Tak Cukup IQ, Kecerdasan Emosional Kunci Hubungan Sehat dan Harmonis

Psikolog Ekspresi Consulting and Research, Jeffry, M.Psi, Psikolog, CHt. (foto: istimewa)
Medan, MISTAR.ID
Selama ini kecerdasan intelektual (IQ) kerap dianggap sebagai faktor utama dalam meraih kesuksesan. Namun, menurut psikolog dari Ekspresi Consulting and Research, Jeffry, kunci membangun hubungan yang sehat—baik dalam keluarga, lingkungan kerja, maupun masyarakat—justru terletak pada kecerdasan emosional (EQ).
“Banyak orang dengan IQ tinggi justru kesulitan menjalin hubungan yang harmonis. Ini karena mereka kurang mampu mengelola emosi, baik milik sendiri maupun orang lain,” ujarnya, Selasa (16/9/2025).
Jeffry menjelaskan, EQ adalah kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara tepat, baik emosi diri sendiri maupun orang lain. “Kalau IQ berbicara soal berpikir, maka EQ adalah soal merasakan dan merespons emosi secara positif,” katanya.
Ia mencontohkan seseorang yang mampu mengendalikan emosi saat frustrasi, lalu mencari solusi tanpa menyakiti diri sendiri maupun orang lain—itulah wujud nyata penerapan EQ. “Itu bukan soal memendam emosi, tapi soal bagaimana menyalurkannya dengan sehat,” ucap Jeffry.
Empat Pilar Kecerdasan Emosional
Lebih lanjut, ia menjelaskan ada empat pilar utama kecerdasan emosional yang dapat dilatih oleh siapa saja. Pilar pertama, kesadaran diri (self-awareness), yaitu kemampuan mengenali emosi saat emosi itu muncul.
“Ini adalah dasar dari semua kecerdasan emosional. Misalnya, menyadari bahwa ‘saya sedang merasa sangat lelah dan mudah tersinggung hari ini’,” tuturnya.
Kedua, manajemen diri (self-management), yaitu kemampuan mengelola emosi tanpa meledak-ledak dan merusak. “Ini bukan tentang menahan emosi, tetapi tentang menyalurkannya dengan cara yang tepat, seperti dengan olahraga, berbicara pada teman, atau mencari solusi,” katanya.
Pilar ketiga adalah kesadaran sosial (social awareness), yakni kemampuan memahami dan merasakan emosi orang lain atau empati. Terakhir, manajemen hubungan (relationship management), yakni kemampuan membina hubungan sehat, menyelesaikan konflik, dan berkomunikasi dengan jelas serta penuh hormat.
Jeffry melanjutkan, konflik, tekanan, dan hubungan interpersonal terjadi setiap hari. “Individu dengan EQ tinggi tidak hanya mampu mengelola stresnya, tetapi juga menjadi model bagi orang disekitarnya untuk mengelola emosi mereka sendiri,” ucap Jeffry.
Ia juga menekankan pentingnya penggunaan komunikasi dengan ‘I-Statement’, misalnya ‘Saya merasa kesal ketika…’, untuk menghindari konflik yang melukai perasaan orang lain.
“Selain itu, kecerdasan emosional juga meliputi kemampuan untuk menetapkan batasan yang sehat, termasuk dalam penggunaan media sosial, tanpa harus mengorbankan jati diri,” tuturnya.
Jeffry menambahkan, prinsip-prinsip EQ berlaku untuk semua orang. Dalam keluarga, EQ membantu orang tua memahami perasaan anak. Di tempat kerja, mencegah konflik dan membangun tim solid. Di masyarakat, menumbuhkan toleransi dan empati.
“Mari kita mulai memperhatikan kesehatan emosi kita sendiri. Dengan berlatih mengenali dan mengelola emosi, kita tidak hanya meningkatkan kualitas hidup pribadi, tetapi juga membangun lingkungan sosial yang lebih sehat, harmonis dan penuh pengertian,” katanya.
Hal ini juga kerap disampaikan Jeffry saat mengisi pelatihan di sekolah-sekolah, agar dapat membantu para guru untuk membangun hubungan yang sehat antar sesama pendidik maupun ke siswa. (susan/hm24)