Sunday, October 5, 2025
home_banner_first
OPINI

Macbeth yang Mabuk Kekuasaan

Minggu, 5 Oktober 2025 14.31
macbeth_yang_mabuk_kekuasaan

Macbeth. (Foto: Istimewa/Mistar)

news_banner

MISTAR.ID

Oleh: Bersihar Lubis

Tatkala hujan membasahi rimba raya, Macbeth bertemu dengan tiga nenek sihir. Guntur menggelegar di angkasa. Demikianlah, Macbeth dalam sandiwara berjudul “Macbeth” karya William Shakespeare yang ditulis pada 1606.

Saya cuplik kisah klasik ini karena kekuasaan selalu memabukkan. Bahkan, obsesi yang berlebihan untuk meraih kekuasaan, bisa menikam orang lain, atau diri sendiri.

Syahdan, Macbeth dinujum tiga nenek tukang tenung kelak akan menjadi raja di Skotlandia. Hati Macbeth berbunga-bunga mendengarnya bersama sahabatnya, Banquo.

Tentu saja kala itu belum ada lembaga survei yang mempersepsikan para calon pemimpin baru, menurut hasil jajak pendapat. Mitologi masih berkibar, dan modernisme belum bertunas.

Padahal, masih ada Raja Duncan yang berkuasa, kala itu. Tiada lain, untuk menjadi raja, Macbeth harus membunuh Duncan.

Tatkala suatu waktu Raja Duncan bertandang dan menginap di puri Macbeth, niat jahat itu pun ditunaikan.

Untuk menghilangkan jejak, Macbeth mendakwa para penjaga pelakunya. Serta merta para penjaga itu dibunuh. Tanpa peradilan yang terbuka.

Tragedi ini menceritakan tentang ambisi yang menjelma menjadi kejahatan. "Fair is foul, and foul is fair" Adil itu busuk, pelanggaran itu adil, adalah inti dari kisah Macbeth.

Macbeth mengira bahwa satu-satunya jalan menuju tahta raja adalah melalui gemerincing pedang. Tahta berkalang darah bersimbah, alangkah ngerinya.

Namun setelah menduduki singgasana, Macbeth diserang penyakit paranoia. Dia dihantui rasa bersalah yang luar biasa. Dia kerap kembali mendengar nujuman tukang sihir. Bahwa Fleance, putra Banquo, akan menjadi raja baru di masa depan. Merasa terancam, Macbeth lantas membunuh Banquo dan berupaya membunuh anaknya, Fleance.

Persis seperti ajaran Niccolo Machiavelli (1469-1528), Macbeth telah menghalalkan segala cara demi meraih tujuan.

Setelah kekejian itu, Macbeth nyaris gila. Dia serasa melihat orang-orang yang telah dibunuhnya bagai momok di siang bolong. Macbeth kerap meracau. “Siapa yang membawa ajar­an berdarah, akan mendapatkan yang sama, yang berbalik, merongrong ia yang memulainya,” ujar Macbeth, mengigau.

Seorang jenderal lain yang bernama Macduff, putra Banquo menjadi curiga melihat Macbeth dengan gejala-gejala ketakutan dan rasa bersalah. Ia bergabung dengan Malcolm dan Donalbain, kedua anak Duncan yang juga merasa curiga.

Perasaan takut Macbeth mendorong dia untuk mencari tukang-tukang sihir itu lagi, dan meminta nujuman. Kali ini diramalkan Macbeth akan tetap hidup "sampai hutan Great Birnam datang ke bukit Dunsinane." Bahkan, Macbeth tidak akan dibunuh oleh seorang yang dilahirkan dari seorang wanita.

Terbuai oleh sugesti nujuman itu, Macbeth menjadi angkuh, lega dan puas. Tapi istrinya, Lady Macbeth tidak kuat lagi dan menjadi gila. Ia merasa melihat bekas bercak-bercak darah di tangan Macbeth.

Malcolm dan Macduff pergi ke Inggris dan merencanakan kudeta untuk membunuh Macbeth. Banyak bangsawan yang membelot dan bergabung dengan pemberontak, yang dipimpin oleh Macdulf dan Malcolm, anak Raja Duncan

Mereka akhirnya menyerang puri Macbeth dengan sekelompok prajurit, sambil membawa pucuk-pucuk pohon dari hutan Great Birnam sebagai samaran (hutan Birnam datang ke bukit Dunsinane). Macduff berhasil memaksa Macbeth untuk berduel.

Macbeth masih merasa percaya diri karena berdasarkan ramalan tukang sihir, ia tidak akan pernah dibunuh oleh "seseorang yang dilahirkan dari seorang wanita."

Maceth tidak tahu bahwa Macduff "diambil dari rahim ibunya" (semacam operasi Caesar). Lagi-lagi darah berlelehan. Macbeth terbunuh, dan kepalanya, aduh, dipenggal oleh Macduff, dan menyerahkan tahta kerajaan kepada Malcolm.

Arang punah besi binasa. Demikianlah, diperbudak oleh kekuasaan yang membius, dan tega melakukan apa saja. Akhirnya dicekik oleh ambisi yang merasuk-rasuk.

Melenyapkan nyawa seseorang betapa primitif dan kriminal. Tapi di era modern ini, muncullah pembunuhan yang lebih lunak, membunuh karakter, kampanye hitam. Mengulik-ngulik masa lalu yang dinilai bermasalah. Lalu, berteriak di media sosial, perang kata-kata, perang narasi. Macbeth sudah tiada, tapi gemanya belum lenyap! **

** Penulis adalah jurnalis di Medan

REPORTER: