Saat Ratapan Jadi Doa: Kisah Pilu di Balik Tradisi Andung-andung

Mangalam Samosir saat memperlihatkan hasapi yang identik dengan andung-andung. (foto:nimrot/mistar)
Toba, MISTAR.ID
Suara kecapi terdengar lirih dari balik rumah Ompung Bona Sibarani, salah seorang tokoh adat di Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba. Alunan musik tradisional itu diiringi senandung kesedihan yang begitu menyayat hati, yang disebut andung-andung.
Andung-andung bagi masyarakat Batak, khususnya di Kabupaten Toba, diartikan sebagai senandung (ratapan) yang dilantunkan seseorang untuk mengungkapkan rasa kesedihan atau penyesalan atas masalah yang menimpa dirinya. Senandung ini juga merupakan doa pengharapan kepada Tuhan agar kelak diberi kehidupan yang lebih baik.
Ompung Bona Sibarani, yang kini berusia 65 tahun, mengatakan andung-andung adalah lantunan lagu atau ratapan seseorang yang sedang berduka untuk mengungkapkan penyesalan, kekecewaan, serta doa pengharapan kepada Tuhan yang disampaikan melalui isak tangis dan nada tertentu.
“Mangandung lebih dominan dilakukan ibu rumah tangga (wanita) kepada anak, suami, atau orang tuanya. Meskipun tidak sedikit lelaki juga sangat mahir melakukannya dan terkadang lebih baik dibandingkan wanita,” ujar Bona kepada Mistar pekan lalu.
Hanya saja, lanjutnya, saat ini sangat jarang ditemukan seseorang yang memahami cara melantunkan andung-andung dengan benar sehingga kisah hidup, penyesalan, dan doa harapan tidak tersampaikan secara mendalam saat seseorang mangandung.
“Dalam melantunkan andung-andung, nadanya harus jelas dengan irama suara yang menyedihkan, sehingga orang larut dalam kesedihan saat mendengarnya. Tetapi sayang, saat ini banyak orang saat melantunkan andung-andung pesannya tidak tersampaikan dengan baik,” katanya.
Bona Sibarani menambahkan, dirinya tidak mengetahui secara pasti awal mula dilakukannya ritual andung-andung. Yang pasti, sejak ia kecil, masyarakat Batak—khususnya di Kabupaten Toba—sudah melakukannya selama ratusan tahun.
Andung-andung dan Hasapi
Andung-andung tidak akan sempurna penyampaiannya tanpa diiringi alat musik hasapi. Dapat dikatakan ibarat ratapan hampa makna jika tanpa iringan tersebut.
Hubungan antara andung-andung dan hasapi sangat erat, sebab terbentuknya alat musik hasapi diyakini berasal dari ungkapan hati pilu, kesetiaan, dan doa harapan seorang suami dalam kehidupannya.
Hal itu disampaikan oleh seorang ahli ukir (gorga) Batak yang tinggal di Desa Pardamean Sibisa, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Mangalam Samosir. Ia mengatakan, kisah tentang andung-andung disampaikan secara turun-temurun dari kakeknya kepada orang tuanya hingga kepadanya.
Menurut Mangalam, andung-andung dan hasapi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Ia menceritakan, salah seorang leluhur Batak dari garis keluarganya memiliki kisah hidup yang memilukan karena selama puluhan tahun berumah tangga, ia tak kunjung dikaruniai seorang anak.
Bahtera rumah tangga itu dijalaninya dengan penuh cinta, namun di dasar hatinya tersimpan kesedihan mendalam.
“Di tengah hatinya yang gundah gulana, sang suami duduk sendiri. Ia ingin meninggalkan istrinya untuk menikah kembali, namun tidak sanggup, karena selama ini istrinya selalu setia melayaninya dengan cinta. Selain itu, ia juga sangat mencintai istrinya,” ujar Mangalam.
Suatu hari, suami itu pergi ke hutan mencari kayu untuk diukir. Setelah mendapatkan kayu yang bagus, ia mulai memahatnya.
Pertama, ia membentuk kepala manusia, lalu bagian kaki. “Setelah beberapa lama mengerjakannya, akhirnya terbentuklah tubuh menyerupai bayi. Ketika diamati, ternyata cocok jika diberi tali senar yang dihubungkan dari kepala ke kaki,” jelas Mangalam.
Setelah ukiran kayu berbentuk bayi itu diberi senar dari tali rotan—yang kini disebut hasapi—si suami mulai memetiknya sambil berjalan mengelilingi perladangan, diiringi senandung doa kepada Tuhan agar diberi momongan.
“Kendati tidak diberikan anak, lelaki itu merasa telah memiliki seorang anak melalui kayu yang diukirnya dan dijadikannya alat musik. Ia selalu menimangnya ke mana pun pergi sambil memetik senar dan bernyanyi, seakan ingin menidurkan anak yang digendongnya. Jadi sesungguhnya cara memainkan hasapi harus seperti menggendong bayi,” ucap Mangalam.
Lama-kelamaan, tetangganya memperhatikan kebiasaan lelaki itu yang selalu menimang kayu berbentuk bayi sambil melantunkan nyanyian penuh ratapan. Pesan dalam lagu yang ia nyanyikan begitu menyentuh hati pendengarnya—tentang penderitaan seorang suami yang tak memiliki anak penerus marga.
“Sejak saat itu, mulailah orang Batak melantunkan andung-andung yang diiringi dengan hasapi. Suara senarnya memiliki makna mendalam dan mampu menghanyutkan perasaan siapa pun yang mendengarnya,” katanya.
Ungkapan Kemalangan
Namun tidak semua masyarakat Toba memahami makna mendalam dari andung-andung. Mayoritas kalangan muda dan orang tua hanya mengetahui bahwa ketika terjadi kemalangan—seperti kematian—akan ada sanak keluarga yang melantunkan ratapan andung-andung yang memilukan.
Seperti disampaikan warga Porsea, Aldi Sirait (26). Menurutnya, andung-andung merupakan ungkapan seseorang yang kehilangan keluarga—baik orang tua, anak, maupun sanak saudara.
“Yang sering saya saksikan, saat ada yang meninggal, misalnya orang tua, maka anaknya akan menangis sambil menceritakan peristiwa hidupnya, baik kesalahan maupun kenangan, melalui andung-andung (mangandung) dengan nada tertentu,” ujar Aldi.
Ia menilai, mangandung juga menjadi cara seseorang menumpahkan perasaan agar orang lain turut merasakan kesedihannya.
“Dengan begitu, orang akan tahu betapa berartinya orang yang telah meninggal itu dalam hidupnya dan pengorbanan yang telah dilakukan. Namun dirinya belum sempat membalas, bahkan kadang justru menyakitinya semasa hidup,” tambah Aldi kepada Mistar, Sabtu (1/10/25).
Disbudpar akan Melestarikan
Sementara itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Toba, khususnya bidang kebudayaan, mengakui belum sepenuhnya menggali makna mendalam dari tradisi andung-andung yang sering dilakukan masyarakat Batak pada acara duka.
Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Kabupaten Toba, Patar Silalahi, menyampaikan bahwa andung-andung merupakan bentuk permintaan dan doa agar harapan seseorang dikabulkan oleh Tuhan.
“Untuk histori lebih dalam tentang andung-andung, kami dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata belum memahami secara pasti. Untuk lebih detailnya, langsung saja bertanya kepada pelaku andung-andung sendiri,” ujar Patar.
Menurutnya, dinas berencana melestarikan dan mengembangkan warisan budaya andung-andung agar semakin banyak pegiatnya di Kabupaten Toba.
“Setahu saya, ada dua pegiat andung-andung di Kabupaten Toba, yaitu Cicilia Siagian dan Inang Nauli Basa. Mereka yang memahami makna sebenarnya dari andung-andung dan beberapa kali diundang tampil di acara tertentu,” tutupnya.(hm06)
PREVIOUS ARTICLE
BPK Wilayah II Dorong Program Fasilitasi untuk Tingkatkan Indeks Pemajuan Kebudayaan di Sumut
























