Kawah Ijen: Keindahan Eksotis di Balik Ancaman Asam dan Gas Beracun

Kawah Ijen. (Foto: Trip Advisor/Mistar)
Banyuwangi, MISTAR.ID
Di balik hijaunya pegunungan Jawa Timur, tepatnya di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, tersembunyi sebuah fenomena geologi luar biasa bernama Kawah Ijen. Lokasi ini bukan sekadar objek wisata, melainkan salah satu danau kawah paling ekstrem di dunia yang menyimpan keindahan sekaligus bahaya.
Gunung Ijen terbentuk dari serangkaian letusan besar sekitar 3.500 tahun lalu. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, letusan tersebut menciptakan kaldera raksasa dengan diameter mencapai 25 kilometer. Di dalam kaldera inilah terbentuk danau kawah yang kini menjadi pusat aktivitas vulkanik Gunung Ijen.
Danau ini memiliki ukuran sekitar 960 x 600 meter dan berwarna biru kehijauan. Meskipun tampak memesona, air danau ini memiliki tingkat keasaman sangat tinggi, bahkan disebut sebagai danau paling asam di dunia.
Menurut NASA Earth Observatory, Senin (21/7/2025), air di Kawah Ijen memiliki pH kurang dari 0,3, jauh lebih asam dibandingkan cairan aki maupun air lemon. Kandungan utama air tersebut meliputi asam sulfat dan asam klorida yang sanggup melarutkan logam serta tidak mendukung kehidupan.
Air dari danau ini mengalir ke Sungai Banyupahit dan membawa sifat korosifnya ke wilayah pertanian dan permukiman warga. Sungai ini memiliki pH antara 2,5 hingga 3,5, jauh dari batas normal air sungai yang ideal, yakni 6 hingga 8. Meski demikian, air sungai ini tetap digunakan masyarakat untuk keperluan irigasi.
Salah satu daya tarik utama Kawah Ijen adalah fenomena blue fire atau api biru. Menurut laporan Live Science, api ini muncul saat gas belerang panas dari perut bumi bersentuhan dengan oksigen di atmosfer dan terbakar, menciptakan cahaya biru menyala yang hanya terlihat jelas saat malam. Fenomena ini hanya ditemukan di beberapa lokasi di dunia, menjadikan Ijen sangat istimewa di mata wisatawan dan peneliti.
Baca Juga: Apa Penyebab Fenomena Api Biru Kawah Ijen?
Meski berisiko tinggi, Kawah Ijen juga menjadi lokasi penambangan belerang aktif. Para penambang bekerja tanpa bantuan alat berat dan perlengkapan keselamatan memadai. Mereka menggunakan pipa besi untuk menyalurkan gas belerang dari lubang vulkanik. Gas tersebut kemudian mengembun dan berubah menjadi belerang cair, lalu mengeras menjadi bongkahan kuning.
Setelah itu, para penambang memecah dan memikul belerang dengan berat mencapai 75–90 kilogram, melewati medan terjal dengan kemiringan hingga 60 derajat menuju pos Paltuding sejauh tiga kilometer. Upah yang mereka terima hanya sekitar Rp50.000–Rp75.000 per hari, bergantung pada berat dan jumlah muatan yang dibawa.
Sebagian besar penambang bekerja tanpa masker pelindung, meski harus menghirup gas beracun selama berjam-jam di kawasan yang dikelilingi asap sulfur.
Berdasarkan data dari BPPTK dan pengelola Taman Nasional Alas Purwo, Kawah Ijen menghasilkan sedikitnya 14 ton belerang setiap hari. Namun, angka itu hanya mencakup sekitar 20 persen dari potensi total yang tersedia. Kendala utama masih berkutat pada akses yang sulit, kondisi alam ekstrem, serta keterbatasan teknologi penambangan.
Jika suhu gas solfatara mencapai lebih dari 200°C, belerang bisa langsung terbakar sebelum sempat mengembun. Selain itu, kerusakan pada pipa akibat korosi sering kali menghambat proses produksi.[]
PREVIOUS ARTICLE
Pantai Parparean di Porsea Miliki Mata Air Purba