Gencatan Senjata di Suriah: 300 Tewas dalam Konflik Druze-Sunni, Israel Serang Damaskus

Militer berpatroli di tengah konflik Druze-Sunni (Foto: Istimewa/Mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Pemerintah Suriah mengumumkan gencatan senjata di wilayah Suweida, selatan Damaskus, sebagai langkah untuk menghentikan bentrokan mematikan antara milisi Druze dan kelompok Sunni Badui. Pengumuman ini datang setelah lebih dari 300 orang tewas sejak awal Juli 2025, menurut laporan dari Syrian Observatory for Human Rights (SOHR).
Konflik bermula dari insiden pemukulan terhadap seorang pemuda Druze oleh sekelompok warga Badui Sunni, yang memicu aksi balas dendam dan menyulut kekerasan antar komunitas.
Pasukan Dikerahkan, Eksekusi Warga Sipil Memicu Kecaman
Pemerintah mengerahkan militer ke Suweida dalam upaya meredam kekacauan. Namun, laporan dari SOHR menyebutkan adanya eksekusi terhadap 19 warga sipil Druze oleh pasukan pemerintah dan milisi sekutu mereka pada 15 Juli. Aksi ini memicu kecaman internasional dan memperbesar tekanan terhadap Presiden Ahmed al-Sharaa.
Israel Ikut Campur: Serang Damaskus dan Suweida
Merespons situasi di Suweida, militer Israel melancarkan serangan udara ke Damaskus dan Suweida pada Rabu (16/7/2025). Pemerintah Israel mengklaim aksi ini sebagai bentuk perlindungan terhadap komunitas Druze, yang juga merupakan minoritas berpengaruh di Israel dan dikenal loyal terhadap negara tersebut.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menyatakan bahwa tindakan militer itu bertujuan mencegah kekerasan terhadap warga sipil Druze.
Para Ahli: Konflik Berakar pada Ketimpangan dan Ketidakadilan
Menurut Bente Scheller, pakar Timur Tengah dari Heinrich Böll Foundation, konflik di Suweida mencerminkan ketegangan identitas dan konflik kepentingan antar kelompok etnis dan agama di Suriah.
"Rasa ketidakadilan dan pengabaian terhadap hak-hak kelompok lokal membuat banyak wilayah mudah tersulut konflik," ujar Scheller kepada DW. Ia juga menyoroti peran penyelundupan narkoba dan kriminalitas yang memperburuk situasi di kawasan tersebut.
Pemerintahan al-Sharaa di Persimpangan
Pemerintahan Presiden Ahmed al-Sharaa dinilai belum mampu mengendalikan seluruh kekuatan lokal di tengah transisi pasca-rezim Assad. Meski AS dan Uni Eropa baru-baru ini mencabut sebagian sanksi ekonomi, kekerasan yang terus berlanjut mengaburkan harapan stabilitas.
Serangan bunuh diri terhadap gereja Kristen di Damaskus yang menewaskan 25 orang pada akhir Juni memperburuk krisis, sementara kelompok Kurdi di utara terus menuntut otonomi lebih luas.
Tantangan Berlapis Bagi Pemerintah Baru
Pemerintah Suriah menghadapi tekanan besar:
Menyelidiki eksekusi warga Druze
Menangani serangan terhadap komunitas Kristen dan Alawi
Merancang undang-undang pemilu
Merespons tuntutan otonomi Kurdi
Membangun kembali institusi pemerintahan yang porak poranda
Andre Bank dari GIGA Institute memperingatkan bahwa jika tidak ditangani serius, konflik antaragama dan sektarian di Suriah akan terus berulang. (hm17)