Kejatisu Diminta Usut Proyek Mangkrak Kantor Bupati Tapteng Rp69,9 Miliar

Proyek multiyears pembangunan Kantor Bupati Tapteng senilai Rp 69,9 miliar yang mangkrak sejak mulai dibangun 2020-2022 silam. (Foto: Feliks/Mistar)
Tapteng, MISTAR.ID
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) diminta mengusut proyek multiyear pembangunan Kantor Bupati Tapanuli Tengah (Tapteng) senilai Rp69,9 miliar yang mangkrak sejak mulai dibangun 2020 silam.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengatakan proyek itu dibangun tanpa dasar hukum yang merupakan pelanggaran hukum dalam proyek tahun jamak.
Ia menjelaskan, berdasar Pasal 92 PP 12/2019 tentang pengelolaan keuangan daerah, kegiatan tahun jamak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bersama kepala daerah dan DPRD, serta tidak boleh melampaui akhir masa jabatan kepala daerah.
Tetapi, proyek Kantor Bupati Tapteng yang dimulai tahun 2020, terus dianggarkan hingga 2022, padahal masa jabatan kepala daerah berakhir pada tahun yang sama.
“Tidak ada Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi dasar hukum kegiatan tahun jamak tersebut, padahal itu merupakan kewajiban eksplisit dalam Permendagri 77/2020,” ujar Iskandar Sitorus, Senin (27/10/2025).
Menurutnya, kasus ini menggambarkan kerusakan sistemik dalam pengelolaan keuangan daerah, dimulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pengawasan yang diabaikan.
“Fakta ini tidak bisa disebut kelalaian administratif. Ini pelanggaran hukum yang disengaja (reckless negligence) untuk menghindari mekanisme pengawasan DPRD,” ucapnya.
Iskandar menilai, proyek sebesar Rp69,9 miliar tersebut secara formil cacat hukum, dan secara materil telah menimbulkan kerugian negara yang nyata, karena dana publik telah dikeluarkan tanpa menghasilkan aset yang fungsional.
“Tentu ini sudah memenuhi unsur Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara,” ujarnya.
Ia menegaskan, proyek mangkrak Rp69,9 miliar berakar pada kultur birokrasi yang permisif terhadap pelanggaran keuangan. Inspektorat, TAPD, dan DPRD seolah mati fungsi, karena tidak menjalankan kontrol sebagaimana diamanatkan PP dan Permendagri.
Padahal, lanjut Iskandar, dalam Permendagri 77/2020 sebagai turunan langsung PP 12/2019 sudah sangat jelas memuat bahwa semua kegiatan tahun jamak wajib Perda khusus.
Kemudian, penganggarannya wajib disetujui bersama kepala daerah dan DPRD. Dan pembayaran hanya dapat dilakukan berdasarkan dokumen resmi (DPA, SPD, SPM).
"Namun, dalam kasus ini, mekanisme ini dilanggar terang-terangan. Pelanggaran ini bukan hanya pidana korupsi, tetapi juga pelanggaran administratif berat," katanya.
Menurut Iskandar, pejabat yang menandatangani Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) tanpa dasar hukum sah dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi (ganti rugi) berdasarkan UU Keuangan Negara.
“Artinya, tanggung jawab hukum harus diminta kepada seluruh pejabat penandatangan dokumen anggaran yang cacat hukum,” ucapnya.
Ia menegaskan, Kejati Sumut saat ini memiliki momen krusial untuk membuktikan bahwa penegakan hukum berbasis audit bukan sekadar “penindakan individu”, tetapi pemulihan sistemik keuangan negara.
"Maka Kejati Sumut kita minta mengusut seluruh kontrak multiyears 2020-2022 kantor Bupati Tapteng yang mangkrak dan tidak memiliki dasar Perda. Kemudian menelusuri pejabat penandatangan dokumen anggaran dan memproses hukum mereka berdasarkan tanggung jawab jabatan," ucapnya.
Dalam kasus ini, sambung Iskandar, Kejati Sumut diminta menerapkan pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor, jika ditemukan indikasi aliran dana atau pihak yang memperkaya diri. Menetapkan status kerugian negara dari proyek gedung mangkrak dan menyusun rencana penyelamatan aset.
Selanjutnya, mempublikasikan hasil penyidikan dan penuntutan agar publik tahu sejauh mana uang rakyat diselamatkan. Langkah ini akan memperkuat kepercayaan publik dan menjadi tolok ukur transparansi penegakan hukum keuangan daerah.
“Keadilan bukan sekadar hukuman, tapi transparansi dan pemulihan. Keadilan bagi publik bukan hanya melihat pelaku dipenjara, tapi melihat uang negara kembali, sistem diperbaiki, dan pejabat jujur dilindungi,” tuturnya.
Iskandar menambahkan, Kejati Sumut harus transparan, dengan menyampaikan tahapan penyidikan, tindak lanjut audit, dan proses pemulihan aset. Transparansi bukan ancaman bagi institusi hukum, tapi justru benteng kepercayaan publik.
“Keadilan tidak lahir dari vonis, tapi dari keberanian membuka seluruh fakta. Dan publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas setiap rupiah uang rakyat yang hilang,” katanya.
Iskandar menjelaskan, kasus bangunan mangkrak kantor Bupati Tapteng adalah cermin nasional tentang bagaimana pelanggaran keuangan daerah bukan akibat ketidaktahuan, melainkan akibat keberanian menabrak aturan.
“Sebab PP 12/2019 dan Permendagri 77/2020 sudah menjadi pagar hukum yang kokoh. Yang hilang hanyalah kemauan politik dan integritas hukum untuk menegakkannya. Jika Kejati Sumut menuntaskan kasus ini dengan tegas, maka Sumut akan menjadi benchmark nasional penegakan hukum berbasis audit dan akuntabilitas," ujarnya. (hm20)
BERITA TERPOPULER
























