Musim Banjir Tiba, Pemerintah Hanya Bisa Umbar Janji

Salah satu kawasan yang dilanda banjir di kota Medan. (foto:dok.mistar)
Medan, MISTAR.ID
Aris Rangkuti hanya bisa menatap pasrah genangan air yang kembali memenuhi halaman rumahnya di Pasar Bawah, Serbalawan, Kabupaten Simalungun. Dalam sepekan, dua kali banjir menerjang permukimannya, merendam ratusan rumah hingga setinggi dada orang dewasa.
Bagi Aris dan warga lain, bencana ini bukan lagi kejutan, melainkan rutinitas tahunan yang selalu datang bersama musim hujan—dan selalu dijawab pemerintah dengan janji dan bantuan sementara.
"Dalam pekan ini saja sudah dua kali kampung kami kebanjiran. Yang pertama malam Sabtu. Awalnya air setinggi 3 meter dan mulai surut. Itu pun airnya masih setinggi 2 meter," kata Aris dikonfirmasi, Senin (13/10/25).
Selain Sabtu malam, pada tanggal 12 Oktober 2025, rumah-rumah warga kembali terendam banjir hingga air setinggi 1,5 meter. Banjir merendam 120 rumah. Warga pun harus mengungsi.
"Dua kali kami terkena banjir, tapi belum ada solusi yang permanen. Kami tetap menjadi korban banjir. Kami sangat berharap kepada pemerintah akan solusi permanen sehingga kami tidak lagi merasakan banjir," tuturnya.
Diakui Aris, pada tanggal 12 Oktober 2025, Bupati Simalungun Anton Achmad Saragih sudah datang. Saat itu, Anton menyampaikan kalau tim ahli sedang bekerja melakukan penelitian penanganan banjir Serbalawan.
"Untuk saat ini kita sabar, tapi sampai kapan? Ini harus dituntaskan, biar kami tidak jadi korban lagi. Banjir yang terjadi bukan kali pertama, tapi sudah sering kali terjadi," keluhnya.
Sebelumnya, Bupati Simalungun Anton Achmad Saragih telah meninjau langsung lokasi banjir di Pasar Bawah, Kelurahan Serbelawan, Kecamatan Dolok Batu Nanggar dan menyerahkan bantuan kepada warga korban banjir.
Diketahui, banjir pertama dalam pekan ini yang terjadi di Pasar Bawah pada Jumat (10/10/25) dan pada Minggu (12/10/25). Hal ini dipicu curah hujan tinggi yang menyebabkan Sungai Sikkam meluap dan merendam ratusan rumah warga, serta fasilitas umum seperti sekolah dan mesjid.
“Untuk memperbaiki ini tidak bisa asal, harus dipastikan tidak akan terjadi banjir lagi. Oleh karena itu, kami memanggil konsultan. Sampai sekarang, penelitian konsultan belum selesai, tetapi banjir sudah datang lagi,” ucap Anton saat itu.
Tak hanya, kawasan Serbalawan, pada Sabtu (12/10/25), banjir juga mengepung sejmlah daerah di Sumatera Utara baik wilayah yang merupakan langganan banjir maupun wilayah baru.
Hujan deras di Batu Bara meyebabkan air sungai meluap hingga mengakibatkan 65 rumah dan satu sekolah, serta 96 hektare lahan pertanian terendam air di dua desa di Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara.
Banjir juga terjadi di wilayah Si Gagak. Air sungai yang meluap hingga ke badan jalan lintas Siantar menuju Kota Medan. Akibatnya kemacetan lalu lintas yang luar biasa terjadi pada jumat malam.
Terparah banjir terjadi di Kota Medan. Lebih dari 10.391 jiwa terdampak dan 3.181 rumah warga terendam di sedikitnya lima kecamatan di Medan yakni Medan Johor, Labuhan, Selayang, Polonia, dan Maimun.
Rinciannya, di Kelurahan Alur sebanyak 75 rumah ,193 jiwa dari 100 kepala keluarga (KK); Kelurahan Sei Mati sebanyak 249 rumah, 158 jiwa dari 249 KK; Kelurahan Suka Raja 62 rumah 300 jiwa dari 100 KK; Kelurahan Hamdam 78 rumah 376 jiwa 97 KK; dan Kelurahan Kampung Baru 300 rumah, 130 jiwa dan 420 KK.
Sementara itu, banjir di Kecamatan Medan Johor melanda tiga kelurahan yang tersebar di Kelurahan Kuala Bekala, Keluharan Pangakalan Mansyhur dan Kelurahan Gedung Johor.
Di Kelurahan Kuala Bekala terdapat 655 jiwa yang terdampak,190 KK, dan 145 rumah. lalu di Kelurahan Pangkalan Mansyhur 160 jiwa, 30 KK, 25 rumah dan Kelurahan Gedung Johor 240 jiwa, 95 KK, 50 rumah.
Selanjutnya, banjir di Kecamatan Medan Polonia dan Kecamatan Medan Labuhan masing masing dua kelurahan terdampak. Kelurahan di Kecamatan Medan Polonia, yakni Kelurahan Sari Rejo melanda 150 jiwa, 34 KK, 20 rumah dan Kelurahan Polonia sebanyak 250 jiwa, 97 KK dan 69 rumah.
Kelurahan di Kecamatan Medan Labuhan, yakni Kelurahan Pekan Labuhan yang melanda 560 jiwa, 142 KK dan 140 rumah serta Kelurahan Martubung 400 jiwa, 155 KK, 150 rumah. Hingga Minggu siang, BPBD Sumut mencatat 405 jiwa di Kecamatan Medan Labuhan telah mengungsi.
Selanjutnya, banjir di Kecamatan Selayang melanda satu kelurahan, yakni Kelurahan Beringin. Di wilayah ini ada 193 jiwa, 80 KK dan 70 rumah yang terdampak.
Berdasarkan laporan dari Pusat Pengendalian Penanggulangan Bencana Sumatera Utara, banjir ini dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi sejak Minggu dini hari, sehingga mengakibatkan sejumlah sungai meluap ke permukiman.
Persoalan Kompleks
Pemerhati Kebijakan publik, Ramdeswati Pohan mengutarakan keprihatinan banjir yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara. Ia mengatakan, banjir yang terjadi di sejumlah wilayah ini merupakan sebuah persoalan yang kompleks.
"Curah hujan yang tinggi dan perubahan iklim yang memang harus diwaspadai utamanya bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Cuaca yang tidak menentu dengan resapan air di hulu yang tidak terjaga, sehingga persoalan ini sangat kompleks," ujar dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi ini.
"Selain itu kesadaran masyarakat yang masih kurang dalam menjaga lingkungan. Tidak sedikit warga yang membuang sampah ke sungai atau parit-parit penghubung dan pemerintah yang jarang sekali melakukan pengerukan sehingga sungai menjadi dangkal," ujar Ramdeswati.
Ramdes juga melihat tata ruang yang buruk. Tumbuhnya permukiman dan berdirinya bangunan-bangunan di area resapan air, serta tidak difungsikannya upanya pengaliran air ke kolam-kolam retensi, misalnya kanal yang ada.
"Jadi tak salah jika kepala maupun pimpinan daerah terkesan hanya menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat terdampak atau korban banjir, bukan menyelesaikan masalah di hulu dengan menangani penyebab terjadinya banjir," ujarnya.
Ramdes mengatakan, masyarakat sesungguh hanya ingin tak ada lagi banjir, tak ada pemadaman listrik dan ketersediaan air serta lingkungan yang bersih. Menurutnya, pemerintah lah yang memiliki kendali penting tersebut.
Banjir ini Bencana Kebijakan
Sementara itu, Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Farid Wajdi menilai peristiwa banjir yang terjadi di sejumlah daerah di Sumatera Utara merupakan kegagalan kolektif dalam mengelola ruang, air dan tanggung jawab publik.
"Banjir di Sumut bukan bencana alam, melainkan bencana kebijakan. Air tidak pernah salah arah. Manusialah yang salah menata jalannya. Setiap tahun, kota ini diserang genangan, dan setiap tahun pula pemerintah menjawabnya dengan ritual yang sama: kunjungan lapangan, distribusi bantuan, lalu konferensi pers penuh optimisme," tegas Farid.
Namun, tegas Farid lagi, air tidak tunduk pada retorika dan warga tidak lagi percaya pada janji yang tak pernah mengering. "Wali kota atau Bupati memang turun meninjau lokasi, menembus genangan, menyapa warga, dan menjanjikan langkah cepat. Tapi publik kini sudah jenuh dengan pementasan simbolik," katanya.
Ia mengatakan, banyak masyarakat bertanya lebih tajam: mengapa drainase tak berfungsi? Mengapa kolam retensi gagal menampung air? Ke mana larinya anggaran miliaran rupiah proyek pengendalian banjir?
Tidak satu pun pertanyaan itu dijawab secara transparan. Kawasan yang dulunya aman kini menjadi langganan banjir setiap kali hujan lebat.
Farid juga mengatakan, Sumut, khususnya Kota Medan telah terlalu lama hidup dalam paradigma tambal-sulam. Drainase dibersihkan hanya saat menjelang musim hujan. Proyek pengendalian banjir disusun tanpa basis data topografi dan curah hujan.
"Kawasan resapan terus dikorbankan untuk proyek perumahan dan komersial. Tak ada peta risiko banjir yang diungkap secara publik, tak ada audit kualitas infrastruktur yang bisa diakses warga. Pemerintah lebih sibuk mengelola citra daripada mengelola air," ketusnya.
Farid menyayangkan, kota sebesar Medan masih terjebak dalam tata kelola abad lalu. Ketika Jakarta mulai membangun sistem pengendalian air berbasis teknologi, Medan masih berkutat pada pengerukan manual dan klaim keberhasilan semu. Ketika Surabaya memetakan jaringan drainase dalam sistem digital, Medan masih mengandalkan laporan lisan dari lurah dan camat.
"Sudah saatnya pemerintah kota berhenti berpose di tengah genangan dan mulai bekerja dengan kepala dingin dan data terbuka. Pertama, audit menyeluruh proyek drainase dua tahun terakhir. Hal ini harus segera dilakukan, termasuk memeriksa kontraktor dan volume pengerukan sungai yang dilaporkan," ujarnya.
Kedua, Pemko wajib memublikasikan peta genangan dan rencana pengendalian banjir secara daring agar publik bisa memantau langsung progresnya. Ketiga, moratorium izin pembangunan di bantaran sungai dan zona resapan harus diberlakukan, sebelum seluruh kota berubah menjadi kolam buatan.
Banjir kali ini menurut Farid bukan lagi peringatan, melainkan ultimatum. Jika pemerintah masih menjawab air dengan kata-kata, maka setiap tetes hujan berikutnya akan menjadi bukti birokrasi lebih pandai berenang di lautan retorika ketimbang mengeringkan akar persoalan.
"Air boleh surut, tapi ketidakmampuan dan ketidakjujuran pemerintah kota atau kabupaten akan tetap menggenang, lebih dalam dari sekadar banjir yang terlihat hari ini," tandasnya. (mis/hm06)
PREVIOUS ARTICLE
Warga Serdang Bedagai Keluhkan Jalan Rusak dan Pajak NaikBERITA TERPOPULER









