Liarnya Harga Cabai di Sumatera Utara

Pedagang cabai di Onan Porsea. Harga cabai dalam sepekan mengalami fluktuasi hingga membuat panik dan menurunkan daya beli (Foto: nimrot/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Harga cabai merah di beberapa daerah di Sumatera Utara bak roller coaster. Sepekan lalu Rp40 ribu, namun dalam hitungan hari melonjak jadi Rp100 ribu per kilogram, lalu anjlok lagi. Pedagang panik, pembeli pun menjerit.
Bayangkan, harga cabai merah tiba-tiba sempat meroket hingga Rp100.000 per kilogram. Harga yang tidak pernah dilampaui dalam 2 tahun terakhir. Namun hanya berselang dua atau tiga hari, harga itu menurun tajam dan kemudian naik lagi.
Fluktuasi harga cabai terjadi di sejumlah pasar tradisional, baik di Kota Medan, Siantar, Toba, dan lainnya. Utamanya dalam satu pekan terakhir.
Kenaikan harga cabai merah ini berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Saat di beberapa daerah seperti Medan dan Pematangsiantar sudah mengalami penurunan harga, di Toba masih bertahan mahal.
Hari ini saja (Kamis, red), di Pasar Kampung Lalang, Kota Medan, pedagang bernama Anju melaporkan harga cabai merah melonjak dari Rp70.000 menjadi Rp76.000 per kilogram (kg).
Tren kenaikan yang sama juga terlihat di Pasar Petisah. Pedagang bernama Nur menyebutkan, harga cabai merah naik menjadi Rp70.500 dari sebelumnya Rp65.000 per Kg.
Namun di Kota Pematangsiantar dan Toba, harga cabai sudah mengalami penurunan. Sehari sebelumnya, di Pematangsiantar harga Rp70.000 per kilo, turun menjadi Rp60.000 per kilogram.
Sedangkan di Toba, tepatnya di Pasar Laguboti, pedagang cabai bernama Sonya Hutapea mengatakan, harga cabai berangsur turun setelah mencapai Rp100.000 per kilogram, namun saat ini di kisaran Rp65.000 – Rp70.000 per kilogram.
Dari pantauan Mistar, dalam sepekan saja harga cabai merah mengalami fluktuasi yang cukup drastis. Harga cabai merah yang sebelumnya hanya bertengger di angka Rp40.000, tiba-tiba mengalami kenaikan menjadi Rp50.000, mendadak menjadi Rp80.000, bahkan sampai Rp100.000.
Tidak lama berselang, harga cabai di pasar tradisional kembali turun perlahan. Kembali ke harga Rp70.000 dan terakhir turun di harga Rp60.000 di pasar tradisional di Pematangsiantar.
Kenaikan harga tersebut cukup membuat warga panik, khususnya mereka yang menggunakan rempah ini sebagai bumbu usahanya sehari-hari seperti rumah makan atau usaha kuliner lainnya.
Wak Sam, salah seorang pemilik warung nasi di Jalan Setia Negara Kota Pematangsiantar, menyampaikan kegundahan hatinya akibat harga cabai yang tidak menentu.
Ia mengaku sempat panik dengan naik turunnya harga cabai yang sangat drastis. Dari harga semula Rp40.000 sampai Rp50.000, tiba-tiba melonjak hingga Rp100.000 per Kg.
"Sempat turun menjadi Rp70.000, saya cepat-cepat stok. Takut kalau-kalau harga cabai naik lagi sampai Rp100.000. Eh, nggak tahunya tadi sudah turun lagi jadi Rp60.000. Bersyukur sih, tapi naik turun harga cabai ini buat panik," ujar Wak Sam kepada Mistar.
Kenaikan harga cabai ini membuatnya pusing untuk menyiasati makanan agar tetap enak dirasa tanpa menaikkan harga. "Kalau harga dinaikkan justru takut nggak laku usaha warung nasi ku," sebutnya.
Kepanikan juga dirasakan Nur, pedagang sekaligus masyarakat yang mengonsumsi cabai merah. "Selain menjual, saya juga masuk kategori konsumen. Menurut saya, kenaikan harga ini kembali membebani daya beli masyarakat. Belum tentu ekonomi orang bagus," ujar Nur, warga Medan.
Nur juga menyampaikan, harga bahan pokok beberapa hari terakhir memang relatif mengalami fluktuasi. "Misalnya, hari ini cabai merah harganya Rp70.000 per Kg, besok bisa jadi Rp80.000 atau justru turun jadi Rp50.000 per Kg. Masih belum bisa ditebak," tuturnya.
Kemarau Panjang
Kemarau panjang ternyata turut memengaruhi kurangnya pasokan cabai dari sejumlah perkebunan cabai di Sumatera Utara. Sentra pertanian cabai umumnya berada di dataran tinggi, mulai dari Kabupaten Simalungun, Toba, Dairi dan Karo.
Jaber Linson Saragih, salah seorang petani cabai dari Bangun Panei, Kecamatan Dolok Masagal, Kabupaten Simalungun mengatakan, saat kemarau panjang banyak petani yang tidak sanggup menanam cabai. Hal itu yang menyebabkan pasokan cabai menipis hingga menyebabkan harga tinggi.
"Pada Sabtu dan Minggu kemarin, harga cabai sempat dihargai sekitar Rp70.000 per kilogram dari pengepul," ujar Jaber yang diwawancarai Mistar melalui telepon, Kamis (11/9/25).
Menurutnya, setelah itu harga kembali turun. Menurut pengepul—yang mereka sebut pengecer—harga cabai kembali turun karena masuk cabai dari Pulau Jawa, sehingga harga cabai dihargai sekitar Rp50.000 per Kg dari petani.
Di sisi lain, kondisi ini menguntungkan petani cabai. Jaber mengaku, saat pasokan cabai menipis, ini menguntungkan bagi petani seperti dirinya karena harga jual akan tinggi. Namun diakuinya, penuh perjuangan menanam cabai pada musim kemarau karena saat itu kekurangan air.
"Saya tidak mampu menanam cabai dari seluruh lahan yang saya miliki, makanya saya bagi tiga. Ada masa panen seperti saat ini, ada masa pertengahan dan ada masa baru tanam. Selain agar panen cabai bisa berkesinambungan, juga karena kemampuan menyiram tanaman yang tidak cukup," kata Jaber.
Dengan harga yang lumayan tinggi saat ini, diakui Jaber, ia meraup untung yang lumayan jika dibandingkan pada bulan-bulan sebelumnya saat cabai banjir.
Untuk harga cabai, menurut Jaber, setidaknya dengan harga jual petani berkisar Rp25.000 s/d Rp30.000 per kilogram.
"Harga segitu sudah bisa membuat petani bernafas lega. Bisa lepas biaya produksi dan mendapat keuntungan. Apalagi jika harga jual Rp80.000 sampai Rp100.000 per kilo, itu sudah luar biasa bagi petani," akunya.
Efisiensi Rantai Pasok
Fluktuasi harga cabai dan bawang yang terjadi belakangan ini di Sumatera Utara (Sumut) dipicu oleh faktor musiman dan masalah struktural dalam rantai pasok. Kenaikan harga ini berdampak langsung pada daya beli masyarakat dan berpotensi memicu inflasi.
Menurut Pengamat Ekonomi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Sunarji Harahap, inflasi dapat terjadi karena situasi ini memaksa masyarakat mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan non-primer atau sekunder.
"Selain inflasi, penurunan daya beli juga dapat memperburuk kondisi ekonomi keluarga dan meningkatkan ketidakpuasan sosial. Sehingga, diperlukan kebijakan ekonomi terpadu untuk menjaga kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi," katanya, Kamis (11/9/25).
Menurut Sunarji, kebijakan intervensi pasar pemerintah, seperti operasi pasar dan subsidi, justru kurang efektif mengendalikan harga cabai dan bawang.
"Seringkali hanya bersifat reaktif dan tidak menangani akar masalah seperti ketidakstabilan produksi dan ketergantungan pada musim," ujarnya.
Untuk meningkatkan efektivitas, pemerintah perlu memperbaiki strategi jangka panjang yang berfokus pada peningkatan produksi dan efisiensi rantai pasok, memperkuat regulasi dan pengawasan pasar untuk mencegah manipulasi, serta memperbaiki akses petani ke pasar dan informasi untuk meningkatkan daya tawar.
Untuk mencapai stabilitas harga cabai dan bawang jangka panjang, Sunarji menyarankan agar pemerintah perlu mengintegrasikan strategi hulu dan hilir, termasuk meningkatkan produksi dan produktivitas melalui subsidi dan infrastruktur pertanian.
"Perlu juga mengembangkan teknologi pascapanen dan penyimpanan, memperbaiki sistem distribusi dan pasar, membangun kemitraan petani, mengelola cadangan pangan, serta menerapkan kebijakan fiskal dan insentif yang tepat," tuturnya.
Berisiko Bagi Pedagang
Penilaian senada juga datang dari Gunawan Benjamin, pengamat ekonomi dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Ia menyoroti ekstremnya volatilitas harga cabai merah di pasaran.
Setelah sempat menyentuh Rp90.000 hingga Rp100.000 per kilogram di awal pekan, harganya anjlok menjadi Rp46.000, namun kembali melonjak menjadi Rp60.000 per kg hanya dalam hitungan hari.
"Ada gap yang cukup lebar antara satu pedagang dengan pedagang lainnya," kata Gunawan.
Menurutnya, volatilitas ini terjadi karena pasokan yang tidak stabil. Kenaikan harga cabai di Sumut, yang lebih tinggi dari wilayah lain seperti Jawa, menarik pasokan dari luar daerah.
"Selama kita masih bergantung pada pasokan dari luar, maka kita berpeluang mengalami fluktuasi harga yang tidak menentu," ucapnya.
Kondisi ini membuat perdagangan komoditas menjadi sangat berisiko, di mana para pedagang besar harus menghadapi ketidakpastian tinggi. Ia bahkan membandingkan perdagangan cabai saat ini layaknya trading di pasar saham, dengan risiko tinggi namun potensi keuntungan besar.
Kedua ahli ekonomi tersebut sepakat kalau kebijakan intervensi pasar pemerintah, seperti operasi pasar, seringkali kurang efektif karena hanya bersifat reaktif.
Gunawan Benjamin menambahkan, fluktuasi harga ini tidak hanya terjadi pada cabai merah, tetapi juga cabai hijau dan rawit. Jika pemerintah tidak mengambil langkah strategis, masyarakat akan terus menghadapi ketidakpastian harga yang bisa menggerus daya beli mereka secara berkelanjutan.
(amita/mis/hm06)
BERITA TERPOPULER


























