Newsroom: Bertahan dengan Tanah Liat: Kisah Pengrajin Gerabah di Medan

Newsroom: Bertahan dengan Tanah Liat: Kisah Pengrajin Gerabah di Medan
Newsroom: Bertahan dengan Tanah Liat: Kisah Pengrajin Gerabah di Medan
Medan, MISTAR.ID
Di tengah derasnya arus modernisasi, suara roda kayu yang berputar di sudut Jalan Sakti Lubis, Gang Stasiun, Medan, masih terdengar setiap pagi.
Dari bengkel sederhananya, Muhammad Yunus Nasution, pria 65 tahun, setiap hari mengolah tanah liat dengan tangannya sendiri — membentuk gerabah yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak muda.
Setiap hari, Yunus mampu menghasilkan 50 hingga 100 gerabah. Dengan ketelatenan yang lahir dari pengalaman 35 tahun, ia menjadikan tanah liat bukan sekadar bahan baku, tapi bagian dari perjalanan hidupnya.
Dulu, tanah liat mudah didapat. Harganya hanya Rp30.000 per pikul. Kini, satu mobil pikap tanah liat bisa mencapai hampir Rp1 juta — yang harus ia datangkan dari Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, hingga Perbaungan.
Prosesnya pun panjang dan membutuhkan kesabaran. Tanah liat diolah hingga lembut, dibentuk dengan alat pemutar tradisional, lalu dijemur di bawah terik matahari. Jika hujan turun, pekerjaan harus berhenti. Sebab bagi Yunus, matahari adalah sahabat kerja utama.
Setelah kering, gerabah dibakar selama 6 hingga 10 jam, lalu dihaluskan dan dicat. Setiap bentuknya unik, tak ada yang benar-benar sama. Dari tungku sederhana itu, lahirlah karya yang menyimpan kehangatan tangan pembuatnya.
Namun, zaman berubah. Gerabah kini tak lagi banyak dicari. Jika dulu ramai dibeli saat Ramadan dan Lebaran untuk keperluan ziarah, kini hanya diminati menjelang tahun baru. Permintaan yang menurun membuat penghasilannya ikut menyusut.
Meski begitu, Yunus tak menyerah. Ia tetap bertahan, terus memutar roda kayu yang telah menemaninya puluhan tahun.
Baginya, selama tangan masih mampu membentuk tanah, kegiatan ini tak akan hilang. (hm21).
BERITA TERPOPULER








Prediksi Argentina vs Venezuela 11 Oktober 2025: Messi Absen, Albiceleste Tetap Diunggulkan di Miami

