Ringgit Pembakar Luka, Sebuah Kisah Pekerja Kosong dari Asahan

foto: Lanal Tanjungbalai Asahan (TBA) saat mengamankan kapal nelayan pengangkut TKI ilegal dari Malaysia. (dok. Lanal TBA/mistar)
Asahan, MISTAR.ID
Negeri jiran memang menjanjikan bagi warga Indonesia di bagian Sumatera Utara, di tengah minimnya peluang kerja dan sesaknya himpitan ekonomi. Menjadi 'pekerja kosong' alias TKI ilegal hingga melewati tantangan maut sudah bukan rahasia umum lagi. Jalur tikus di Asahan pun menjadi arena para pejuang keluarga, meski resiko tinggi mengancam.
Hingga kini warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja berstatus Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara non prosedural tanpa dokumen resmi tak pernah bisa terdata. Banyak diantaranya datang bermodal paspor pelancong dan menetap bertahun-tahun mencari pundi cuan di negeri Jiran untuk kelak dibawa pulang.
Istilah PMI non prosedural – illegal baik datang maupun pulang melalui jalur gelap dikenal oleh sesama WNI di sana dengan istilah ‘pekerja kosong’. Mereka biasanya bekerja di sektor non formal seperti pelayan toko, buruh bangunan, awak kapal hingga pembantu rumah tangga. Kelompok ini sangat rentan menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Pengusaha di Malaysia, cukup banyak meminati jasa pekerja kosong dari Indonesia ini. Sebab, bisa dipakai jasanya bekerja diatas delapan jam sehari, dan 7 hari seminggu. Upahnya juga lebih murah jika dibanding pekerja migran berdokumen. Antara 1.500 – 1.700 ringgit per bulan dan tanpa durasi kontrak kerja yang jelas. Artinya bisa diberhentikan sewaktu-waktu.
Salah satu tantangan bagi para pekerja kosong WNI selain pandai-pandai lolos dari kejaran razia Polis Diraja Persekutuan Tanah Melayu yang kapan saja melakukan razia. Untuk kembali ke tanah air kampung halaman, otomatis juga melakukan perjalanan dengan menantang marabahaya lewat jalur laut menumpang kapal nelayan dan mendarat di wilayah pelabuhan tikus di Asahan.
Satu-satunya pilihan jalur kepulangan yakni dengan menumpang kapal kayu nelayan lokal menuju wilayah perbatasan perairan RI – Malaysia lalu menyambung kembali dengan kapal nelayan yang lain.
Jalan Pulang Menantang Marabahaya
Agus Salim, warga Kecamatan Air Joman Kabupaten Asahan menceritakan bagaimana pengalaman kepulangannya di tahun 2021 lalu saat Covid–19 sedang memuncak. Setahun bekerja di Malaysia lewat jalur tak resmi membuat ia harus kembali. “Jangan sampai terulang dua kali,” kata dia.
Lewat kenalannya sesama orang Indonesia, ia kemudian berjumpa seorang agen warga Malaysia di daerah Kilang. Saat ini disepakati biaya kepulangan 1.400 Ringgit.
“Waktu itu kami dikumpulkan ada enam orang. Ada yang dari Madura, Lombok dan Semarang. Naik mobil kami dibawa ke dekat pantai di daerah Perak. Kami ditempatkan di sebuah rumah di situ menunggu jam 12 malam baru berangkat naik kapal,” kata Agus.
Agus mengingat saat itu mereka ada sekitar 20 orang. Termasuk dua diantaranya adalah anak-anak. Seluruhnya merupakan tenaga kerja ilegal non prosedural yang seluruhnya tidak dipekerjakan lagi oleh pengusahanya.
“Sekitar jam 1 dini hari kami di bawa kapal kayu nelayan. Kondisi gelap. Kami semua disuruh merunduk, tak boleh menyalakan cahaya, buka HP atau menghidupkan rokok. Sekitar 3 jam berlayar, perahu tersebut berhenti katanya itu wilayah perbatasan negara. Kira-kira 30 menit kami dipindahkan lagi ke kapal lain kali ini kapalnya orang Indonesia,” kata dia.
Proses pemindahan penumpang ke kapal terbilang cukup memakan waktu. Karena angin cukup kencang. Kapal harus benar-benar merapat dalam kondisi guncangan arus laut. Penumpang mesti melompat saat kedua sampan benar-benar rapat. Bahkan ada tas penumpang yang tercebur jatuh ke laut.
“Sesudah dipindah kapal kami posisinya masuk ke dalam lambung kapal. Tak boleh ada nampak kepala yang keluar. Suasana di dalam panas. Sampai siang tengah hari, kulit rasanya mau terbakar,” kenang Agus.
Meski demikian, mereka tidak langsung dibawa mendarat ke pelabuhan tikus di wilayah Asahan. Kapal ini dibiarkan terombang ambing di tengah laut. Perjuangan itu hampir memakan waktu satu hari, dari gelap, terang dan kembali gelap.
“Enggak bisa masuk siang-siang. Menunggu gelap lagi, kami baru sampai di mendarat di Asahan. Itupun tidak betul-betul sampai daratan. Kapal kandas kami disuruh jalan di tengah lumpur. Tingginya sepaha orang dewasa baru sampai di rumah penampungan lagi,” kata dia.
Belum selesai sampai di situ, para pekerja kosong ini di rumah penampungan dikutip bayaran lagi dengan dalih uang transit. Biayanya antara Rp 200-300 ribu per orang. “Kapok. Nggak akan saya ulangi lagi yang seperti itu,” kata dia.
Berburu Ringgit Tanpa Modal
Berburu ringgit adalah alasan yang paling utama bagi para pekerja menjadi TKI. Tetapi kenekatannya menjadi TKI Ilegal karena tak punya modal alias uang untuk melewati prosedur resmi. Ditambah lagi iming-iming dari para calo bisa bekerja di tempat yang enak dengan gaji yang lumayan.
Rosmaili, salah seorang warga Deli Serdang menceritakan kenekatannya ketika mengadu nasib ke Malaysia dengan cara ilegal. Ia Bersama calo berangkat melalui perairan Asahan dengan cara sembunyi-sembunyi.
"Persis kisah penyelundupan yang mengerikan, tidak terbayang juga jika cara menjadi TKI Ilegal bisa begitu mengerikan. Di Kapal kami dimasukan di ruang yang gelap," ujarnya.
Tiba-tiba Rosmaili tidak tahu mengapa, calo yang membawanya pergi sudah entah di mana. Ia hanya mengikuti instruksi si pembawa kapal, tanpa kepastian mau dibawa kemana. "Sampai di situ saya mulai pasrah, betapa sakitnya menjadi TKI Ilegal," ujarnya.
Sialnya lagi, belum sempat ia bekerja, mereka justru ditangkap hingga akhirnya harus dipulangkan dengan menebus sejumlah uang. Sampai di situ, Rosmaili mengaku tidak berani lagi untuk bekerja secara ilegal. Belum lagi cerita banyak orang, tidak sedikit yang juga tertipu oleh calo dengan membayar sejumlah uang. Namun ternyata mereka bukan menjadi pekerja di rumah makan melainkan menjadi PRT.
"Boro-boro dapat uang, yang ada menyusahkan keluarga di kampung untuk segera mengirimkan uang agar bisa pulang dengan selamat," ujarnya menyesal.
Marak TKI Ilegal
Kepala Dinas Ketenagakerjaan Asahan Meiliana menyebutkan, berdasarkan data tahun 2024, terdapat sekitar 2,7 juta total pekerja migran Indonesia di Malaysia, dan hanya 1,6 juta di antaranya bekerja melalui prosedur resmi.
“Untuk Asahan yang tercatat resmi dengan procedural 2.287 PMI. Di luar ini tidak terdata dan pasti jumlahnya bisa lebih banyak,” ujarnya.
Meilina mengakui banyaknya jalur ‘pelabuhan tikus’ di Asahan yang menjadi jalur primadona bukan hanya dari warga Asahan dan dimanfaatkan oleh pencari kerja kosongan ini menjadi tantangan bagi Pemkab Asahan dan selalu jadi celah untuk tindak pidana perdagangan orang TPPO.
Dalam catatan di tahun 2025 ini saja, ada tiga kali penggagalan penyelundupan TKI Ilegal dari perairan Asahan yang dilakukan oleh TNI AU. Pada 7 Januari 2025, patroli laut gabungan TNI AL Pangkalan Tanjungbalai Asahan (Lanal TBA) dan Polres Asahan menggagalkan upaya pengiriman sebanyak 52 orang TKI ilegal yang hendak diberangkatkan ke Malaysia.
Pada Maret 2025,Tim Flit One Quick Response atau F1QR Pangkalan TNI AL Lanal Tanjung Balai Asahan (TBA) bersama personil Koarmada Satgas Intelmar berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 71 pekerja migran Indonesia (PMI) non prosedural yang masuk ke Indonesia melalui perairan Batubara, Selat Malaka, Sumatera Utara. Penangkapan tersebut terjadi saat Tim F1QR Lanal TBA melaksanakan patroli dan mendeteksi sebuah kapal tanpa penerangan yang melintas dan mencurigakan.
Pada Mei 2025, Tim reaksi cepat F1QR Lanal Tanjung Balai Asahan berhasil mengamankan tiga unit kapal yang membawa 84 orang pekerja migran Indonesia (PMI) dari Malaysia di perairan Asahan, Sumatera Utara (Sumut). Mereka diamankan dari tiga lokasi yang berbeda karena memasuki perairan Indonesia tanpa dokumen resmi.
Regulasi Diperkuat, Pengawasan Diperketat
Aktivis perlindungan pekerja migran yang saat ini berdomisili di Jakarta, Affandi Affan, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memberantas pengiriman tenaga kerja ilegal.
Praktisi hukum ini menyatakan keprihatinannya atas masih maraknya pengiriman PMI melalui jalur tidak resmi yang rentan terhadap praktik eksploitasi dan perdagangan manusia. Dia menilai kasus di Asahan hanya satu dari banyak kejadian serupa yang terjadi di berbagai titik rawan di Indonesia.
"Pengiriman PMI tanpa prosedur legal adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Mereka berisiko besar menghadapi perlakuan tidak manusiawi di luar negeri karena tidak memiliki dokumen sah dan perlindungan hukum," kata Affandi dalam pernyataannya kepada Mistar.
Affandi juga memberikan perhatian kepada Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) yang saat ini dipimpin oleh Abdul Kadir Karding. Dia menilai komitmen Kementerian P2MI dalam menolak tegas jalur pengiriman ilegal patut didukung seluruh elemen bangsa.
Menurut Affandi, perlindungan terhadap pekerja migran bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bentuk penghargaan terhadap kontribusi para pahlawan devisa.
“Regulasi penempatan harus diperkuat, pengawasan di daerah kantong PMI diperketat, dan akses terhadap bantuan hukum bagi PMI bermasalah di luar negeri harus diperluas,” tutur Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ini.
Affandi menyebut edukasi hukum dan kesadaran publik menjadi pondasi utama dalam mencegah pengiriman ilegal. Ia menyarankan agar program penyuluhan hukum dilakukan secara masif, terutama di daerah-daerah pengirim tenaga kerja terbesar.
"Masyarakat harus tahu bahwa berangkat tanpa jalur resmi bukan hanya melanggar aturan, tapi juga mempertaruhkan keselamatan diri. Edukasi ini bisa menyelamatkan banyak nyawa,” ucapnya. (perdana/hm18)