Satgas Terpadu Dinilai Solusi Tekan Premanisme dan Pungli


Founder Ethics of Care atau Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Farid Wajdi. (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Terpadu untuk menekan praktik premanisme dan penyalahgunaan organisasi masyarakat (ormas) dinilai sebagai langkah mendesak dan strategis.
Hal ini disampaikan oleh Founder Ethics of Care sekaligus Anggota Komisi Yudisial RI periode 2015-2020, Farid Wajdi, Selasa (13/5/2025).
“Pembentukan Satgas Terpadu sangat penting karena praktik pungutan liar (pungli) masih sering terjadi dan merugikan pelaku usaha serta masyarakat luas,” kata Farid.
Ia menegaskan keberadaan satgas ini diharapkan mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif, nyaman, aman, dan tertib di tengah maraknya aksi premanisme yang selama ini mengganggu.
Menurut Farid, pungli bukan sekadar masalah kecil. Ia menjelaskan bahwa praktik tersebut menambah beban biaya investasi, menciptakan ketidakpastian hukum, menurunkan daya saing daerah, serta menggerus kepercayaan investor.
“Yang paling berbahaya, pungli memperkuat budaya korupsi dan ketidakpastian hukum di daerah,” ucapnya.
Ia mencontohkan, tak jarang oknum ormas atau preman melakukan pemaksaan kepada pedagang, pengusaha, hingga proyek-proyek pembangunan agar membayar uang keamanan ilegal yang tidak memiliki dasar hukum.
Farid menilai pembentukan Satgas Terpadu juga menjadi simbol ketegasan negara dan keseriusan pemerintah dalam memberantas pungli serta premanisme yang merugikan masyarakat dan dunia usaha.
Namun demikian, ia mengingatkan agar Satgas tidak hanya menjadi simbol politik semata. Ada risiko yang harus diantisipasi, seperti tarik-menarik politik lokal, kekuasaan ormas, hingga potensi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power).
“Kalau tidak dirancang secara matang, Satgas bisa rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu,” ujarnya.
Untuk itu, Farid menekankan pentingnya regulasi yang kuat, rumusan tugas dan wewenang yang jelas, serta batasan tindakan untuk mencegah pelanggaran HAM. Ia juga mendorong pendekatan profesional, lintas sektor, dan berbasis data.
“Penegakan hukum harus tegas tanpa diskriminasi. Tindakan represif tetap harus diimbangi dengan pendekatan preventif dan reformatif,” katanya. (amita/hm25)