Tuesday, November 4, 2025
home_banner_first
OPINI

Izin TKA dan Wajah Buram Birokrasi Ketenagakerjaan

Mistar.idSelasa, 4 November 2025 12.29
EH
izin_tka_dan_wajah_buram_birokrasi_ketenagakerjaan

Ilustrasi. (Foto: Istimewa/Mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Oleh: Anwar Suheri Pane

Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan izin tenaga kerja asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) kembali mencoreng wajah birokrasi Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Heri Sudarmanto, mantan Sekretaris Jenderal Kemnaker, sebagai tersangka. Ia diduga menerima aliran dana hasil pemerasan dan gratifikasi dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).

Ini bukan kasus pertama. Namun karena terjadi di lembaga yang seharusnya melindungi pekerja — baik lokal maupun asing — publik kian geram.

Izin TKA seharusnya menjadi instrumen negara untuk menyeimbangkan kebutuhan tenaga ahli asing dengan perlindungan tenaga kerja domestik. Ketika izin berubah menjadi komoditas, negara kehilangan kendali atas kedaulatan tenaga kerja.

Arus tenaga kerja asing ke Indonesia terus meningkat setiap tahun. Menurut data resmi Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah TKA mencapai 168 ribu orang pada 2023, dan naik menjadi 183.964 orang pada 2024.

Lebih dari separuhnya berasal dari Tiongkok (sekitar 72.667 orang) — angka yang kerap menimbulkan ketidakpercayaan publik.

Dari portal Satu Data Kemnaker, tercatat 8.836 TKA pendamping pada Januari 2025, meningkat menjadi 10.253 pada Februari 2025. Sementara pada 2022 terdapat 91.623 dokumen RPTKA yang disahkan, dengan 51.609 TKA pendamping tercatat hingga pertengahan 2024.

Semua angka ini menegaskan satu hal: arus TKA adalah fenomena besar yang membutuhkan tata kelola transparan. Namun ketika izin diperjualbelikan di ruang birokrasi, yang terjadi bukan transfer pengetahuan, melainkan transfer uang haram ke kantong pejabat.

Korupsi Berjemaah

KPK mengungkap bahwa selama periode 2019–2024, praktik pemerasan dalam pengurusan izin TKA menghasilkan sedikitnya Rp 53,7 miliar. Uang itu dikumpulkan secara berkala melalui setoran dua mingguan, melibatkan sekitar 85 pegawai di Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA).

Sebagian kecil dana, sekitar Rp 8,51 miliar, telah dikembalikan ke rekening penampungan KPK. Sisanya masih dilacak dan disita. Angka ini menunjukkan bahwa korupsi di birokrasi ketenagakerjaan bukan lagi perilaku individu, melainkan sistem (berjemaah), yang dibiarkan berjalan bertahun-tahun tanpa pengawasan.

Pertanyaannya, jika Rp 53 miliar bisa berpindah tangan hanya dari satu jenis izin, publik berhak bertanya: berapa besar uang yang raib di pos perizinan lain?

Keterlibatan pejabat tinggi seperti eks Sekjen Kemnaker menunjukkan korupsi di sektor ketenagakerjaan sudah berlapis-lapis. Selama sistem perizinan masih menyisakan ruang gelap — dari proses manual hingga lemahnya pengawasan publik — peluang penyalahgunaan akan terus terbuka.

Langkah KPK menelusuri aliran dana dan menyita puluhan aset adalah sinyal positif. Namun proses hukum tak boleh berhenti di penetapan tersangka.

Pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh terhadap sistem RPTKA di pusat dan daerah. Reformasi birokrasi harus menyentuh akar masalah: transparansi, digitalisasi izin, dan pengawasan lintas lembaga.

Alasan klasik bahwa tenaga kerja asing dibutuhkan demi investasi dan transfer teknologi memang masuk akal — selama dijalankan terbuka dan akuntabel.

Namun ketika izin TKA menjadi ladang pungli, investasi kehilangan makna strategisnya. Negara justru rentan terhadap ketergantungan ekonomi dan kehilangan daya tawar di hadapan investor besar.

Keterbukaan Data

Di Sumatera Utara, arus TKA meningkat seiring pertumbuhan industri dan proyek strategis nasional di berbagai kawasan industri baru. Namun hingga kini, belum ada publikasi resmi yang merinci jumlah TKA di provinsi ini untuk 2025.

Keterbatasan data ini memperlihatkan lemahnya keterbukaan informasi publik di sektor ketenagakerjaan daerah — padahal transparansi adalah kunci agar kebijakan tidak hanya berpihak pada pemilik modal.

Kasus ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk menata ulang sistem perizinan tenaga kerja di Indonesia.

Kemnaker perlu mempercepat digitalisasi izin RPTKA, membuka akses publik, dan melibatkan lembaga pengawas independen dalam audit berkala.

KPK, Ombudsman, dan BPK perlu berkolaborasi menutup celah korupsi dalam proses perizinan yang selama ini menjadi “rahasia umum”.

Lebih dari itu, Presiden Prabowo Subianto harus mengirim pesan tegas: birokrat yang menjual izin sama bahayanya dengan koruptor yang menjual kedaulatan.

Ketika izin bekerja pun harus ditebus dengan uang pelicin, yang dijual bukan sekadar legalitas — tetapi martabat bangsa.

Korupsi di Kemnaker adalah potret nyata bagaimana pelayanan publik berubah menjadi pasar kotor.Reformasi birokrasi bukan sekadar slogan efisiensi, melainkan ujian moral dan keberanian politik untuk memutus rantai korupsi yang mendarah daging.

Publik kini menanti sikap tegas Presiden. Apakah pemerintahan baru ini berani membersihkan birokrasi dari mental dagang-jabatan, atau justru membiarkan wajah buram itu menjadi cermin masa depan bangsa. (*)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN