Keracunan MBG: Simak Sorotan Data, Kronologi Kasus, Risiko, dan Evaluasi

Menu hidangan MBG yang akan disantap siswa salah satu SMP di Kota Pematangsiantar. (foto:dokumen/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah kebijakan strategi pemerintah Indonesia yang diluncurkan sejak Januari 2025 di bawah koordinasi Badan Gizi Nasional (BGN).
Program ini menyasar puluhan juta penerima manfaat, terutama pelajar dan kelompok rentan, dengan tujuan menyediakan nutrisi yang cukup. Namun di lapangan, muncul sejumlah kasus keracunan makanan yang mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap keamanan dan efektivitas program ini.
Data dan Kronologi Kasus
BGN mencatat sekitar 4.700 penerima manfaat mengalami keracunan terkait MBG.
Sementara itu, BPOM RI melaporkan 17 Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan MBG di 10 provinsi, umumnya akibat kontaminasi bahan mentah, penyimpanan tidak sesuai standar, dan distribusi yang lambat.
Kasus paling menonjol terjadi di Kupang, di mana 140 siswa SMP Negeri 8 dilaporkan keracunan setelah mengonsumsi makanan MBG dengan gejala pusing, mual, dan muntah. BPOM telah mengambil sampel makanan untuk diuji laboratorium.
Di Cianjur (Jawa Barat), puluhan siswa SMP dan MAN juga mengalami keracunan. BGN kemudian memperketat SOP khususnya terkait penanganan sisa makanan dan pengelolaan dapur.
Pemerintah mengklaim persentase keracunan masih sangat kecil dibandingkan jumlah penerima manfaat MBG yang sudah mencapai jutaan orang. Presiden Prabowo bahkan menyebut angka keracunan sekitar 0,005% dari total penerima MBG.
Keamanan Pangan dan Prosedur Operasional
Kasus-kasus yang terjadi menunjukkan masalah tidak hanya di satu titik: mulai dari penyimpanan buruk, bahan baku tidak memenuhi standar, waktu distribusi terlalu lama, hingga praktik sanitasi dapur yang tidak konsisten. Semua itu berpotensi memicu keracunan.
Tata Kelola dan Pengawasan
Kurangnya pengawasan terhadap dapur penyedia makanan (SPPG) MBG di banyak daerah menjadi isu berulang.
SOP MBG terus diperbarui; kini BGN mewajibkan sisa makanan diolah secara aman, tidak membuang sembarangan di sekolah, dan distribusi harus cepat agar bakteri tak berkembang.
Komunikasi Publik dan Respons Pemerintah
Pemerintah mengklaim kasus keracunan sangat sedikit dengan tekanan angka “0,005%” sebagai contoh MBG berjalan dengan baik.
Namun kritik publik menilai setiap kasus, sekecil apa pun, harus dianggap serius. Pakar komunikasi menilai angka kecil saja tidak cukup; empati, transparansi, dan tanggung jawab harus lebih ditonjolkan.
Manfaat vs Risiko
Di satu sisi, MBG adalah upaya strategi memenuhi tujuan gizi nasional. Manfaatnya besar: mencegah stunting, anemia, kekurangan gizi, meningkatkan konsentrasi belajar, dan mendorong kesetaraan akses pangan.
Di sisi lain, risiko kesehatan akibat keracunan dapat menimbulkan efek jangka pendek hingga rawat inap, serta berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat jika kasus terus berulang.
Respons Pemerintah dan Tindakan Korektif
BGN, BPOM, dan Kemenko Pangan menjanjikan evaluasi menyeluruh, inspeksi dapur penyedia, dan reformasi SOP penanganan makanan.
Pelatihan relawan dan pengelola SPPG ditingkatkan agar praktik keamanan pangan lebih baik di lapangan.
Pemerintah menetapkan “nol insiden” keracunan dalam pelaksanaan MBG di masa mendatang.
Kesimpulan: Kasus keracunan dalam Program MBG menunjukkan bahwa program yang bertujuan pun rentan terhadap kegagalan teknis dan manajerial bila keamanan pangan serta tata kelola tidak diperhatikan secara serius.
Meski persentasenya kecil, dampak kesehatan dan kepercayaan masyarakat tidak bisa diabaikan. Keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari jumlah penerima manfaat, tetapi juga dari seberapa aman dan bergizi makanan yang diberikan — tanpa risiko bagi penerimanya. (berbagaisumber/*)
PREVIOUS ARTICLE
Hari Tani Nasional 2025: Sorotan Aksi dan Tuntutan di Depan DPR