Jejak Sejarah Lima Bandara yang Baru Berstatus Internasional di Indonesia

Bandara Jenderal Ahmad Yani. (Foto: Tribunnews/Mistar)
Jakarta, MISTAR.ID
Pemerintah Indonesia menetapkan lima bandara sebagai bandara internasional baru pada tahun ini, yakni Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang, Bandara H.A.S. Hanandjoeddin di Belitung, Bandara Jenderal Ahmad Yani di Semarang, Bandara Syamsuddin Noor di Banjarmasin, dan Bandara Supadio di Pontianak.
Penetapan ini bukan semata urusan infrastruktur dan izin operasional, tapi juga bagian dari kelanjutan evolusi panjang dari fasilitas udara yang dahulu banyak bermula sebagai lapangan terbang militer atau bandara kecil dengan peran terbatas.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Lukman F. Laisa, menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi nasional untuk memperkuat konektivitas penerbangan antarnegara, mendukung sektor pariwisata, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
“Penetapan bandara internasional dilakukan secara terukur, mempertimbangkan kesiapan infrastruktur, potensi lalu lintas udara internasional, serta keterkaitan dengan moda transportasi lainnya,” kata Lukman dalam siaran persnya, Rabu (6/8/2025).
Di balik pengakuan resmi ini, masing-masing bandara menyimpan catatan sejarah panjang yang turut membentuk identitas dan perannya dalam sistem transportasi udara nasional.
Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II
Bandara ini pada awalnya merupakan lapangan terbang peninggalan kolonial Belanda yang digunakan untuk kepentingan militer. Seiring berjalannya waktu, bandara ini berkembang menjadi gerbang udara utama Sumatera Selatan.
Namanya diambil dari pahlawan nasional Sultan Mahmud Badaruddin II, simbol perjuangan rakyat Palembang melawan penjajah. Renovasi besar dilakukan menjelang PON 2004 dan berlanjut saat Asian Games 2018, menjadikan bandara ini salah satu yang paling modern di Sumatera.
Kini, pengakuan internasionalnya kembali ditegaskan untuk memperkuat konektivitas luar negeri dari dan menuju kawasan barat Indonesia.
Bandara H.A.S. Hanandjoeddin
Bandara di Tanjung Pandan, Belitung, ini lahir dari cikal bakal lapangan udara masa kolonial. Dahulu dikenal sebagai Bandara Buluh Tumbang, bandara ini baru berkembang pesat setelah Belitung mencuri perhatian sebagai destinasi wisata utama lewat film Laskar Pelangi pada 2008. Nama bandara diambil dari H.A.S. Hanandjoeddin, seorang tokoh militer sekaligus bupati Belitung yang berjasa dalam pembangunan daerah. Dengan meningkatnya arus wisatawan, terutama dari Tiongkok dan negara tetangga, status internasional pada 2025 menjadi babak baru dalam mendukung sektor pariwisata Belitung.
Bandara Jenderal Ahmad Yani
Berbeda dengan dua bandara tersebut, Bandara Jenderal Ahmad Yani di Semarang punya akar sejarah sebagai pangkalan Angkatan Laut yang dibuka untuk penerbangan sipil sejak 1960-an. Dinamai berdasarkan pahlawan revolusi asal Jawa Tengah, bandara ini terus mengalami perkembangan hingga terminal barunya yang ramah lingkungan diresmikan pada 2018. Ahmad Yani kini menjelma sebagai salah satu bandara paling modern di Jawa, dengan kapasitas besar dan desain berkelanjutan. Penetapan internasionalnya tahun ini mempertegas posisinya sebagai pintu gerbang pariwisata dan ekonomi Jawa Tengah ke dunia luar.
Bandara Syamsuddin Noor
Di Kalimantan, Bandara Syamsuddin Noor di Banjarbaru menyimpan jejak historis sebagai bandara strategis sejak era kolonial. Diberi nama dari Letkol Syamsuddin Noor, pejuang kemerdekaan asal Kalimantan Selatan, bandara ini sejak lama menjadi simpul pergerakan udara di wilayah selatan Pulau Borneo. Renovasi besar-besaran pada 2019 memperluas kapasitasnya secara signifikan.
Kini, status internasional resmi diberikan untuk mendukung peran bandara ini sebagai penopang mobilitas dari dan menuju kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara serta mendukung ekspor komoditas unggulan daerah seperti batu bara dan hasil perkebunan.
Bandara Supadio
Bandara Supadio di Pontianak menyimpan sejarah yang cukup unik. Dibangun oleh Jepang pada masa Perang Dunia II, bandara ini kemudian digunakan oleh TNI AU dan menjadi fasilitas sipil-militer (dual function). Nama “Supadio” sendiri diambil dari nama seorang penerbang militer yang gugur dalam tugas, Letkol Pnb Supadio.
Posisi geografisnya yang dekat dengan perbatasan Malaysia membuat bandara ini sejak lama melayani penerbangan lintas batas ke Kuching dan Kuala Lumpur. Sejak renovasi terminal pada 2017, Supadio semakin siap menjadi simpul udara internasional di Kalimantan Barat. Penetapan status internasional tahun ini memperkuat misi tersebut.