Sunday, August 10, 2025
home_banner_first
EKONOMI

Rohana dan Rojali: Sindiran Satir di Tengah Lesunya Daya Beli

journalist-avatar-top
Kamis, 7 Agustus 2025 20.05
rohana_dan_rojali_sindiran_satir_di_tengah_lesunya_daya_beli

Salah satu plaza di Kota Medan yang ramai dengan pengunjung. Namun tidak sedikit yang datang hanya sebagai Rohana dan Rojali. (foto:susan/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Rohana bukanlah gadis cantik. Rojali juga bukan pria tampan. Namun, “pasangan” ini sedang jadi perbincangan hangat di jagat maya Indonesia.

Di tengah lesunya ekonomi, keduanya justru tampak “mesra” di pusat-pusat perbelanjaan. Mereka wara-wiri di mal, plaza, hingga pasar tradisional, namun bukan untuk belanja.

Rohana dan Rojali bukanlah sosok nyata. Mereka merupakan akronim satir: Rohana (Rombongan Hanya Nanya) dan Rojali (Rombongan Jarang Beli). Fenomena ini mencerminkan krisis daya beli masyarakat, yang kini lebih banyak “cuci mata” ketimbang bertransaksi.

“Mereka ramai datang, tapi hanya bertanya atau melihat-lihat. Penjualan tetap sepi,” ujar Monika, seorang SPG di Sogo DeliPark Medan.

Fenomena Nasional di Tengah Lesunya Ekonomi

Di Medan, Rohana dan Rojali dapat ditemui di berbagai pusat perbelanjaan seperti Sun Plaza, Plaza Medan Fair, Thamrin Plaza, Medan Mall, hingga DeliPark. Aktivitas mereka sekadar melihat-lihat, bertanya harga, lalu pergi tanpa membeli.

Fenomena ini muncul seiring naiknya harga barang dan stagnannya pendapatan masyarakat. Menurut Bela (27), warga Kota Medan, ia kerap batal membeli karena harga tak sebanding dengan kualitas.

“Saya pernah ditawarkan baju batik Rp200 ribu, tapi kualitasnya setara Rp100 ribu. Mana tahan? Semua harus dipertimbangkan,” katanya, Senin (4/8/2025).

Ia juga mengeluhkan sikap beberapa penjual yang sinis saat ia hanya bertanya. Padahal, menurutnya, bertanya adalah bagian dari proses belanja.

“Tugas penjual itu melayani, bukan marah kalau pembeli cuma nanya,” tuturnya.

Dampak Langsung ke Pelaku Usaha

Monika, SPG di toko tas, mengakui tren Rohana dan Rojali makin sering terjadi. Banyak pengunjung yang bertanya panjang lebar, namun tak kunjung membeli.

“Capek sih, tapi harus tetap profesional. Ini memang eranya orang berhitung sebelum belanja,” ucapnya.

Karena penjualan menurun, ia bahkan tak lagi mendapat insentif seperti sebelumnya. Meski begitu, ia tetap menjaga sikap dan tak pernah meluapkan keresahan ke media sosial.

Berbeda dengan Ester, pemilik warung sembako di Mandala, yang lebih santai menyikapi fenomena ini. Ia memahami bahwa setiap pembeli punya keterbatasan keuangan masing-masing.


Fenomena rohana dan rojali kembali jadi sorotan di pusat perbelanjaan. (foto:kompas/mistar)

“Sekarang semua harga naik, tapi penghasilan segitu-gitu saja. Jadi ya wajar orang nanya-nanya dulu,” tuturnya.

Untuk menarik minat, Ester memberikan promo dan menyesuaikan harga dengan kemampuan pelanggan.

Reaksi Pedagang Beragam

Dicky, pegawai toko pakaian di Sun Plaza, memilih untuk tetap ramah dan menerapkan prinsip 3S: Senyum, Sapa, Santun.

“Tidak semua pelanggan harus beli. Tugas kita melayani, siapa tahu mereka balik lagi,” katanya.

Namun, ia mengakui bahwa tren Rojali dan Rohana makin meningkat karena kondisi ekonomi memburuk. Selain itu, banyak masyarakat yang lebih memilih belanja online karena harga lebih murah.

Puteri, pegawai toko kosmetik di Tembung, mengaku sering kesal menghadapi pembeli yang hanya “lihat-lihat.” Meski demikian, ia tetap berusaha menawarkan produk dengan meyakinkan.

“Saya berharap mereka balik lagi, lalu beli,” ujarnya.

Analisis Ekonom: Cerminan Lesunya Daya Beli

Pengamat ekonomi dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin, mengatakan bahwa Rohana dan Rojali muncul karena masyarakat menunda belanja kebutuhan yang dianggap tidak mendesak.

“Fenomena ini tak lepas dari daya beli yang lesu. Pemerintah memang mengklaim angka kemiskinan turun, tapi data informal menunjukkan masyarakat makin selektif dalam membelanjakan uangnya,” katanya kepada Mistar, Senin (4/8/2025).

Gunawan menjelaskan, meskipun tingkat pengangguran menurun, namun jumlah pekerja informal justru meningkat, dari 33,3 juta orang pada 2020 menjadi 41,5 juta pada 2024. Banyak yang bekerja tanpa jaminan sosial dan pendapatan tetap.

Kondisi ini diperparah dengan naiknya harga barang akibat inflasi, sementara pendapatan stagnan. Masyarakat pun memprioritaskan kebutuhan pokok, dan menunda belanja sekunder.

“Jika kebiasaan ini terus berlangsung tanpa pemulihan ekonomi, akan terbentuk budaya konsumsi hemat yang berkepanjangan,” ucapnya.

Gunawan menyarankan agar pemerintah segera memulihkan daya beli, baik melalui bantuan sosial maupun penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.

“Bansos (bantuan sosail) memang solusi instan. Tapi jangka panjangnya, lapangan kerja adalah kunci,” katanya mengakhiri. (amita/susan/hm16)

REPORTER: