Spanduk Tolak Sawit Warnai Peringatan HUT ke-80 RI di Sidamanik

Spanduk penolakan sawit terpampang di depan Lapangan Sarimatondang, Sidamanik, lokasi upacara kemerdekaan berlangsung. (foto: istimewa/mistar)
Simalungun, MISTAR.ID
Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun diwarnai aksi simbolik penolakan perkebunan sawit.
Sebuah spanduk besar bertuliskan 'Masyarakat Kecamatan Sidamanik Menolak Kebun Sawit di Kebun Sidamanik Sebab Mengakibatkan Bencana Banjir' terbentang tepat di depan Lapangan Sarimatondang, lokasi upacara kemerdekaan berlangsung.
Penolakan ini berkaitan dengan rencana PTPN IV yang disebut-sebut akan mengganti tanaman teh menjadi kelapa sawit. Informasi tersebut menimbulkan keresahan luas di tengah masyarakat, mengingat sawit dianggap tidak ramah lingkungan serta berisiko menimbulkan bencana banjir di kawasan itu.
Belman Siallagan, salah seorang warga Sidamanik, dengan tegas menyuarakan penolakannya.
"Kami menolak penggantian tanaman teh dengan sawit. Teh adalah identitas Sidamanik, sementara sawit hanya akan merusak lingkungan dan menambah penderitaan masyarakat akibat banjir. Kami ingin pemerintah dan PTPN IV mendengar suara rakyat, bukan hanya mengejar keuntungan," kata Belman.
Ribuan warga yang hadir dalam upacara dan pawai kemerdekaan pun mendukung aksi tersebut. Menurut mereka, mempertahankan teh sama artinya menjaga warisan budaya, perekonomian lokal, serta kelestarian alam Sidamanik yang sudah dikenal sebagai salah satu kawasan penghasil teh terbaik di Sumatera Utara.
Momentum HUT RI ke-80 di Sidamanik ini akhirnya menjadi lebih dari sekadar peringatan sejarah perjuangan. Bagi masyarakat, kemerdekaan hari ini juga berarti memperjuangkan ruang hidup, lingkungan, dan identitas daerah dari ancaman ekspansi sawit yang kian menguat.
Dalam klasifikasi beberapa pekan lalu, pihak PTPN IV Regional II menegaskan rencana tersebut bukan konversi kebun teh menjadi sawit, melainkan optimalisasi aset hanya pada lahan tidur seluas sekitar 130 hektare, dari total 6.230 hektare yang dikelola.
Namun, warga tetap skeptis, mengingat proses sosialisasi dan transparansi dari PTPN IV dinilai belum memadai. Bahkan, hasil kajian dampak lingkungan (Amdal) terkait rencana konversi tersebut hingga kini belum dibuka untuk publik, memicu frustasi di kalangan masyarakat.
"Tidak tahu kita seperti apa kajian mereka, apa hasilnya pun tidak kita ketahui," ucap Siallagan. (Indra/hm18)