi semua pihak.
“Meski ada kekhawatiran dari konsumen jika satu badan menguasai distribusi, berbagai model bisnis dan kebijakan bisa dirancang agar tetap berpihak pada nelayan dan konsumen secara berimbang,” tuturnya. (amita/hm27)
PREVIOUS ARTICLE
Paket Stimulus Ekonomi 8+4+5