Eksploitasi Seksual dan TPPO Sulit Ditindak, Kendala Utama Pada Korban

Dr. Rina Melati Sitompul membeberkan sulitnya mengungkap kasus TPPO (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Dr. Rina Melati Sitompul, yang banyak berkecimpung dalam pendampingan kasus eksploitasi seksual dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) khususnya eksploitasi seksual, menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang dapat dirumuskan sebagai kategori delik kejahatan TPPO.
Pertama adalah proses perpindahan, yaitu korban atau pekerja diangkut atau dibawa dari tempat asal atau rumah. Kemudian, cara ditawarkan bekerja dengan baik melalui iming-iming, janji-janji, atau tipuan. Selanjutnya, korban dipekerjakan tidak seperti yang dijanjikan atau dieksploitasi, dan ini sudah memenuhi unsur kejahatan pidana perdagangan orang.
Modus perekrutan dengan iming-iming tawaran yang tidak sesuai dengan janji masuk dalam unsur TPPO, apalagi jika menyangkut eksploitasi seksual.
"Biasanya, modus perdagangan orang menjanjikan dan mengiming-imingi supaya korban masuk dalam perangkap. Biasanya orang yang butuh pekerjaan, mau menyambung hidup akan yakin dan percaya. Dengan sendirinya korban akan terjerat," ujarnya, Senin (23/6/2025).
Rina mengatakan bahwa penyelidikan kasus eksploitasi seksual sulit dikembangkan dalam mencari alat bukti supaya pelaku bisa dijerat pasal TPPO. Kesulitan itu biasanya justru berasal dari korban.
"Korban sering sulit diajak kerja sama, apakah dikarenakan rasa enggan dan malu. Banyak faktor akhirnya kejahatan sulit ditindak," ujarnya.
Langkah Pencegahan Kian Lemah
Upaya pencegahan kasus eksploitasi seksual sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini ditandai dengan adanya Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Pencegahan Perdagangan Perempuan dan Anak.
Rina mengakui bahwa upaya pencegahan mulai jarang dilakukan melalui pola-pola peningkatan kewaspadaan dan penyadaran. Penyadaran dari para pemangku kebijakan tak lagi terdengar dilakukan. Misalnya, salah satu standar dalam Perda No. 6 dalam upaya pencegahan TPPO adalah bahwa dalam pembuatan paspor diharapkan ada acuan berupa keterangan dari lurah atau desa, meskipun pemohon memiliki KTP asli.
"Tapi apakah ini jalan monitoring-nya, keknya tidak bekerja, sistem pengawasan akhirnya agak lemah," ujarnya.
Rina mengakui bahwa Sumut sangat rentan dalam hal perdagangan orang, khususnya eksploitasi seksual. Dari segi struktur wilayah, Sumut memiliki sejarah panjang terkait eksploitasi seksual.
"Kota Medan sering dijadikan tempat tujuan juga dengan tempat-tempat prostitusi ada Bandar Baru dan Bukit Maraja. Sama Transit, Tanjung Balai sering dijadikan wilayah penyebrangan untuk penyebrangan tenaga kerja ke Malaysia." terangnya.
Menurut Rina, pada awal berlakunya Perda No. 6, konsep tersebut berjalan dengan baik.
"Masa Ibu Sabrina dulu pernah dilakukan konsep Satgas monitoring di setiap pintu-pintu masuk, apakah sekarang satgas ini masih ada kurang tau juga." katanya.
Menurutnya, kebijakan dalam penanganan TPPO di masa pemerintahan Jokowi dialihkan ke pihak kepolisian sebagai koordinator gugus tugas. Sebelumnya, gugus tugas berada di bawah Unit Meneg PP atau Dinas PP. (matius/hm06)
PREVIOUS ARTICLE
Krisis Etika Pejabat, Publik Kehilangan Kepercayaan