Saturday, July 5, 2025
home_banner_first
SUMUT

FGD Karhutla Samosir Dinilai Dangkal, Akademisi Soroti Akar Masalah Sosial-Ekonomi Pembakaran

journalist-avatar-top
Sabtu, 5 Juli 2025 14.41
fgd_karhutla_samosir_dinilai_dangkal_akademisi_soroti_akar_masalah_sosialekonomi_pembakaran

Sohibul Ansor Siregar, dosen Fisipol UMSU. (Foto: Isitmewa/Mistar)

news_banner

Samosir, MISTAR.ID

Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Karhutla di Samosir: Terbakar atau Dibakar?” yang digelar baru-baru ini menuai kritik tajam dari kalangan akademisi dan pengamat sosial.

Salah satunya datang dari Dr. Shohibul Anshor Siregar, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISPOL) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), yang menyebut bahwa FGD tersebut belum menyentuh akar persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) secara menyeluruh.

Shohibul menyebutkan bahwa meskipun kesimpulan FGD, bahwa mayoritas karhutla di Samosir disebabkan oleh pembakaran disengaja, sejalan dengan studi nasional, namun framing “terbakar atau dibakar” dianggap menyederhanakan persoalan kompleks.

“Karhutla bukan soal korek api atau niat jahat individu. Ini tentang tekanan ekonomi, kerentanan sosial, lemahnya penegakan hukum, dan minimnya alternatif,” tegas Shohibul, dalam siaran pers yang diterima Mistar, Sabtu (5/7/2025).

Ia mengkritik bahwa FGD gagal mengangkat motif ekonomi dan dimensi budaya di balik praktik pembakaran lahan. Menurutnya, banyak masyarakat yang membakar bukan karena niat buruk, melainkan karena alasan efisiensi dan rendahnya risiko hukum.

“Tanpa solusi ekonomi yang lebih menguntungkan, pembakaran akan terus dilakukan,” katanya, mengacu pada teori pilihan rasional dalam perilaku manusia.

Lebih lanjut, Shohibul menyoroti pentingnya pendekatan antropologis terhadap karhutla karena praktik ini telah menjadi kebiasaan turun-temurun. Larangan dan patroli tidak akan efektif tanpa edukasi berbasis budaya lokal.

Shohibul juga mengkritisi pendekatan represif yang dibahas dalam FGD. Ia mengutip data Intelkam Polres Samosir yang mencatat 25 titik api dan 327 hektare lahan terbakar dari pertengahan Mei hingga awal Juli 2025.

“Kalau patroli dan sosialisasi sudah dilakukan tapi api masih banyak, artinya pendekatannya belum tepat,” ungkapnya.

Ia juga menyayangkan rekomendasi FGD yang masih “generik” dan tidak menghadirkan inovasi teknis, seperti penggunaan drone pemantau titik api, pelatihan pertanian tanpa bakar, pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) dengan peralatan yang layak

Shohibul memperingatkan bahwa karhutla bisa menjadi ancaman serius bagi status UNESCO Global Geopark Kaldera Toba, dan mendorong pemerintah daerah agar menjadikan status tersebut sebagai alat kampanye pelestarian lingkungan.

Untuk itu, Shohibul menawarkan lima rekomendasi konkret, yakni kajian sosiologis dan ekonomi mendalam soal karhutla, program komunikasi perubahan perilaku, melibatkan tokoh adat dan agama

Kemudian, pembentukan dan pelatihan MPA di setiap desa rawan karhutla, penegakan hukum yang adil dan transparan, termasuk opsi restorative justice, dan integrasi isu Geopark Toba dalam kebijakan pembangunan daerah

“Karhutla adalah tantangan sosial-ekologis yang kompleks. Samosir butuh pendekatan holistik, bukan sekadar spanduk larangan dan seragam pemadam,” tutup Shohibul. (Pangihutan Sinaga/hm17)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN