Ekonomi Nasional vs Perut Rakyat: Dilema di Balik Rencana Larangan Pakaian Bekas


Ilustrasi pakaian bekas dijual di salah satu pasar (Foto: Istimewa/Mistar)
Penulis Anwar Suheri Pane
Rencana larangan impor pakaian bekas yang diwacanakan Menteri Keuangan Purbaya bukan sekadar langkah proteksi terhadap industri dalam negeri.
Jika ditelaah lebih dalam, kebijakan ini membawa dampak positif dan negatif: di satu sisi berpotensi memperkuat ekonomi nasional, namun pada saat yang sama dapat menimbulkan dilema sosial-ekonomi di lapisan masyarakat bawah.
Kebijakan ini tidak hanya menyentuh aspek perdagangan, tetapi juga menyangkut dinamika industri nasional dan kesejahteraan masyarakat kecil.
Harus diakui, kebijakan ini dapat menjadi katalis bagi pengembangan industri tekstil dan garmen lokal.
Selama ini, arus pakaian bekas impor — atau dikenal dengan istilah balpres — banyak diserap masyarakat karena harganya jauh lebih murah, sehingga menekan daya saing produk lokal.
Data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API, 2023) menyebutkan, sepanjang tahun 2022, sekitar 350 ribu potong pakaian bekas impor masuk ke Indonesia setiap hari, dengan total volume mencapai 25.808 ton.
Nilai impornya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai US$ 272.146 atau sekitar Rp 4,1 miliar, meningkat tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Namun, pada 2023, angka itu turun signifikan menjadi 12,85 ton dengan nilai US$ 29.759 atau setara Rp 480 juta, setelah pemerintah memperketat pengawasan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Penurunan ini menunjukkan bahwa pengendalian impor dapat berdampak langsung terhadap arus perdagangan ilegal.
Dengan larangan impor pakaian bekas, terbuka peluang bagi produk lokal untuk mendominasi pangsa pasar.
Ini bukan hanya soal peningkatan produksi, tetapi juga peningkatan nilai tambah, pengurangan ketergantungan impor, serta penciptaan lapangan kerja yang lebih berkelanjutan.Dari sisi regulasi, landasan hukumnya juga jelas.
Tak dapat dipungkiri, mayoritas impor pakaian bekas merupakan aktivitas ilegal dan melanggar aturan yang sudah ada.
Fakta ini menunjukkan bahwa perdagangan pakaian bekas dari luar negeri selama ini berjalan di luar mekanisme resmi yang seharusnya dikontrol negara.
Laporan Bea dan Cukai mencatat sedikitnya 220 penindakan terhadap kasus impor pakaian bekas sepanjang 2022, dengan nilai barang sitaan mencapai Rp 23,91 miliar.
Data ini memperkuat bahwa kebijakan larangan bukan sekadar wacana politik, melainkan penegasan terhadap hukum yang seharusnya ditegakkan sejak lama.
Dari aspek lingkungan, impor pakaian bekas juga menimbulkan kekhawatiran lain: kualitas yang tidak terjamin, sanitasi yang diragukan, serta potensi meningkatnya limbah tekstil yang sulit dikelola.
Dalam konteks keberlanjutan, larangan ini dapat dibaca sebagai langkah awal menuju industri fesyen yang lebih ramah lingkungan dan bertanggung jawab.
Suara dari Pasar dan Pelabuhan
Di balik argumen ekonomi dan hukum, muncul realitas sosial yang tak kalah penting.
Para pedagang Pasar Sambu Medan, salah satu pusat perdagangan pakaian bekas terbesar di Sumatera Utara, menyuarakan protes terhadap wacana larangan tersebut.
Mereka khawatir kebijakan itu akan mematikan sumber penghidupan ribuan keluarga yang selama ini bergantung pada jual-beli pakaian impor bekas.
Satu studi menunjukkan bahwa pedagang di Pasar Sambu, dengan modal awal sekitar Rp 2 juta, mampu meraup keuntungan harian antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta.
Bagi sebagian besar dari mereka, bisnis pakaian bekas bukan sekadar usaha, melainkan tumpuan ekonomi keluarga.
“Kalau semua dilarang tanpa solusi, kami mau makan apa?” keluh salah satu pedagang yang sudah berjualan lebih dari sepuluh tahun.
Kondisi serupa terjadi di Kota Tanjungbalai, yang dikenal sebagai pintu masuk utama pakaian bekas impor di pesisir Sumatera.
Ratusan, bahkan ribuan warga di kota pelabuhan ini menggantungkan hidupnya dari aktivitas bongkar muat, penyortiran, hingga penjualan kembali pakaian bekas luar negeri.
Larangan impor tanpa masa transisi bisa berarti hilangnya mata pencaharian bagi mereka — dari buruh pelabuhan hingga pedagang eceran.
Realitas ini menunjukkan bahwa kebijakan yang tampak ideal di atas kertas bisa menjadi ancaman serius bagi masyarakat kecil yang selama ini bertahan di sektor informal.
Tantangan dan Solusi Inklusif
Pakaian bekas impor selama ini menjadi alternatif penting bagi masyarakat berdaya beli rendah.
Dengan dilarangnya impor, ada risiko harga pakaian jadi meningkat, sementara produk lokal belum sepenuhnya siap bersaing dalam hal harga dan kualitas.
Jika tidak diantisipasi, sebagian masyarakat akan kehilangan akses terhadap pakaian murah dan layak.
Meski tujuan larangan ini untuk memperkuat industri dalam negeri, kebijakan tersebut hanya akan berhasil jika industri lokal mampu memenuhi permintaan pasar — baik dari sisi kuantitas, harga, maupun desain.
Tanpa kesiapan itu, akan muncul kekosongan pasokan atau bahkan peralihan ke produk impor lain yang tidak diatur secara ketat.
Untuk menghindari dampak negatif, pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan program pendampingan bagi pedagang mikro dan pelaku usaha informal yang terdampak.
Pendampingan dapat berupa pelatihan wirausaha, pemberian akses ke produk lokal, atau bantuan permodalan agar mereka dapat beralih ke usaha yang legal dan berkelanjutan.
Selain itu, pemerintah bersama pelaku industri lokal sebaiknya mempercepat peningkatan kualitas, desain, dan efisiensi produksi agar produk buatan dalam negeri benar-benar bisa menjadi alternatif yang kompetitif.
Masyarakat juga perlu terus diberikan edukasi tentang manfaat jangka panjang dari penggunaan produk lokal — bukan hanya bagi ekonomi nasional, tetapi juga bagi keberlanjutan lingkungan.
Kebijakan ini seharusnya dipantau secara berkala dengan menggunakan indikator sosial-ekonomi yang jelas: pertumbuhan industri, kondisi pedagang mikro, daya beli masyarakat, dan dampak ekologis.
Tujuannya agar kebijakan tidak hanya menguntungkan satu kelompok, sementara kelompok lain justru dirugikan secara sistemik.
Penulis menilai larangan impor pakaian bekas merupakan langkah strategis untuk memperkuat industri nasional dan menegakkan aturan perdagangan.
Namun, tanpa kebijakan pendamping yang adil serta kesiapan industri lokal yang memadai, keputusan ini bisa menciptakan ketimpangan baru — antara pelaku informal yang tergeser dan masyarakat kecil yang kehilangan pilihan ekonomi.
Kunci keberhasilan kebijakan ini terletak pada implementasi yang inklusif: dari pemilik pabrik besar hingga pedagang kaki lima, dari desainer lokal hingga konsumen berpenghasilan rendah.
Kebijakan ekonomi tidak cukup hanya menghitung angka, tetapi juga harus menghitung nasib manusia di balik setiap karung pakaian yang dilarang.
Jika hal ini dapat diwujudkan, larangan impor pakaian bekas bukan lagi sekadar bentuk proteksi industri, melainkan langkah perubahan struktural menuju ekonomi yang lebih mandiri, berkeadilan, dan berdaya saing.(*)
PREVIOUS ARTICLE
Sopir Mengerti Profesor Dihargai






















