Wilmar: Festival Tao Toba Harus jadi Gerakan Kolaboratif, Bukan Seremonial

Praktisi perencanaan pembangunan regional dan pedesaan, Wilmar Eliezer Simandjorang. (foto: istimewa)
Samosir, MISTAR.ID
Praktisi perencanaan pembangunan regional dan pedesaan, Dr Wilmar Eliezer Simandjorang, Dipl. Ec., M.Si, menegaskan Festival Tao Toba Jou-Jou harus dimaknai sebagai gerakan kolaboratif lintas sektor yang mengintegrasikan pelestarian budaya, konservasi lingkungan, dan penguatan ekonomi masyarakat lokal.
Dalam padangannya, Jumat (25/7/2025), Wilmar menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi kawasan Danau Toba saat ini, mulai dari kerusakan ekologis, pencemaran air, hingga tata kelola kawasan yang dinilai belum berkelanjutan.
“Jangan sampai festival ini hanya jadi panggung seremonial dan pencitraan belaka, sementara Danau Toba terus menjerit akibat kerusakan dan masyarakat lokal makin termarginalkan,” ujar Wilmar.
Budaya dan Keberlanjutan Harus Seimbang
Wilmar menyarankan agar minimal 30 persen anggaran festival dialokasikan untuk konservasi dan kebutuhan dasar masyarakat, seperti air bersih, edukasi lingkungan, serta penguatan pelaku UMKM.
“Panggung megah tak akan berarti jika rakyat kesulitan air bersih dan petani kesulitan pasar. Alokasi anggaran harus adil dan tepat sasaran,” katanya.
Masyarakat Harus jadi Subjek, Bukan Objek
Ia menekankan pentingnya keterlibatan aktif masyarakat lokal. Menurutnya, sekitar 70 persen pelaku dalam festival seharusnya berasal dari komunitas lokal, termasuk pelaku UMKM, seniman daerah, dan generasi muda.
“Kita tidak butuh mobilisasi massa, tapi partisipasi sejati. Masyarakat harus jadi penggerak utama, bukan sekadar pelengkap acara,” katanya.
Ia juga mendorong dibentuknya forum komunikasi multipihak yang melibatkan warga agar proses evaluasi pasca-acara lebih terbuka dan transparan.
Pentingnya Edukasi dan Konservasi
Wilmar mengusulkan agar edukasi lingkungan diintegrasikan dalam festival melalui sesi workshop, kampanye pengurangan sampah plastik, serta edukasi interaktif bagi pengunjung—khususnya generasi muda.
“Danau Toba bukan hanya lanskap, tapi warisan kehidupan. Budaya dan lingkungan harus dipelihara bersama dengan pendekatan edukatif dan inovatif,” katanya.
Konservasi Berbasis Kearifan Lokal
Ia mengusulkan pembentukan kelompok masyarakat pengelola hutan dan perairan, yang bekerja berdasarkan prinsip kearifan lokal seperti marsiadapari dan partukkoan, untuk mendukung konservasi berkelanjutan dan pengurangan limbah festival hingga 50 persen dari tahun sebelumnya.
Produk Lokal Harus Diperkuat
Menurut Wilmar, festival seharusnya menjadi sarana untuk mengangkat produk lokal yang berkelanjutan. Ia menargetkan 60 persen produk yang ditampilkan memiliki sertifikasi ramah lingkungan, dengan peningkatan omzet UMKM hingga 30 persen dibanding tahun sebelumnya.
“Kalau hanya jadi pajangan tanpa ada strategi pemasaran jangka panjang, itu bukan pemberdayaan, tapi pemanfaatan sesaat,” tuturnya.
Evaluasi Harus Menyeluruh dan Transparan
Wilmar juga menekankan evaluasi keberhasilan festival tidak cukup hanya dilihat dari jumlah pengunjung, tetapi dari indikator sosial, ekonomi, etika, dan lingkungan. Ia menyarankan agar dilakukan studi dampak menyeluruh, termasuk partisipasi kelompok rentan dan peningkatan pendapatan warga.
Ajakan untuk Transformasi
Di akhir pernyataannya, Wilmar menyatakan Festival Tao Toba Jou-Jou seharusnya menjadi momentum transformasi, bukan sekadar rutinitas tahunan.
“Ini saatnya kita menjadikan festival sebagai panggung sinergi—antara budaya, alam, dan masa depan rakyat. Tapi itu hanya bisa terjadi jika ada niat tulus, kebijakan transparan, dan keterlibatan semua pihak,” ucap dia. (pangihutan/hm24)
PREVIOUS ARTICLE
Fadli Zon Dukung Pelestarian Budaya Melayu Sumatera Timur: Besalen dan Museum Keris Akan Dibangun